Klikhijau.com – Kita tidak lagi menghadapi tiga masalah berbeda, melainkan satu badai sempurna yang mengancam hari esok. Setiap kenaikan satu derajat Celsius adalah lonceng kematian bagi ekosistem yang menopang segala sisi sendi kehidupan.
Suhu yang memanas memaksa jutaan spesies kehilangan habitatnya, yang pada gilirannya melemahkan kemampuan alam untuk menyerap polusi dan karbon secara alami.
Hubungan toksik ini telah melahirkan apa yang disebut oleh PBB sebagai Triple Planetary Crisis yakni sebuah keadaan darurat di mana perubahan iklim, polusi, dan hilangnya biodiversitas bukan lagi krisis yang terpisah, melainkan mesin perusak yang saling mempercepat satu sama lain menuju titik yang tidak bisa kembali (point of no return).
Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi kini tidak lagi bisa dipahami sebagai krisis yang berdiri sendiri. Ketiganya saling terhubung dan saling mempercepat (Triple Planetary Crisis) tiga keadaan darurat lingkungan yang mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi.
Laporan-laporan ilmiah global menunjukkan bahwa dunia sedang memasuki fase krusial. Hingga 2026, interaksi ketiga krisis ini berpotensi mendorong bumi melewati ambang batas ekologis yang sulit dipulihkan.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh alam, tetapi juga oleh jutaan manusia yang menggantungkan hidup pada hutan, laut, sungai, dan tanah yang sehat.
Krisis yang Tidak Datang Bergiliran
Selama bertahun-tahun, perubahan iklim kerap diposisikan sebagai ancaman lingkungan terbesar. Namun riset terbaru menegaskan bahwa krisis iklim hanyalah satu bagian dari persoalan yang jauh lebih kompleks.
Ketika suhu global meningkat, tekanan terhadap ekosistem melonjak, hutan mengering, lahan basah menyusut, sungai kehilangan daya dukung, dan pesisir semakin rentan.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam AR6 Synthesis Report (2023) menyatakan secara tegas, “Climate change is a threat to human well-being and planetary health.” (Perubahan iklim merupakan ancaman bagi kesejahteraan manusia dan kesehatan planet).
Ancaman ini bekerja melalui jalur ekologis. Gelombang panas dan kekeringan memperlemah hutan tropis, sementara banjir ekstrem menghancurkan habitat air tawar. Spesies yang tidak mampu beradaptasi menghadapi tekanan berlapis ini, iklim yang berubah cepat dan ruang hidup yang semakin sempit.
Namun hubungan ini tidak satu arah. Ketika keanekaragaman hayati rusak, krisis iklim justru semakin parah. Deforestasi dan degradasi ekosistem menghilangkan penyerap karbon alami, menjadikan bentang alam sebagai sumber emisi baru. IPCC menegaskan bahwa degradasi ekosistem mempersempit pilihan manusia untuk mitigasi dan adaptasi iklim.
Alam Menyusut, Penyangga Kehidupan Melemah
Krisis biodiversitas sering berjalan di bawah radar publik, tetapi skalanya mengkhawatirkan. Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) mencatat bahwa dunia sedang mengalami laju kehilangan alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, “Nature is declining globally at rates unprecedented in human history.” (IPBES, 2019)
Sekitar satu juta spesies diperkirakan terancam punah, sebagian besar akibat aktivitas manusia. Hilangnya biodiversitas berarti runtuhnya fungsi ekosistem, mulai dari penyerbukan tanaman pangan, penyediaan air bersih, hingga perlindungan alami dari bencana.
Di kawasan tropis seperti Indonesia, dampak ini terasa lebih cepat. Ketika hutan dibuka dan sungai tercemar, masyarakat adat dan komunitas lokal kehilangan sumber pangan, obat-obatan alami, serta ruang hidup yang menopang budaya mereka selama ratusan tahun.
Polusi Mempercepat Keruntuhan Ekosistem
Di tengah krisis iklim dan biodiversitas, polusi bertindak sebagai faktor pengungkit yang mempercepat kerusakan.
United Nations Environment Programme (UNEP) menyebut ketiga krisis ini sebagai keadaan darurat yang saling terkait, “Climate change, biodiversity loss and pollution are three interlinked environmental emergencies.”
Polusi udara menjadi penyebab jutaan kematian prematur setiap tahun. Sementara itu, polusi air dan tanah, dari limbah industri, pertanian intensif, hingga sampah plastik yang merusak rantai makanan dan mengganggu mikroorganisme penting bagi kesuburan tanah dan perairan.
Salah satu simbol paling nyata dari krisis ini adalah polusi plastik. Mikroplastik kini ditemukan di laut terdalam, sungai-sungai besar, udara ambien, bahkan dalam tubuh manusia. Bagi ekosistem laut, polusi ini memperlemah ketahanan biota terhadap tekanan lain seperti pemanasan dan pengasaman laut.
Menuju 2026 Krisis yang Kian Terkunci
Proyeksi OECD dan UNEP menunjukkan bahwa sebelum 2030, perubahan iklim akan menjadi pendorong utama hilangnya biodiversitas global, melampaui alih fungsi lahan. Artinya, krisis iklim kini berada di pusat keruntuhan ekosistem dunia.
Jika tren saat ini berlanjut hingga 2026:
- Ekosistem air tawar berisiko mengalami kerusakan permanen
- Terumbu karang menghadapi ancaman melewati titik tidak dapat pulih
- Sistem pangan global semakin rapuh akibat degradasi tanah dan hilangnya jasa ekosistem
Indonesia berada di garis depan krisis ini. Deforestasi, degradasi gambut, pencemaran sungai, dan krisis sampah plastik laut mempersempit ruang adaptasi alam dan manusia. Bencana hidrometeorologi yang meningkat menjadi tanda bahwa daya dukung lingkungan semakin tertekan.
Solusi Terpisah Tidak Lagi Cukup
Selama ini, kebijakan lingkungan sering dijalankan secara sektoral. Iklim dibahas terpisah dari konservasi, sementara polusi ditangani sebagai isu teknis. Riset global menunjukkan pendekatan ini tidak lagi memadai.
IPCC menegaskan bahwa jalan keluar sebenarnya tersedia “There are feasible, effective and low-cost options available now to reduce emissions and adapt to climate change.” (Saat ini tersedia pilihan yang layak, efektif, dan berbiaya rendah untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim).
Namun solusi ini hanya efektif jika dijalankan secara bersamaan,mengurangi emisi, memulihkan ekosistem, dan menghentikan polusi dari sumbernya. Tanpa pendekatan terpadu, upaya penyelamatan lingkungan berisiko menjadi tambal sulam yang rapuh.
Krisis Ekologis, Pilihan Manusia
Triple Planetary Crisis bukan ancaman yang akan datang, ia “sedang berlangsung”. Riset telah memberi peringatan yang jelas. Bagi Indonesia dan dunia, tantangan terbesarnya kini bukan kekurangan data, melainkan keberanian untuk mengubah relasi manusia dengan alam.
Jika krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi terus dibiarkan saling menguatkan, bumi perlahan kehilangan kemampuannya menopang kehidupan. Dan ketika penyangga alam runtuh, manusia menjadi pihak pertama yang menanggung akibatnya.








