Daerah Asal Manusia Pertama itu, Pamerkan Piring dari Pelepah Pinang

oleh -1,251 kali dilihat
Daerah Asal Manusia Pertama itu, Pamerkan Piring dari Pelepah Pinang
Piring dari pelepah pohon pinang/foto-ist

Klikhijau.com – “ Di sana ada sedotan dari bambu,” ujar Andri begitu ia tiba di stand klikhijau.

“Di mana?” tanya saya

“Di stand Kabupaten Luwu,”

Usai Andri menyebut nama standnya, saya bergegas menuju stand tersebut. Tidak sulit menemukannya di antara jejeran stand yang memadati acara Sulsel Expo 2019 di Celebes ConventionCenter (CCC)

Di sana saya bertemu Ibu Husna dan beberapa orang yang sedang siaga menjaga stand pameran Pemerintah Daerah Luwu.

Informasi dari Andri memang benar, ada sedotan dari bambu yang dipajang, namun bukan hanya sedotan yang dipamerkan, ada berbagai macam kerajinan tangan.

KLIK INI:  Bagaimana Mengakali Limbah Fast Fashion?

Dan hal yang paling yang menarik perhatian saya adalah piring dari pelepah pohon pinang. Inovasi itu membuat saya kaget dan menyeret ke masa lalu.

Dulu, ketika saya kecil daun pinang yang biasa jatuh bersama pelepahnya adalah media “andalan” untuk berseluncur.

Tentu saja berseluncur yang saya maksud bukan seperti arti berseluncur dalam Kamus Besar Bahasa Indoonesia, yakni olahraga di atas es dengan cara berjalan menggunakan sepatu pisau di bagian bawahnya.

Berseluncur yang saya maksud tidak menggunakan sepatu dan bukan di atas es. Tapi, medianya adalah pelepah pinang. Satu orang atau lebih duduk di atasnya kemudian ditarik.

Jika medannya agak tebing, maka bisa berseluncur sendiri, cukup duduk manis saja di atas pelepah daun pinang dan kamu akan meluncur dengan tenang, biasanya disertai dengan teriakan.

Nasi lebih awet

Tapi, bagi masyarakat Luwu, menurut Ibu Husna telah menggunakan pelepah pinang sejak dulu sebagai pembungkus makanan, khususnya makanan sokko atau songkolo atau nasi dari beras ketan.

KLIK INI:  Sisi Lain, Covid-19 Mengajak Kita Lebih Mencintai Bumi

“Saya masih ingat, waktu kecil nenek di Belopa biasa mengirimkan sokko ke Palopo yang dibungkus dengan pelepah pinang,” kenang Husna.

Kisah masa kecil itu terekam tangguh dalam ingatannya. Tahun itu, kisaran tahun 60an. Ia kerap mendapat kiriman berupa sokko yang dibungkus dengan daun pinang lalu diikat.

“Dulu perjalanan dari Belopa ke Palopo bisa memakan waktu satu hari, sokko yang dibungkus itu bisa bertahan hingga tiga hari, tidak basi,” ujarnya.

“Sekarang ini, daun itu diubah menjadi piring yang cantik, lebih ramah lingkungan, dan tentu lebih sehat,” tambahnya.

KLIK INI:  KLHK dan BPPT Dorong Teknologi Pengelolaan Emas Ramah Lingkungan

Menurut Ros, yang juga menjaga stand tersebut, untuk membuatnya, bahannya dari pelepah pohon pinang yang jatuh.

“Yang diambil, yang jatuh sendrii, ini sudah lama diproduksi di Luwu, ada alat khusus yang dipakai untuk membentuknya menjadi priing,” terang Ros.

Ia mengaku membawa hanya selusin untuk dipamerkan, harganya hanya lima ribu rupiah. Tujuan memamerkan produk tersebut, selain mempromosikan kerajinan masyarakat Luwu, juga sebagai bentuk ajakan kepada masyarakat untuk mengurangi plastik, khususnya yang sekali pakai dengan kembali menggunakan bahan alami yang diwariskan leluhur.

Oya, tak hanya itu, mereka juga memamerkan pot bunga dan bossara dari akar pohon. Tentang pohon litto, saya sedang mencari apa bahasa Indonesianya. Nama litto adalah nama yang diberikan oleh masyarakat Luwu. Luwu sendiri dalam naskah La Galigo adalah menjadi tempat turunnya manusia pertama di Bumi, yakni Batara Guru.

KLIK INI:  Gadis Jadi Kuburan Sampah di Toraja Utara