- Tangan Tuhan di Dua Musim - 04/05/2025
- Kayu Bitti, Penyelamat Perahu Pinisi - 26/04/2025
- Keladi Hias dan Ibu - 05/04/2025
Klikhijau.com – Aku suka hari Minggu karena Ayah akan membawaku ke kebun. Di kebun itu tumbuh empat batang pohon Bitti. Tak terlalu besar. Tapi Ayah sangat menyuka dan mengandalkannya.
Setiap ke kebun. Aku akan didudukkan di bawah salah satu pohon Bitti itu. Lalu Ayah akan bercerita keajaiban pohon Bitti tersebut.
“Pingki, kayu dari pohon ini sangat ajaib. Bisa mengarungi lautan,” kata Ayah.
“Bagaimana bisa, Ayah,” tanyaku.
“Dari pohon inilah, perahu pinisi tercipta,” terang ayah.
Penjelasan Ayah membuatku penasaran. Tapi, Ayah selalu membiarkan rasa penasaranku tumbuh. Katanya, dari rasa penasaranlah, pengetahuan lahir.
“Jadi, kalau tak ada pohon ini, tak ada pinisi, Ayah?”
“Iya, pohon ini sangat penting. Jadi, harus ditanam dan dijaga,”
“Biar kampung kita tetap bernama Butta Panrita Lopi, Ayah?”
“Kamu pintar, Pingki, pintar seperti ibumu. Ibu yang mendengar pujian Ayah hanya tersenyum.
Ibu lalu ikut bercerita tentang perahu pinisi, katanya selama ini kayu Bitti banyak didatangkan dari luar Bulukumba. Padahal di Bulukumba pohon Bitti juga bisa tumbuh, seperti di kebun kopi kami. Di mana kami duduk di bawahnya.
Tak hanya itu, banyak orang Bulukumba, kata Ibu banyak yang tak pernah melihat pohon Bitti.
Ayah yang mendengar penjelasan Ibu hanya melotot. Ibu juga bilang, kalau penulisan pinisi banyak yang masih keliru.
“Bukan phinisi, tapi pinisi. Tidak pakai H,” jelas ibu. Karena dalam penulisan huruf lontara tidak dikenal infiks atau huruf sisipan.
“Jadi, Pingki salah dong Bu menulis pinisi karena pakai H,”
“Kamu tidak salah sayang, hanya masih kurang tepat,” kata Ibu
“Jangan pernah takut salah, Pingki. Dari kesalahanlah kita belajar tentang kebenaran,” tambah Ayah.
Aku senang, karena Ayah dan Ibu tidak menyalahkanku meski menulis menambahkan huruf H pada penulisan pinisi. Ayah dan Ibu selalu menghargai pendapatku.
Ibu kemudian melanjutkan ceritanya. Katanya pinisi telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Jadi, bukan hanya milik Bulukumba, tapi telah menjadi milik dunia.
“Wao, keren ya bu,” sahutku.
Tapi, menurut Ibu, perahu pinisi adalah warisan tak benda. Maksudnya, bukan perahunya yang jadi warisan, tapi ilmu atau pengetahuan cara membuat pinisi.
“Pingki, agar pinisi tetap ada dan pengetahuannya tetap lestari, maka kayu Bitti ini perlu dipelihara dan ditanam sebanyak-banyaknya, dan juga harus dirawat,” pesan Ibu.
“Iya, Bu, menanam pohon Bitti kan tidak hanya menyelamatkan perahu pinisi, tapi juga menjaga lingkungan, benarkan Ayah?” Tanyaku.
Ayah hanya tersenyum lalu memelukku erat. Ibu juga ikut memelukku. Kami berpelukan di bawah pohon Bitti, sang penyelamat perahu pinisi dan lingkungan.
Pesan Ayah dan Ibu, akan aku ingat dan patuhi.