Klikhijau.com – Aspek ekonomi masih menjadi fokus yang relatif lebih besar dibandingkan aspek lingkungan dan sosial dalam proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia,
Pembahasan transisi energi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia masih banyak yang terfokus pada aspek teknis, pembiayaan teknologi & infrastruktur produksi energi terbarukan, dan penciptaan lapangan kerja untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Laporan studi Nexus Assessment of Indonesia’s Energy Sector oleh Dala Institute bertujuan untuk memaparkan bukti berbasis data dan usulan strategi tentang mengimplementasikan pola pikir Nexus (keterkaitan) ke dalam proses formulasi kebijakan negara di sektor ketenagalistrikan. Laporan studi ini menilai keterkaitan (nexus) dari tiga aspek:
(1) transformasi ekonomi, (2) kelestarian lingkungan, dan (3) inklusivitas sosial dalam visi nasional untuk transisi menuju tenaga listrik berkelanjutan dengan menganalisa kebijakan, peraturan, rencana dan strategi transisi energi sektor ketenagalistrikan di tingkat kebijakan nasional, operator, dan implementasi proyek.
Temuan studi ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi masih menjadi fokus yang relatif lebih besar dibandingkan aspek lingkungan dan sosial dalam proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia, baik di tingkat kebijakan nasional, tingkat operator dan tingkat implementasi proyek.
Tingkat Kebijakan Nasional
Berdasarkan sejumlah wawancara dengan pemangku kepentingan, temuan di lapangan mengindikasikan bahwa meskipun RPJMN mempertimbangkan ketiga aspek Nexus, strategi khusus untuk mencapai tujuan keberlanjutan lingkungan dan inklusi sosial masih lemah.
Tiga dari tujuh agenda pembangunan RPJMN lebih berfokus pada diversifikasi energi dan perluasan elektrifikasi yang ditargetkan untuk memenuhi permintaan listrik yang meningkat yang mana akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan pemerintah. Strategi khusus yang berfokus pada ekonomi ini tampaknya tidak banyak selaras dengan pencapaian komitmen tujuan iklim atau penyediaan listrik yang dapat diakses dan terjangkau oleh kelompok rentan dan terpencil.
Terdapat ketidakkonsistenan dalam strategi transisi energi pemerintah dalam melibatkan tujuan nexus. Di satu sisi, strategi pemerintah bertujuan untuk mendiversifikasi sumber tenaga listrik guna meningkatkan pangsa energi terbarukan. Namun, di sisi lain strategi ini juga bertujuan untuk mengembangkan nilai tambah produksi batubara yang dapat mengakibatkan ekonomi bergantung pada sektor bahan bakar fosil.
Selain itu, kurangnya kapasitas untuk mengintegrasikan atau mengukur elemen sosial dan lingkungan dalam kebijakan energi nasional mengindikasikan bahwa aspek-aspek ini belum mendapatkan perhatian dalam implementasi dan penilaian dampak dari rencana dan strategi jangka menengah transisi energi.
Belum dilaksanakannya reformasi kebijakan yang terpadu dan koheren yang mencakup peningkatan kapasitas, pengaturan kelembagaan, dan insentif untuk transisi lebih cepat ke energi terbarukan merupakan salah satu penyebab eksistensi kebijakan pemerintah terkini yang cenderung mengabaikan tujuan inklusi sosial seperti jaminan pekerjaan dan kesetaraan gender.
Tingkat Operator
Sama halnya dengan kebijakan energi nasional, strategi Perusahaan Listrik Negara (PLN) difokuskan untuk mendorong keuntungan ekonomi dari sektor tersebut, dengan kurang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Mandat yang tumpang tindih dan lobi dari berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan menjadi tantangan dalam memastikan ketiga elemen nexus energi mendapat perhatian dan pertimbangan yang setara dan tepat.
Mekanisme akuntabilitas yang tidak jelas untuk penyediaan dan pembangkitan listrik cenderung didorong oleh standar korporasi universal dibandingkan oleh mandat pemerintah. Realita ini mengakibatkan penerapan strategi yang rapuh dalam mencapai target Nexus.
Tingkat Implementasi Proyek
Konsistensi proyek energi dengan kebijakan energi nasional dan rencana operasional serta mekanisme akuntabilitas masih belum jelas, sehingga cenderung membuat pencapaian tujuan nexus energi tidak terlihat di tingkat implementasi proyek. Rencana implementasi proyek energi terbarukan yang diidentifikasi dalam studi ini mempertimbangkan tujuan nexus, tetapi tidak memberikan informasi yang cukup tentang apakah prosedur mitigasi risiko lingkungan dan sosial akan diterapkan dan efektif.
Perbedaan pandangan dari berbagai pihak tentang adanya aspek lingkungan dan sosial di tingkat implementasi proyek menjadi perhatian dari studi ini. Salah satu contoh adalah pengembang PLTS mengklaim standar prosedur operasi untuk perlindungan lingkungan dan sosial dalam proyek pengembangan energi terbarukan yang mereka lakukan sudah kuat. Namun, terdapat kekhawatiran yang disampaikan masyarakat mengenai dampak lingkungan dan sosial karena pembangunan PLTS masih berlangsung dan proses operasionalnya belum kunjung dimulai.
Komunitas perikanan adalah salah satu sektor komoditas yang paling terdampak dari kehadiran proyek PLTS Cirata. Radius tangkapan nelayan di Waduk Cirata menyusut sebagai dampak dari pelarangan sejak instalasi panel surya apung dilakukan.
“Banyak dari kami terpaksa beralih mata pencaharian karena dampak proyek pengembangan mengakibatkan penyusutan radius tangkapan nelayan di Waduk Cirata. Pelatihan yang ditawarkan perusahaan juga tidak memberikan jalan keluar yang sepenuhnya efektif. Nelayan mengalami kesulitan bertransisi ke pekerjaan lain,” ujar seorang nelayan yang aktivitas sehari-harinya mencari ikan di Waduk Cirata.
Kesimpulan Laporan Studi
“Dari ketiga aspek tersebut, temuan kami menunjukkan bahwa aspek ekonomi saat ini masih mendominasi semua tahap penyusunan rancangan kebijakan transisi energi, yang terutama didorong oleh fokus pada pemenuhan kebutuhan listrik nasional dan target PDB demi masuk dalam kategori negara maju pada 2045,” jelas Hamidah Busyrah, peneliti Dala Institute.
“Adanya objektif berbasis Nexus energi di semua tingkatan tidak menjamin kebijakan dan strategi yang ada akan benar-benar direalisasikan,” tambah Balgis Inayah, peneliti Dala Institute. Dengan kata lain, walaupun strategi yang dicanangkan memiliki tujuan yang realistis untuk dicapai, namun cenderung diabaikan dalam praktiknya.
Baik di tingkat kebijakan nasional, operator dan implementasi proyek, kebijakan dan strategi sektor ketenagalistrikan masih lebih berfokus pada prioritas ekonomi, sedangkan konteks lingkungan dan sosial secara tidak langsung kerap dipertimbangkan karena adanya trade-off yang kompleks. Sehingga perlu ada ‘jika’ yang masif untuk meyakinkan pihak terkait untuk lebih gencar dalam mengimplementasikan transisi energi yang transformatif, berkelanjutan, dan inklusif untuk sektor ketenagalistrikan di Indonesia.