Ngaji Plastik, Upaya Nahdlatul Ulama Kurangi Sampah Plastik

oleh -375 kali dilihat
Larangan Penggunaan Plastik Sekali Pakai Mulai Diundang-Undangkan
Ilustrasi sampah plastik/foto-ingkunganitats.wordpress.com
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Kampanye pengurangan sampah, terutama plastik sekali pakai belum banyak terlihat dampaknya. Bahkan kita sangat mudah menemukan tumpukan sampah di pinggir jalan. Terlebih di tempat pembuangan sampah. Setiap hari mobil pengangkut sampah akan lalu lalang.

Jenis sampah yang mendominasi diproduksi adalah  sisa makanan dan plastik. Kedua jenis sampah itu tidak juga lelah diproduksi oleh manusia, sebagian terangkat ke TPA, sebagian berhamburan di pinggir jalan, selokan, kanal hingga laut.

Tentu hal itu bukanlah kabar menggembirakan. Aditya Widya Putri menulis di tirto.id bahwa data TPST Bantargebang Bekasi Jawa Barat saja,  sampah sisa makanan mencapai 39 persen dari total 7.864 ton sampah yang masuk per hari.

KLIK INI:  Yuk kenalan dengan Benjamin, Seniman yang Ciptakan Gelombang dari Sedotan Plastik

Sampah plastik menempati urutan kedua jenis sampah yang paling banyak dihasilkan manusia Jakarta, mencapai 33 persen. Sisanya gabungan dari limbah tekstil sebanyak 9 persen, limbah berbahaya 4 persen, kayu dan rumput 4 persen, kertas 4 persen, karet/kulit 3 persen, limbah hewan peliharaan 2 persen, serta sampah lainnya 2 persen.

Data tersebut merupakan data terakhir yang dihimpun Dinas Lingkungan Hidup pada bulan Ramadan 2019. Pola konsumtif masyarakat selama Ramadan ternyata menyumbang peningkatan sampah sebanyak 4 persen ke TPST Bantargebang, sama seperti Ramadan 2018.

“Ada fenomena selama Ramadan yang tidak ditemui pada sebelas bulan lain, seperti makan takjil dan bukber, yang menyumbang peningkatan sampah,” ungkap Fitria Ariyani, Direktur Bank Sampah Nusantara LPBI Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut tulisan Aditya tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) memahami, dalam iklim kehidupan Indonesia yang semakin agamis, peran organisasi ini sangat berarti untuk ‘menekan’ perilaku pencemaran lingkungan. Apalagi sosialisasi secara sains dianggap kurang bisa membangun kesadaran lingkungan.

Slogan yang mengaitkan antara sampah dan banjir, misalnya, tak ampuh bagi masyarakat di dataran tinggi karena mereka tidak merasakan banjir. Apalagi bicara hal yang dampaknya tak terasa langsung seperti pemanasan global atau perubahan iklim.

KLIK INI:  Atasi Sampah Plastik Sungai, Pemerintah Kembangkan Teknologi dari Belanda

Celah inilah yang ingin ditambal NU lewat program ‘ngaji plastik’ dan program-program lainnya. ‘ngaji plastik’ secara sederhana bisa diartikan sebagai sosialisasi untuk mengurangi sampah plastik, dibalut dengan kajian ayat. Program ini telah berjalan selama dua tahun, menyasar pesantren, sekolah, dan komunitas pengajian sebagai target utama sosialisasi.

“Ayat ‘kebersihan sebagian dari iman’ sudah tidak ampuh. Kita butuh ayat yang lebih kencang dan ‘menakutkan’, diikat dengan kata ‘ngaji’ supaya diprioritaskan, wajib,” kata Fitri.

Hasil dari ‘ngaji plastik’ NU terlihat mulai dari perubahan pola pikir dan perilaku pengurus pesantren dan para santri. Mereka tak lagi menggunakan kantong plastik saat berbelanja, ecobricks plastik saset, mengaplikasikan lingkungan pesantren hijau dengan melakukan pengelolaan sampah mandiri.

Muktamar NU ke 29 di Cipasung Tasikmalaya Jabar menyepakati bahwa tindakan buang samph sembarangan termasuk perbuatan kriminal. Namun, hukumnya menjadi makruh bila tidak membawa mudarat, dan wajib ketika pemerintah telah mengeluarkan aturan terkait.

KLIK INI:  Asyik, Sampah Bisa Ditukar Emas di Pegadaian

“Buang sampah sembarangan berarti zalim terhadap orang lain, dan itu haram hukumnya,” lanjut Fitri.

Fatwa tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembahasan lebih spesifik, soal kritisnya pengelolaan sampah plastik di Indonesia. Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas dan Konbes NU) 2019 di Banjar, membolehkan aksi boikot perusahaan yang tidak mengelola sampahnya secara baik.

“[Boikot] perorangan, hukumnya boleh. [Boikot] massal, hukumnya boleh dengan syarat izin, sebagai alternatif, tidak disertai fitnah dan ujaran kebencian, tidak ada paksaan,” demikian rekomendasi Munas dan Konbes NU pada Februari kemarin.

Boikot perusahaan secara massal, kata Fitri, baru akan dilakukan dengan rangkaian pertimbangan. Meski sudah mengantongi nama-nama perusahaan yang kurang bijak dalam mengelola sampahnya, tetapi aksi tersebut menjadi alternatif terakhir, apabila upaya negosiasi dan masukan lewat pemerintah tidak diindahkan.

KLIK INI:  Pengendara Buang Sampah Sembarangan, Ini Sebabnya!