Klikhijau.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memberi kritik tajam atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan sedimen di laut. Bukan tanpa alasan, PP ini dinilai menjadi ancaman serius pada ekosistem laut dan wilayah Kelola pulau-pulau kecil.
Terbukanya kran untuk penambangan sedimen di laut dinilai lebih berorientasi pada kepentingan bisnis yang dikemas dengan alasan menjaga lingkungan.
Dari akun Instagram resmi WALHI Sulsel, pernyataan resmi mengenai kritik tajam atas PP Nomor 26 tahun 2023 diterangkan begitu jelas. WALHI melihat bahwa pasal-pasal yang terkandung di dalamnya sejatinya adalah pengaturan yang telah lama dihapus dalam dua dekade terakhir. Antara lain melalui Keputusan bersama tiga Kementerian di era Presiden Megawati melalui Inpres No 2 tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut. Lalu, disusul terbitnya Kerpres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Perusahaan Pasir Laut.
Bahkan di era Presiden SBY, pemerintah mengeluarkan peraturan larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil (termasuk tanah pucuk atau humus).
WALHI melihat terbitnya PP Nomor 26 tahun 2023 harus disikapi secara kritis. Masyarakat perlu membuka ruang dan sumber daya untuk review dalam bentuk usulan pencabutan atau pembatalan PP Nomor 26 tahun 2023 ini.
Pasal-pasal yang perlu dicermati
Sejumlah pasal-pasal dalam regulasi ini dinilai WALHI sebagai akal-akalan penambangan bebas IUP di balik istilah pemanfaatan sedimentasi laut (Pasal 1 angka 4 dan Pasal 10).
Dikatakan bahwa frase “pemanfaatan sedimentasi laut” sebenarnya merujuk pada “penambangan pasir laut” yang menurut WALHI ditujukan untuk reklamasi dan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
WALHI menegaskan bahwa pelintiran kata “pemanfaatan” dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 jelas menabrak proses mekanisme di dalam Undang-undang pertambangan mineral dan batubara. Hal tersebut menyusul dengan pemanfaatan pasir laut yang dapat dilakukan oleh siapa pun dengan membentuk badan usaha tanpa harus mengajukan izin usaha pertambangan (IUP). Sedangkan kewajiban IUP hanya dibebankan pada tahap penjualan.
WALHI melihat regulasi ini merupakan karpet merah penambang pasir laut dalam pengurusan IUP (Pasal 10 ayat 4). Alasan yang dibuat-buat untuk membersihkan sedimentasi dirancang untuk menarik investasi besar pada bisnis pasir laut.
“Bukan main, reklamasi yang biasanya menjadi mega proyek telah diatur sedemikian rupa dalam pasal ini untuk mempermudah dan mengesampingkan fungsinya sebagai Lembaga administrasi melakukan segala cara untuk menarik investor dan keuntungan bisnis di balik kehancuran ekologi,” tulis WALHI.
Hal lain yang juga krusial dalam regulasi ini adalah tidak adanya proses pelibatan masyarakat terdampak dalam dokumen perencanaan. Parahnya, terang WALHI, dokumen ini menjadi legalitas tanpa perlu ada persetujuan lingkungan dan dokumen AMDAL dan persetujuan Lingkungan Hidup sebagai syarat utama dalam dokumen perencanaan dan pengendalian tambang pasir laut.
Lemahnya aspek pengawasan penambangan pasir laut tampak pada peran sentralistik dari kementerian (Pasal 22). Pelaksanaan dan pengawasan aktivitas pemilik izin pemanfaatan pasir laut ini hanya ada pada Kementerian tanpa ada Unit khusus yang membidangi fungsi pemantauannya. Bagi WALHI, Menteri yang berwenang dalam pengawasan pun tidaklah jelas dalam PP ini. Bahkan, masyarakat tidak dianggap sebagai pihak yang paling rentan untuk menjadi bagian dari fungsi pengawasan.
WALHI bahkan menyoroti secara kritis bahwa pada Pasal 9, terlihat regulasi ini hanyalah akal-akalan mendukung reklamasi yang sesungguhnya merusak ekosistem laut. Selain iu, PP ini juga dinilai berpotensi melabrak aturan pemanfaatan ruang.
“Dari segi rencana zonasi juga jelas persoalan sedimentasi dan penambangan pasir laut adalah dua hal berbeda. Pemerintah dan para pebisnis mencoba mengakali hal tersebut dengan pelintiran kata pengerukan sedimentasi yang diperuntukkan untuk kebutuhan ekspor dan reklamasi,” tegas WALHI.