Jalan Terjal Perjuangan Pengesahan Undang-undang Masyarakat Adat

oleh -129 kali dilihat
Menaruh Asa Tinggi Pada Pemuda Adat Dalam Memberdayakan Daerahnya
Ilustrasi gambar - Foto/AMAN
Azwar Radhif

Klikhijau.com – Kasus konflik yang melibatkan masyarakat adat masih kerap terjadi hingga hari ini. Dalam beberapa waktu terakhir kita tentu mengingat bagaimana perjuangan masyarakat Kajang dari ekspansi PT Lonsum, masyarakat Kendeng melawan pabrik semen, masyarakat adat Kinipan menjaga hutan dari ancaman perusahaan sawit dan massifnya pembukaan hutan adat di Papua yang turut menggusur hidup komunitas adat setempat.

Kasus-kasus ini hanya sebagian kecil dari puluhan kasus kriminalisasi masyarakat adat. Data dari AMAN mencatat sepanjang tahun 2020 telah terjadi 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap komunitas masyarakat adat.

Kasus-kasus ini berawal dari konflik masyarakat adat dengan perusahaan milik daerah/swasta maupun aparatur pemerintah setempat yang berujung pada penggusuran dan kekerasan fisik di tengah wabah pandemi.

Berbagai kasus konflik yang terjadi mencerminkan wujud ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan komunitas adat. Kehidupan masyarakat adat menjadi begitu rentan ketika diperhadapkan dengan kepentingan ekonomi makro.

Hadirnya perusahaan perkebunan dan tambang batubara di atas tanah adat kerap kali mengancam kehidupan masyarakat.

Atas nama pembangunan ekonomi dan infrastruktur, masyarakat adat kerap dijadikan tumbal. Aparatus pemerintah dianggap masih kerap abai terhadap hak-hak mereka.

KLIK INI:  Pengelolaan DAS yang Buruk Memicu Ragam Masalah Kesehatan

Padahal sesuai amanat UUD 1945 Pasal 18, Pemerintah NKRI mengakui dan menghormati kehidupan masyarakat adat serta memberi jaminan hukum atasnya. Itu artinya, kelestarian kehidupan komunitas masyarakat adat menjadi tanggung jawab pemerintah.

Meski begitu, hingga hari ini perjuangan untuk mendorong pengesahaan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat masih belum menemui titik terang.

Padahal UU ini selama 3 periode pemerintahan telah dimasukkan dalam UU prioritas di program legislasi nasional (Prolegnas).

Jalan panjang RUU Masyarakat Adat

Perjalanan panjang pengesahan RUU ini dimulai sejak masuknya RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA) kedalam prolegnas 2013-2014.

Sejak itu ditunjuklah panitia khusus untuk merumuskan draft RUU ini. Sayangnya, hingga menjelang turunnya para wakil rakyat, RUU tak selesai dibahas.

Pada periode berikutnya, RUU Masyarakat Adat kembali dimasukkan dalam Prolegnas di tahun periode 2014-2019. Hal ini selaras dengan program andalan pemerintahan Jokowi-JK yaitu Nawacita, yang didalamnya mencakup penjaminan kehidupan masyarakat adat.

KLIK INI:  Diperlukan Regulasi Khusus yang Melindungi Hak-Hak Kolektif Perempuan Adat

Meski begitu, niat baik ini kembali tertunda setelah tim khusus dari pemerintah pusat yang masing-masing dari beberapa kementerian terkait tak memberikan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) kepada DPR RI sehingga draft rancangan RUU ini kembali mandek diselesaikan.

Alhasil, komunitas masyarakat adat dituntut untuk kembali bersabar menunggu kepastian hukum dari pemerintah pusat. Hingga akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019. RUU ini kembali tak kunjung diselesaiikan.

Di tahun ini, DPR RI kembali memasukan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat kedalam prolegnas 2021. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya kejelasan nasib RUU ini.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menilai komunitas masyarakat adat begitu membutuhkan lahirnya UU ini. UU masyarakat adat dinilai dapat menjadi pegangan hidup kepada komunitas masyarakat adat dari ancaman kriminalisasi yang sewaktu-waktu bisa mengancam kehidupan mereka.

Muhammad Arman, selaku Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN menjelaskan, “Masyarakat adat jika diakui, dihormati secara holistik dengan UU Masyarakat Adat, maka itu bisa menjamin kepastian hukum, tidak hanya kepada masyarakat adat tetapi juga kepada investasi, karena jelas dengan siapa akan berhubungan ketika ada proses-proses pembangunan di sana,” Tutur Arman.

Lebih lanjut menurut Arman, lahirnya RUU ini merupakan amanat dari konstitusi tertinggi di negara ini.

Sehingga, sebagai warga negara, komunitas masyarakat adat juga memiliki hak untuk dilindungi hidupnya. Terlebih lagi dari ancaman penggusuran dan konflik dengan kepentingan korporasi yang terlegalkan dalam UU Cipta Kerja.

Untuk itu, Pengurus Besar AMAN ini berharap agar RUU Masyarakat Adat dapat mengakomodasi kepentingan seluruh elemen terkait sehingga kelak konflik dan praktik kriminalisasi dapat dihindari.

“Tantangannya adalah bagaimana mengakomodasi semua kepentingan itu tanpa melupakan substansi terhadap keadilan bagi masyarakat di dalam proses-proses pembangunan, karena keadilan dalam konteks demokrasi itu berangkat dari filosofi ‘dari, oleh dan untuk rakyat’,” jelasnya.

KLIK INI:  Rangkaian Inkonsistensi PT. Lonsum di Kajang Versi FMN Makassar yang Tak Kunjung Selesai