Hari Bumi, WALHI Sulsel Serukan Selamatkan Bumi dan Pulihkan Sulawesi Selatan

oleh -253 kali dilihat
Hari Bumi, WALHI Sulsel Serukan Selamatkan Bumi dan Pulihkan Sulawesi Selatan

Klikhijau.com – Hari bumi 22 April dijadikan momen reflektif bagi masyarakat, termasuk gerakan “civil society”. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel juga menyerukan narasi “selamatkan bumi dan pulihkan Sulawesi Selatan.

Aktivis WALHI Sulsel melakukan aksi damai yang unik di Pantai Losari Makassar, Senin (22 April 2019), dengan menunjukkan papan bertuliskan pesan-pesan lingkungan. Tidak hanya itu, WALHI juga mengumpulkan surat atau nota harapan dari masyarakat yang selanjutnya dimasukkan ke dalam “kotak harapan bumi”.

Banyak masukan dan harapan yang berhasil dikumpulkan. Umumnya menyuarakan harapan agar bumi tetap bersih, hijau dan lestari. “Siapa pun Presidennya, tolong bumi ini dijaga!” begitu sebuah narasi yang dituliskan seorang warga.

Aksi damai ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Banyak warga kota akhirnya sadar bahwa 22 April adalah hari bumi yang diperingati secara global.

KLIK INI:  Rayakan Hari Bumi, BBKSDA Sulsel Ajak Menanam dan Pakai Tumbler

WALHI Sulsel memaknai Hari Bumi sebagai momentum untuk mengajak orang peduli terhadap lingkungan hidup. Gerakan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi.

“Bumi kita saat ini sedang berada pada kondisi yang kritis dan keterancaman akibat dari eksploitasi tanpa henti yang dilakukan oleh manusia terhadap sumber daya alam yang ada di bumi,” kata Muhammad Al Amien Ketua WALHI Sulsel.

Menurut WALHI, Indonesia didominasi oleh bisnis ekstratif sumber daya alam dan model pembangunan tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan serta mengakibatkan bencana ekologis di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan catatan WALHI Sulawesi Selatan laju kerusakan lingkungan di Sulawesi Selatan terus meningkat dan mempengaruhi bentang alam hutan, pesisir dan laut serta kawasan pegunungan karst.

“Dalam satu dekade terakhir kawasan hutan di Sulawesi Selatan yang mencapai 2.725.796 hektar sebagian besarnya dalam kondisi kritis dengan luas lahan kritis mencapai 516.398 hektar akibat dari semakin massifnya aktivitas tambang, perkebunan skala besar, proyek infrastruktur energi PLTA. Untuk perizinan tambang, WALHI Sulawesi Selatan mengamati pertumbuhannya terus mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, 2016-2019,” jelas Al Amien.

KLIK INI:  Hari Bumi, Kapitalisme dan Tragedi di Negeri Makmur

Pada tahun 2016 terdapat 414 IUP dan hingga tahun 2017 meningkat signifikan menjadi 583 IUP. Di Kabupaten Luwu Timur tercatat ada 13 perusahaan pertambangan yang beroperasi dan yang paling banyak menguasai konsesi di kawasan hutan adalah PT. Vale Indonesia Tbk dan turut berkontribusi langsung terhadap kerusakan hutan tropis di Pegunungan Tokalekaju dan pencemaran lingkungan di Danau Mahalona.

Catatan WALHI Sulsel menunjukkan, bencana ekologis banjir dan longsor di Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dan Kota Makassar pada bulan Januari 2019 yang menimbulkan korban jiwa meninggal sebanyak 68 orang selain karena dampak buruk aktivitas tambang juga tidak terlepas dari kondisi hutan di DAS Jeneberang yang sangat kritis. Perhatian pemerintah terhadap kondisi DAS Jeneberang terbilang sangatlah kurang.

Dari total luas area DAS Jeneberang sebesar 78.480 hektar kondisi tutupan hutannya hanya tinggal 16,8 persen dan sekitar 83 persen lebih lahannya diperuntukkan di luar fungsi resapan air

“Potret kerusakan lingkungan juga terus terjadi di bentang pesisir dan laut Sulawesi Selatan. Aktivitas reklamasi dan tambang pasir laut telah merusak ekosistem pesisir dan laut serta menghancurkan ruang hidup nelayan.

Di Desa Sampulungan dan Desa Mangindarang Galesong Raya Kabupaten Takalar aktivitas tambang pasir laut telah menimbulkan abrasi di sepanjang pantai yang mengakibatkan 20 rumah masyarakat hancur diterjang ombak dan rusaknya dua pemakaman umum masyarakat serta menurunnya pendapatan 6.474 nelayan hingga 80 persen,” kata Al Amien.

Selain itu, aktivitas tambang pasir laut yang dilakukan oleh PT Boskalis dan PT Jan De Nul sejak tahun 2017 diperuntukkan untuk proyek reklamasi di Kota Makassar seluas 4.000 hektar dan salah satunya adalah proyek reklamasi CPI untuk bisnis property yang dilaksanakan oleh pihak Ciputra Group.

KLIK INI:  Tentang Hari Bumi Sedunia dan Fakta Historis di Baliknya

Penetapan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) oleh DPRD Provinsi Sulawesi Selatan justru diarahkan sebagai payung hukum yang mengakomodir alokasi ruang untuk pertambangan pasir laut dan kelanjutan proyek reklamasi yang tentunya akan semakin meningkatkan kerusakan pesisir dan semakin sempitnya wilayah tangkap nelayan di Kabupaten Takalar dan Kota Makassar.

Sementara untuk kawasan pegunungan kars di Kabupaten Maros-Pangkep juga mengalami tekanan yang cukup berat karena aktivitas pertambangan batu gamping untuk produksi semen, marmer dan industri lainnya. Hingga saat ini tercatat ada 33 perusahaan yang beroperasi di sekitar kawasan kars Kabupaten Maros dan konsensi yang paling luas masih dipegang oleh PT Semen Bosowa.

Keberadaan aktivitas pertambangan tersebut tidak banyak manfaat bagi masyarakat terkhususnya masyarakat di Desa Baruga dan Desa Tukamasea justru dampak pencemaran lingkungan seperti polusi udara yang didapatkan masyarakat sejak lama.

Dari beberapa potret kerusakan lingkungan di atas, WALHI Sulawesi Selatan berharap Hari Bumi 22 April 2019 menjadi momentum bersama dalam memperluas gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Sulawesi Selatan.

Mewujudkan keadilan ekologis serta meminta dengan tegas kepada pemerintah menghentikan perusakan lingkungan dan meninjau ulang kembali pemberian izin-izin yang bersumber dari aktivitas bisnis ekstraktif dan bisnis properti skala besar demi menyelamatkan bumi kita untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

KLIK INI:  BBKSDA Sulsel Inspirasi Anak-Anak Muda di Kota Palopo Agar Peduli Satwa