Studi: Krisis Iklim Harus Direspons seperti Pandemi Covid-19

oleh -231 kali dilihat
Mitigasi Iklim demi Generasi Mendatang tetap Bertahan Hidup
Ilustrasi - Foto/cocoparisienne - Pixabay

Klikhijau.com – Pada bulan November mendatang, akan berlangsung konferensi COP26  di Glasgow, Inggris. Banyak hal telah dilakukan untuk menyambut konferensi tersebut.

Semisal yang dilakukan para peneliti dari Pusat Keadilan Iklim di Universitas Glasgow Caledonian di Skotlandia. Penelitian  itu bekerja sama dengan Aliansi Keadilan Iklim Pan-Afrika dan mitra akademis di Afrika.

Mereka telah merilis sebuah laporan yang  merekomendasikan pemerintah secara teratur untuk meninjau dan melaporkan kasus kematian dan kerusakan yang disebabkan oleh dampak krisis iklim.

Para peneliti berpendapat, pendekatan tersebut harus mencerminkan data waktu yang  tepat dan dikeluarkan selama pandemi.

Karena hal itu dapat membantu orang-orang mengenali urgensi situasi terkait krisis iklim. Sehingga  mendapatkan gambaran nyata tentang dampak buruk dari pemanasan global.

Proyek penelitian itu berlangsung selama empat bulan. Mereka meninjau literatur dan menyusun studi kasus dari negara-negara Afrika.

Mereka melakukannya dengan dua cara, yakni melalui survei online dan wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan organisasi sektor ketiga di delapan negara berbeda.

Dari hasil studi itulah, mereka kemudian menyusun laporan mereka.  Tujuan dari penelitian tersebut untuk menyoroti tantangan, peluang, dan rekomendasi utama untuk aksi iklim.

Selain itu, juga untuk implementasi Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) selama pandemi Covid-19 dan krisis di masa depan.

Laporan tersebut menyoroti kebutuhan penting untuk mengintegrasikanpemulihan Covid-19 dengan aksi iklim.

Tidak dapat dilakukan terpisah

Para peneliti itu menekankan, pandemi dan darurat iklim tidak dapat ditangani sebagai krisis yang terpisah. Karena ada bukti bahwa pandemi tidak hanya menahan tindakan yang sangat dibutuhkan untuk menghentikan dan mulai membalikkan pemanasan global.

Namun, pandemi juga berkontribusi memperburuk kerentanan yang ada bagi banyak komunitas dan negara di garis depan krisis iklim.

Tidak berhenti di situ saja, para peneliti juga menyoroti temuan bahwa pembatasan kesehatan yang diterapkan pada interaksi. Termasuk pertemuan tatap muka berdampak buruk pada proses pengembangan NDC. Hal itu menyebabkan penundaan yang signifikan.

Khusus di Afrika, di mana studi itu dilakukan. Peneliti melihat adanya tantangan pembangunan di seluruh Afrika dan bagaimana pandemi berdampak pada implementasi kontribusi dan aksi iklim yang disepakati di bawah Perjanjian Paris pada tahun 2015.

Apa yang ditemukan di Afrika, sangat mungkin pula melanda negara lain. Karena krisis iklim dan pandemi tidak hanya melanda satu benua saja.

Salah satu rekomendasi utama yang ditelurkan para peneliti, negara industri harus terlibat dalam melakukan tingkat dukungan keuangan dan juga sumbangan teknologi yang lebih tinggi ke negara-negara di Afrika.

Butuh dukungan negara industri

Negara-negara Afrika berkomitmen untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Perjanjian Paris. Tetapi banyak dari NDC mereka bergantung pada dukungan dari negara-negara industri.

Sangat penting bahwa pendanaan tidak dihentikan atau dibatasi karena pandemi di negara-negara terkaya di dunia. Banyak koresponden dalam studi tersebut khawatir bahwa pendanaan tidak akan datang. Karena pemerintah di negara maju memprioritaskan pemulihan lokal dengan cara yang picik.

Peserta dalam penelitian ini juga menggarisbawahi perlunya pendekatan proaktif daripada sikap reaktif. Dengan data dan pelaporan akan membantu pemerintah untuk bersiap dan bertindak cepat.

Dan kerjasama efektif tingkat tinggi antara pemangku kepentingan yang berbeda, secara nasional dan internasional selama pandemi dapat direplikasi dalam mengatasi krisis iklim. Politik akan sering tertinggal bahkan ketika sumber daya tersedia.

Jadi, pembuat kebijakan harus mengenali kapasitas untuk mengatasi keadaan darurat iklim dan mengadvokasi alokasi sumber daya. Masyarakat sipil pun harus meminta pertanggungjawaban pemerintah.

Interkonektivitas yang ditawarkan oleh alat-alat digital harus dirangkul bahkan setelah pandemi berakhir untuk lebih mempromosikan tindakan kolektif terhadap perubahan iklim.

Pandangan holistik dan global sangat penting bagi negara-negara berkembang untuk memenuhi tujuan keberlanjutan mereka.

Banyak dari mereka yang diwawancarai untuk penelitian ini mencatat bahwa meskipun perubahan iklim pada akhirnya lebih mematikan daripada virus, hal itu gagal menimbulkan tingkat urgensi yang sama di pemerintah dan masyarakat sipil.

Ada bahaya dalam penanganan pandemi dan akibatnya, kita akan mengurangi upaya mendesak yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim kita.

Harus direspons seperti pandemi

Pemerintah dan pihak berwenang harus memperlakukan keadaan darurat iklim dengan respons drastis yang sama seperti pandemi. Mereka harus menyadari urgensi tindakan iklim saat mereka membuat rencana pemulihan.

Melaporkan data iklim dengan cara yang sama seperti data yang berkaitan dengan pandemi dapat membantu mendidik masyarakat. Selain itu juga akan memperjelas perlunya tanggapan drastis kepada pembuat kebijakan dan masyarakat umum.

Masyarakat dapat bangkit dengan cepat dalam menanggapi keadaan darurat, seperti yang telah kita lihat selama pandemi di banyak negara.

Karena itu, penting pula meningkatkan kesadaran lokal tentang dampak perubahan iklim dapat menghasilkan tindakan terhadap krisis iklim dengan cara yang sama. Dan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang ambisius harus mengikutinya.

KLIK INI:  Polusi Ozon Tingkatkan Suhu Global dan Hambat Produksi Tanaman

Sumber: treehugger.com