Kebijakan Pangan Berkelanjutan, Kunci Siasati Produksi Beras dan Minyak Goreng

oleh -28 kali dilihat
Kebijakan Pangan Berkelanjutan, Kunci Siasati Produksi Beras dan Minyak Goreng
Pangan selain beras diantaranya jagung, ubi dan masih banyak lagi - Foto/Azwar

Klikhijau.com – Kenaikan suhu global berdampak pada semakin tingginya intensitas cuaca ekstrem seperti El Niño yang terjadi sepanjang tahun 2023. Alhasil, kondisi ini berakibat pada terganggunya produktivitas bahan pangan seperti pada beras dan minyak goreng.

Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan produksi pangan yang lebih adaptif sebagai upaya mengantisipasi dampak krisis iklim dengan beralih pada keberlanjutan pangan.

Data produksi beras yang disampaikan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada acara diskusi daring bertajuk, “Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim” Selasa, 5 Maret 2024, disebutkan bahwa prediksi produksi total beras periode Januari-April 2024 mencapai 10,70 juta ton. Sedangkan produksi total beras tahun 2023 pada periode yang sama mencapai 12,98 juta ton.

Artinya, produksi beras tahun ini (2024) lebih rendah 2,28 juta ton atau 17,57 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2023. Adapun rincian produksi beras pada tahun 2024 mencapai 0,86 juta ton (Januari), 1,38 juta ton (Februari), 3,54 juta ton (Maret), dan 4,92 juta ton (April).

Sedangkan pada tahun 2023, beras yang diproduksi adalah 1,34 juta ton (Januari), 2,85 juta ton (Februari), 5,13 juta ton (Maret), dan 3,66 juta ton (April).

KLIK INI:  Sumber Daya Alam Kalsel Memang Bikin Mata Melotot, Waspada Degradasi Alam!

“Jadi, volume produksi beras dari Januari hingga Maret 2024 diprediksi lebih rendah dibanding produksi beras pada dua atau tiga tahun lalu. Sehingga, kondisi ini merupakan musim paceklik yang luar biasa,” ujar Dr. Ir. Budi Waryanto, M.Si, – Plt. Direktur Ketersediaan Bapanas.

Berkurangnya produksi beras tidak terlepas dari cuaca ekstrem yang terjadi sepanjang tahun 2023. Vice Chair Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) & Profesor Meteorologi dan Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Edvin Aldrian, mengatakan tahun 2023 merupakah tahun terpanas dengan kenaikan suhu global hingga 1,52 derajat Celcius. Hingga Maret 2023 tercatat kenaikan suhu ini melebihi batas yang ditetapkan pada Perjanjian Paris yaitu 1,5 derajat Celcius.

Menurut laporan IPCC, tambahnya, tahun 2030 kenaikan suhu bumi diperkirakan akan naik lebih cepat dari beberapa prediksi sebelumnya. Misalnya, pada tahun 2019 telah diperkirakan kenaikan suhu akan tembus beberapa derajat pada tahun 2052.

Namun, pada temuan tahun 2020 suhu bumi diperkirakan akan kembali mengalami kenaikan pada tahun 2042 atau 10 tahun lebih cepat dari prediksi awal.

“Suhu di bumi sudah melebihi 1,5 derajat celcius sepanjang dua belas bulan, Januari sampai Desember 2023. Kondisi ini terjadi 10 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumya,” ungkapnya.

KLIK INI:  Baik Plastik Maupun Kertas, Dampaknya 11-12 terhadap Perubahan Iklim

Dalam diskusi yang sama, Supari, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa El Niño yang terjadi pada tahun 2023 merupakan kategori El Niño Moderat dengan indeks anomali suhu muka laut di Pasifik tengah mencapai nilai 2,0 pada Desember 2023.

Menurutnya dampak El Niño luar biasa terutama pada bulan Agustus hingga Oktober yang ditandai curah hujan yang sangat rendah terjadi di beberapa wilayah, bahkan kondisi tanpa hujan paling tinggi selama 222 hari tidak ada hujan di Lombok, NTB.

“Sementara itu untuk kondisi tanpa hujan lebih dari dua bulan terjadi di wilayah mulai dari Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah dan Selatan, sebagian Sulawesi, sebagian Maluku dan Papua, sehingga dapat dipahami banyak daerah yang mengalami kondisi produksi pangan yang tidak maksimal,” katanya.

Pemerintah dalam hal ini Bapanas telah melakukan beberapa langkah untuk menjaga ketersediaan pangan yaitu dengan menyediakan 2,4 juta ton setiap tahunnya, melakukan bantuan pangan untuk 22 juta masyarakat yang rawan pangan, melakukan stabilisasi pasokan dan harga untuk retail modern serta melakukan sinergi dengan pemerintah daerah melalui program gerai pangan murah di bawah program Kementerian Dalam Negeri untuk mengendalikan inflasi di daerah.

KLIK INI:  Koalisi NGO Kutuk Tindakan Represif Polisi pada Petani di Maiwa Enrekang

Selain itu, Bapanas juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk melakukan percepatan tanam di semester II tahun 2024 dimana telah diprediksi bahwa fenomena La Nina akan terjadi dan menyebabkan kondisi iklim lebih basah untuk pertumbuhan padi.

Perlunya diversifikasi sistem pertanian

Sementara itu, Ahmad Juang Setiawan, Climate Researcher dari Traction Energy Asia mengungkapkan permasalahan iklim juga menjadi ancaman atas produktivitas kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng.

Ia mengatakan dampak krisis iklim seperti banjir, kekeringan, asap KARHUTLA (kebakaran hutan dan lahan), mempengaruhi produktivitas kelapa sawit melalui beberapa hal seperti pergeseran musim panen, menurunnya kualitas, rusaknya tanaman, hingga potensi kematian tanaman.

Hal lainnya yang berpotensi mengganggu ketersediaan minyak goreng adalah penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel. Semakin tinggi tingkat pencampuran biodiesel, ketersediaan minyak goreng berpotensi akan menurun.

Secara umum stok minyak goreng terancam oleh dua hal, yaitu krisis iklim yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit, dan biodiesel yang mempengaruhi jatah minyak sawit untuk diolah menjadi minyak goreng.

Juang mengatakan dalam 4 tahun terakhir, terjadi peningkatan konsumsi minyak goreng saat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri sebesar rata-rata 38%. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, kebutuhan akan energi lambat namun mengalami peningkatan.

Pada bulan Agustus 2023, alokasi CPO untuk energi sudah melebihi alokasi untuk pangan, yaitu melebihi 1 juta ton – sementara pangan dibawah 1 juta ton. Hal ini seiringan dengan regulasi pemerintah untuk meningkatkan produksi biosolar, yang juga dikenal sebagai program pencampuran Bahan Bakar Nabati (B35).

Menurutnya terdapat peluang besar dalam memanfaatkan minyak jelantah (Used Cooking Oils) sebagai bahan baku komplementer biodiesel. Pengumpulan dan pengelolaan UCO sebagai biodiesel dapat menyelesaikan dua masalah lain yaitu masalah kesehatan dan lingkungan. Minyak jelantah berdampak negatif jika digunakan secara berulang, dan berdampak buruk pada lingkungan jika dibuang sembarangan.

Juang juga menambahkan salah satu caranya untuk menuju pangan yang berkelanjutan adalah dengan melihat kembali kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh petani-petani kecil di daerah yang sudah mempunyai mekanisme adaptasi perubahan iklim.

Ia mencontohkan seperti yang dilakukan pada masyarakat adat di Kasepuhan, Banten Selatan yang memiliki berbagai jenis varietas padi yang sudah disesuaikan dengan berbagai musim.

Selain itu, mereka juga memiliki sistem prediksi awal musim tanam yang cukup baik untuk yang tingkat akurasinya bahkan bisa menyaingi model prediksi kontemporer (berbasis ENSO, suhu muka laut) pada daerah mereka sendiri.

Menurutnya hal ini penting untuk memberikan masukan yang berharga bagi pemerintah. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi sistem pertanian dibanding menggunakan menggunakan satu sistem yang sama untuk semua daerah.

“Pada kenyataannya, setiap daerah memiliki keunikan dan kebutuhan tersendiri yang harus dipertimbangkan,” tambahnya.

KLIK INI:  Terobosan Joe Biden, Teken Perjanjian Iklim Paris dan Bergabung Kembali dengan WHO