Komitmen Indonesia untuk Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan

oleh -113 kali dilihat
Komitmen Indonesia untuk Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan
Ilustrasi kendaraan listrik/vecteezy

Klikhijau.com – Sektor ketenagalistrikan Indonesia diharapkan dapat mendukung transformasi ekonomi, inklusi sosial, dan pelestarian lingkungan dalam memenuhi komitmen negara untuk merealisasikan target NDC (Nationally Determined Contribution) yang diumumkan pemerintah pada 2022, khususnya target pengurangan emisi sebesar 32% dalam skenario normal pada 2030 dan pengurangan 43% melalui bantuan internasional.

Tahun 2022, Pemerintah Indonesia meluncurkan Platform Negara untuk Mekanisme Transisi Energi sebagai kerangka kerja penyediaan pembiayaan untuk peningkatan infrastruktur energi negara dan mempercepat efektivitas guna mencapai emisi net-zero secara adil dan terjangkau.

Pada KTT G20, Pemerintah Indonesia meluncurkan Roadmap Transisi Energi, sebuah inisiatif yang digagas Kelompok Kerja Transisi Energi G20. Tujuannya adalah untuk menghasilkan solusi konkrit dari proses diskusi di KTT dengan memperkuat sistem energi global dan transisi energi yang adil dalam konteks pemulihan berkelanjutan.

Terdapat juga program Just Energy Transition Partnership, yaitu sebuah kolaborasi skema pendanaan yang dibentuk pada awal 2023 antara Indonesia dan berbagai mitra internasional yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang.

Di KTT G20, diumumkan bahwa negara-negara peserta JETP menyetujui kesepakatan pembiayaan senilai $20 miliar yang ditujukan untuk membantu Indonesia mengakselerasi transisi menuju ekonomi rendah karbon dengan bimbingan JETP. Pemerintah Indonesia berambisi untuk meningkatkan pembangkit energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

KLIK INI:  Menilik Potensi Ekonomi Biru di Sulsel Berbasis Kolaborasi Multi Sektor

Dari sisi regulasi, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang menjabarkan rencana penghentian dini pembangkit listrik berbahan bakar batubara dengan beberapa pengecualian.

Menurut riset Institute for Essential Services Reform (IESR) pada tahun lalu, terdapat 12 PLTU dengan total kapasitas 4,5 GW yang sebenarnya dapat dipensiunkan dalam kurun waktu 2022-2023.

Hasil analisis cost and benefit dari kajian tersebut menemukan bahwa benefit yang bisa diraih dari skenario akselerasi proses pensiun PLTU diperkirakan 2-4 kali lebih besar dibandingkan cost yang dikeluarkan untuk memensiunkannya.

Potensi Implementasi Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan Indonesia

Menurut data BKPM tahun 2021, pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi Indonesia telah menyebabkan permintaan listrik yang meningkat pesat di sektor industri dan rumah tangga, meskipun sempat melambat selama pandemi COVID-19 (ADB 2020). Dari 2015 hingga 2030, permintaan energi di Indonesia diproyeksikan akan meningkat sebesar 80%, sedangkan permintaan listrik diperkirakan akan bertumbuh tiga kali lipat.

Data lain dari IRENA tahun 2017 menunjukkan bahwa kondisi ketenagalistrikan Indonesia terkini menawarkan peluang investasi hijau yang dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB dan membuka lapangan pekerjaan. Akselerasi penerapan energi terbarukan dapat meningkatkan PDB Indonesia antara 0,3% hingga 1,3% pada 2030 karena tingkat investasi yang lebih tinggi di sektor energi.

KLIK INI:  Konferensi Hijau Tim Eropa Beri Dukungan untuk Percepat Transisi Energi Indonesia

Meski demikian, studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa kendala teknis, ekonomi, dan politik yang muncul di tengah upaya negara untuk memprioritaskan sustainability, menunjukkan bahwa energi terbarukan saja tidak mungkin akan menggantikan kontribusi utama bahan bakar fosil terhadap bauran energi nasional di sektor ketenagalistrikan dalam waktu dekat. Indonesia sendiri memiliki surplus energi karena batubara, yang menghambat peralihan menuju transisi energi.

“Analisis ekonomi politik sebelumnya mengindikasikan adanya kendala serius seputar kebijakan yang sulit diprediksi dan kurangnya koordinasi antar kementerian dalam pengembangan kebijakan untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan. Secara khusus, Indonesia telah mengalami kendala prinsipal-agen multi-segi,” kata Aidy Halimanjaya, Direktur dan Pendiri Dala Institute

Penjelasan Aidy mengacu pada bagaimana Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan listrik milik negara yang memiliki otoritas tunggal dalam mengelola transmisi dan distribusi daya listrik di Indonesia – juga mengelola berbagai kebijakan prioritas sejumlah pemangku kepentingan prinsipal, termasuk Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Dampak dari sistem regulasi yang rumit ini terlihat dari pendekatan tata kelola campuran pada sektor ketenagalistrikan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana kerap terdeteksi kendala dalam menegosiasikan perjanjian pembelian tenaga listrik. Selain itu, persyaratan kepatuhan juga kerap menjadi rintangan yang signifikan bagi pengembangan proyek energi terbarukan.

KLIK INI:  Tahun 2022, Indonesia Perlu Kejar Kesiapan Ekosistem Transisi Energi