Kok Bisa Tren Karhutla Cenderung Meningkat Setahun Jelang Pilkada?

oleh -61 kali dilihat
Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan
Ilustrasi - Foto/Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Hal menggelitik mengenai kebakaran lahan dan hutan (karhutla) adalah adanya tren yang meningkat jelang pilkada.

Pilkada atau pemilihan kepala daerah, telah menjadi “pesta” yang dirayakan dengan heboh oleh masyarakat. Pesta itu juga merambah pada karhutla.

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal International Forestry Review ini menunjukkan hal tersebut.

Penelitian itu mengungkapkan adanya tren peningkatan frekuensi titik api di sejumlah daerah pada setahun sebelum diselenggarakannya pilkada di Indonesia.

KLIK INI:  Pembalakan Liar di Hutan Mangrove Lantebung Makassar Terjadi Jelang PSBB

Adalah media daring DW yang menyiarkan kabar tersebut. Menurutnya penelitian ini melibatkan sejumlah ilmuwan dari berbagai lembaga riset seperti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan organisasi PBB untuk pengembangan industri (UNIDO).

Jumlah penyelenggaraan pilkada sebut penelitian tersebut di Sumatra dan Kalimantan selama 17 tahun terakhir mencapai puncaknya pada tahun 2005, 2010 dan 2015.

Hal itu diiringi dengan jumlah titik panas terbesar terjadi pada tahun 2004, 2006, 2009, 2014 dan 2015. Hal ini bertepatan dengan setahun sebelum penyelenggaraan pilkada, kecuali untuk karhutla yang terjadi tahun 2006.

“Penggunaan api sebagai alat pembuka lahan sangat dipengaruhi oleh politik lokal dengan frekuensi yang jelas meningkat sekitar setahun sebelum pemilihan kepala daerah,” demikian pernyataan dari penelitian tersebut.

KLIK INI:  Berulang Tahun ke-13, SPORC Bertekad Semakin Profesional
Pendekatan ekonomi politik

Menurut penelitian itu, sebelum pilkada, calon petahana cenderung mengeluarkan izin pengelolaan lahan yang diharapkan akan bisa meningkatkan peluang mereka untuk kembali terpilih dan melanjutkan ke periode pemerintahan kedua. Sementara itu, para calon penantang berkampanye dan menebar janji akan mengalokasikan lahan.

“Izin yang diberikan ini menunjukkan adanya koneksi politik yang menyebabkan kurangnya kontrol dalam menggunakan api untuk pengelolaan lahan. Di Kalimantan, pilkada justru dianggap sebagai penghalang (bukan solusi) bagi perjuangan mengatasi kebakaran hutan dan melindungi lingkungan Kalimantan yang dengan cepat memburuk,” tulis penelitian itu.

Hasil penelitian pada data sebaran titik api dari tahun 2001 hingga 2017 juga menunjukkan bahwa frekuensi titik panas (hotspots) terbesar terjadi di perkebunan kayu dan kelapa sawit dan konsesi penebangan (47 persen), diikuti oleh kawasan konservasi (31 persen) dan lahan masyarakat yaitu sebanyak 22 persen.

Penelitian itu pun menyimpulkan bahwa solusi untuk kebakaran lahan dan hutan seharusnya tidak hanya memprioritaskan pengelolaan teknis lahan dan hutan. Tetapi, juga harus didasarkan pada pendekatan ekonomi politik untuk membangun tata kelola yang lebih kuat.

KLIK INI:  Pangkas Emisi GRK, Kominfo Kembangkan Infrastruktur Digital Ramah Lingkungan

Tahun ini Indonesia kembali disibukkan oleh kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KemenLHK). Total kebakaran lahan dan hutan tahun ini yaitu seluas 857.755 hektare. Sementara itu, Indonesia juga akan menyelenggarakan pilkada serentak pada tahun 2020.

Herry Purnomo, peneliti dari CIFOR dan IPB yang juga terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan kepada DW Indonesia bahwa ada korelasi positif antara peningkatan frekuensi titik panas pada satu tahun sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung.

“Kalau dekat-dekat pilkada pengawasan kendor karena orang ingin dapat simpati dari yang kelompok yang ditargetkan… Jelang pilkada tahun depan, bagi-bagi lahan adalah hal yang biasa dilakukan untuk membujuk orang. Jadi kalau di Jakarta ada politik uang, di daerah itu ada politik lahan,” ujarnya.

Lebih lajut Herry mencontohkan bahwa ada pembiaran oleh sejumlah kandidat dengan memberikan akses lahan ilegal agar bisa dikelola.

KLIK INI:  Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

“Dikasih akses ke lahan-lahan pemerintah atau lahan yang tidak dikelola developer dan ketika aksesnya ilegal. Pengelolaannya juga ilegal seperti dengan membakar. Pembiaran itu sangat kuat, itu yang kami amati di lapangan. Ada korelasi positif,” ujar Herry kepada DW Indonesia.

Kuatnya oligarki

Meski demikian, Herry menambahkan bahwa penelitian ini tidak menampik adanya pengaruh kebakaran dari variabel lain seperti suhu udara, kelembaban atmosfer, dan El Nino kuat seperti yang terjadi pada tahun 2015.

Mantan Menko Polhukam Wiranto seperti dikutip dari Kompas pada 13 September 2019 oleh DW mengakui bahwa ada modus baru pembakaran hutan yang terkait dengan persaingan politik dalam rangka pilkada.

Sedangkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengakui bahwa sektor kehutanan merupakan sektor yang rawan korupsi. Dengan kekayaan sumber daya alam hutan yang luar biasa, sektor kehutanan menjadi salah satu sumber penerimaan negara terbesar.

“Sebab itu juga ia menjadi bancakan banyak pihak. ICW mencatat potensi penerimaan negara yang hilang akibat deforestasi hutan mencapai Rp 499,507 triliun,” ujar Egi seperti yang dimuat DW Indonesia.

KLIK INI:  Mencengangkan, di Negara Vladimir Putin, Asap Industri Batu Bara Menyulap Salju Jadi Hitam

Egi juga tidak menampik bahwa Pilkada juga memiliki pengaruh terhadap percepatan kerusakan hutan di Indonesia yang juga berkaitan erat dengan laju korupsi.

“Pada masa pilkada celah untuk melakukan praktik-praktik koruptif terbuka lebar. Pada masa ini pula lebih rawan terjadi politik transaksional antara politisi seperti kepala daerah dan pengusaha. Modus yang biasa terjadi adalah suap untuk penerbitan izin,” ujarnya.

“Contoh aktor yang terjerat kasus korupsi kehutanan adalah mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang baru diberi grasi oleh Presiden RI Joko Widodo dan Bupati Bogor, Rachmat Yasin,” kata Egi.

Selain pilkada, ia juga menyoroti faktor lain yang turut berperan dalam perusakan sumber daya alam hutan, yaitu kuatnya oligarki.

Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang hanya dikuasai sebagian kecil elit di dalam sebuah masyarakat. Sistem ini seringkali memanfaatkan sumber daya alam, termasuk hutan, untuk memperoleh keuntungan pribadi.

“Pada akhirnya deforestasi, pembakaran hutan, kerusakan hutan semakin parah. Pilkada adalah masa terbaik bagi mereka untuk unjuk taring dan merusak sumber daya alam kita,” ungkapnya.

KLIK INI:  Korporasi dan Masyarakat Diberi Maklumat Cegah Karhutla