DPR Didesak Hentikan Solusi Palsu Energi Baru dalam RUU EBET

oleh -184 kali dilihat
ADPMET Luncurkan Inisiatif "Gaspol! Transisi Energi Daerah Penghasil Minyak dan Gas Bumi
DPR Didesak Hentikan Solusi Palsu Energi Baru dalam RUU EBET - Foto: Ist

Klikhijau.com – “Wakil rakyat di DPR perlu serius dan mendengarkan suara-suara masyarakat dalam membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET),” ujar Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko.

Menurut Suriadi, tanpa upaya serius dan mendengarkan suara-suara masyarakat, RUU EBET hanya akan menjadi payung hukum bagi masuknya solusi palsu dalam transisi energi.

Solusi palsu tersebut, menurut Suriadi Darmoko, adalah dipertahankannya penggunaan energi fosil dengan label hijau.

“Energi fosil yang menyebabkan krisis iklim, dipoles seolah-olah ramah lingkungan hidup,” tegasnya.

“Bila solusi palsu ini diakomodasi dalam RUU EBET, mimpi Indonesia untuk melakukan transisi energi tidak akan jadi kenyataan,” lanjutnya.

Rencananya, di akhir bulan Maret ini, Panitia Kerja RUU EBET akan menggelar rapat maraton untuk membahas RUU tersebut.

KLIK INI:  350 Indonesia Desak RUU EBT Fokus Atur Energi Terbarukan

“Masyarakat tentu berharap ada payung hukum terkait transisi energi yang memperkuat implementasi energi terbarukan, namun jika payung hukumnya justru mengakomodasi energi fosil yang diberi label energi baru, itu sama saja dengan mematikan upaya implementasi energi terbarukan sejak dini,” jelasnya,

Wacana energi baru, lanjut Suriadi Darmoko, hanyalah akal-akalan untuk mempertahankan penggunaan energi fosil.

“Wacana energi baru ini hanya akan mengganjal pengembangan energi terbarukan,” jelasnya.

“Energi terbarukan harus diberikan ruang yang cukup dalam kebijakan. Pengembangan energi terbarukan tidak bisa dicampuradukkan dengan energi fosil yang disamarkan melalui kalimat beracun energi baru.”

Alih-alih mendukung keberlangsungan industri fosil, DPR RI diharapkan dapat menangkal masuknya energi fosil dalam RUU tersebut. Menurutnya, saat ini hanya energi terbarukan yang belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang.

“Ambisi untuk melakukan transisi ke energi terbarukan akan kita lihat bersama dari RUU ini. Urgensinya jelas, aksi iklim untuk mengurangi emisi dari sektor energi sebesar 358 MTon CO2e dengan usaha sendiri, atau 446 MTon CO2e dengan bantuan internasional juga meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 34 persen pada 2030. Jika RUU tersebut masih berkutat pada energi fosil, maka aksi iklim dan peningkatan bauran energi terbarukan itu akan terkubur, bukan hanya tidak tercapai tapi bahkan dukungan kebijakan untuk memperkuat implementasi energi terbarukan juga tidak ada”, ujarnya.

KLIK INI:  Rumah Nol Energi, Ide Keren Mahasiswi Unhas Perkuat Misi Energi Terbarukan

“Dengan kata lain, DPR harus fokus ke persoalan energi terbarukan. Wacana energi baru perlu dikeluarkan dari RUU tersebut.”

Aksi iklim dan target bauran energi terbarukan akan tercapai jika DPR RI fokus membahas dan mengatur secara menyeluruh aspek yang dapat memperkuat energi terbarukan.

“Tidak terkecuali menagih tanggung jawab energi tak terbarukan untuk turut bertanggung jawab dalam mendanai energi terbarukan di indonesia. Undang-Undang Energi nomor 30 tahun 2007 mengamanatkan pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. Beranjak dari ketentuan tersebut, DPR harus memasukkan klausul yang mengatur pengalokasian pendapatan negara yang dihasilkan dari energi fosil untuk digunakan mendanai energi terbarukan di Indonesia”.

Dalam sebulan ini, lanjut Suriadi Darmoko, publik akan melihat apakah wakil rakyat yang dipilih secara langsung akan serius membahas implementasi energi terbarukan dalam RUU sebagai bagian dari aksi iklim indonesia atau tidak.

“Jutaan pasang mata publik tertuju pada DPR, jika dalam pembahasan RUU EBET ini, mereka masih memberikan ruang bagi solusi palsu maka publik akan mencatat bahwa DPR telah menjadi batu penghalang aksi iklim indonesia.” tegasnya.

KLIK INI:  Permasalahan Konservasi Berada di Moral, Bukan pada Masalah Teknis?