- Solidaritas Korsa Rimbawan untuk Hutan Berkelanjutan Menggema dari SMKKN Makassar - 17/03/2025
- TerkaitPolusi Daur Ulang Kertas dan Plastik Impor di Jatim, River Warrior Surati Presiden Prabowo - 17/03/2025
- Inisiatif Wakaf Hutan, Dorong Kesejahteraan Warga di Sekitar Tanah Ulayat Kota Padang - 17/03/2025
Klikhijau.com – Produksi pangan berada masa kritis. Apabila suhu rata-rata global terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Artinya kehidupan manusia bisa saja menjadi kocar kacir.
Para ilmuwan telah memproyeksikan, pemanasan global akan sangat merugikan pertanian global karena melemahkan hasil panen dan mengganggu produksi pangan.
Terbaru sebuah penelitian dilakukan para peneliti di Universitas Aalto di Finlandia. Penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Nature Food yang menemukan bahwa pemanasan global akan mengganggu banyak tanaman pangan utama di Bumi dan merusak keanekaragaman tanaman pangan global.
Penelitian tersebut menganalisis 30 tanaman pangan terpenting di dunia dan memodelkan bagaimana perubahan iklim kemungkinan akan memengaruhi ruang iklim aman mereka di bawah berbagai skenario potensial pemanasan global .
Untuk masing-masing dari 30 tanaman pangan, para peneliti menetapkan “ruang iklim aman” mereka, yang dapat disamakan dengan zona Goldilocks dengan pertumbuhan optimal, menggunakan curah hujan, kekeringan, dan suhu rata-rata. Kemudian, para peneliti menerapkan empat kondisi pemanasan yang diproyeksikan berbeda untuk empat skenario: pada 1,5, 2, 3, dan 4 derajat Celsius di atas rata-rata pra-industri.
Seiring meningkatnya pemanasan, para peneliti menemukan, ruang iklim yang aman bagi tanaman pangan cenderung bergerak semakin jauh dari ekuator, dan jika pemanasan melampaui 1,5 derajat, hal itu dapat mengancam “hingga setengah ” tanaman pangan dunia yang berada di garis lintang yang lebih rendah,
Para peneliti menemukan bahwa tanaman yang tumbuh di garis lintang rendah, atau lebih dekat ke garis khatulistiwa, akan paling terpukul karena wilayah tersebut terus menjadi lebih panas dan lebih kering.
Matti Kummu, penulis senior yang mengawasi penelitian tersebut, mengatakan keragaman pangan hanya akan menurun seiring meningkatnya suhu.
“Jika pemanasan global melampaui dua derajat akan ada dampak yang sangat, sangat drastis pada keanekaragaman hayati dan ketersediaan tanaman pangan, terutama di daerah tropis dan wilayah ekuator, yang sudah sangat rentan,” katanya seperti dikutip dari EcoWatch
Sementara itu, Sara Heikonen, penulis utama studi tersebut mengatakan bahwa hilangnya keanekaragaman berarti bahwa jenis tanaman pangan yang tersedia untuk dibudidayakan dapat berkurang secara signifikan di wilayah tertentu.
“Hal itu akan mengurangi ketahanan pangan dan mempersulit perolehan kalori dan protein yang cukup,” katanya.
Kembali ke pangan lokal
Heikonen juga menambahkan bahwa dampak negatifnya sebagian besar terpusat di wilayah khatulistiwa yang sudah mengalami pemanasan sekitar 1,5 hingga 2 derajat.
“Tentu saja itu tergantung pada wilayahnya, tetapi 25% dari produksi saat ini mungkin sudah berisiko bahkan pada tingkat pemanasan yang lebih rendah, sedangkan di sini di Utara atau di bagian selatan Belahan Bumi Selatan, dampak negatifnya tidak begitu terasa,” urainya.
Lebih jauh Heikonen mengimbau bahwa di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan, ini merupakan ancaman besar bagi ketahanan pangan, karena di wilayah-wilayah tersebut, populasi terus tumbuh dengan cepat, dan pasokan pangan sudah tidak mencukupi di beberapa tempat tersebut.
Para peneliti menyerukan langkah-langkah mitigasi yang luas untuk menghindari konsekuensi terburuk pada sistem pangan.
“Meskipun perubahan iklim sulit untuk diadaptasi, kita juga perlu mengurangi dampaknya, tetapi ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mendukung produksi saat ini bahkan di wilayah yang paling terdampak,” kata Heikonen.
Untuk mengatasi masalah kelangkaan pangan, maka Heikonen menyarankan memilih tanaman pangan lokal tradisional yang kurang dimanfaatkan, yang mungkin lebih tahan terhadap iklim, atau mengembangkan varietas tanaman baru, kemudian kita dapat mengembangkan praktik pengelolaan pertanian seperti irigasi dan pemupukan, lalu ada praktik pertanian yang lebih regeneratif.
Temuan peneliti ini, tidak hanya soal krisis pangan di masa mendatang, juga menimbulkan kekhawatiran akan keadilan lingkungan. Karena negara-negara di garis khatulistiwa cenderung lebih miskin daripada negara-negara di garis lintang yang lebih tinggi, negara-negara dan orang-orang yang paling tidak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim akan membayar harga tertinggi dengan sumber daya yang lebih sedikit untuk beradaptasi.
Sumber: Ecowatch