Pembangunan Berkelanjutan, Bencana Ekologis dan Diskursus yang Tak Selesai

oleh -930 kali dilihat
Pandemi, Perubahan Iklm dan Pentingnya Ketahanan Pangan yang Adaptif
Ilustrasi perubahan iklim/foto/-Cloudpro
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Beberapa tahun lalu, ahli linguistik  asal Amerika Serikat, Noam Chomsky menuturkan satu kritik tajam melalui surat terbuka kepada PBB terhadap visi pembangunan berkelanjutan. Kata Chomsky, paradigrama pembangunan berkelanjutan mustahil menghapuskan kemiskinan pada 2030 karena melulu mengandalkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Chomsky, pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang digelorakan secara global oleh PBB adalah satu resep yang kabur dan tak jelas. Hal itu, karena ketimpangan sosial di masa mendatang justru akan jadi tren global.

Kritik Choamsky tentu bukan tanpa alasan. Dalam sepuluh tahun terakhir, di tengah massifnya diskursus Sustainable Development disuarakan—pada saat yang sama kesenjangan sosial dan bencana ekologis justru menguat. Negara-negara di dunia seolah saling berburu mengeksploitasi sumber daya yang dimiliki untuk tujuan pertumbuhan tanpa mempertimbangkan aspek fundamental yakni keberlanjutan lingkungan.

Tak ada yang salah dengan visi pertumbuhan sejauh menciptakan keadilan sosial dan menutup kesenjangan sosial. Faktanya, pembangunan di sejumlah negara dibangun atas hasrat kapitalisme yang menegasikan kelompok marjinal seperti petani, buruh dan masyarakat di pelosok desa.

KLIK INI:  Ruang Publik Perkotaan yang Lebih Cair dengan Lomba Senam Longwis

Di sinilah dilema pembangunan dengan orientasi pertumbuhan. Diskursus Sustainable Development, seolah dibangun untuk memproteksi hasrat dan kuasa manusia dalam pembangunan. Sumber daya yang terbatas pada alam, keanekaragaman hayati adalah bagian penting yang juga harus tetap eksis dan terjaga. Faktanya, penurunan kualitas lingkungan hidup, kepunahan satwa, pencemaran lingkungan akibat industrialisasi, kini jadi bencana ekologis yang pada gilirannya akan merusak tananan kehidupan di masa depan.

Pada dasawarsa tahun 1980-an, David Korten sudah lebih awal mengingatkan bahwa kehidupan umat manusia sedang dalam ancaman krisis. Kata Korten, ada tiga masalah fundamental yang sedang dihadapi manusia antara lain kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup dan masalah kekerasan serta konflik sosial.

Korten mengatakan, kemiskinan disebabkan oleh ideologi pembangunan yang keliru karena mengutamakan dimensi pertumbuhan. Dalam perspektif pertumbuhan kata Korten, akan terjadi krisis besar yakni kerusakan lingkungan hidup di mana-mana. Hal ini terjadi karena tindakan eksploitasi yang berlebihan dan ekonomi politik yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.

Kritik tajam lainnya datang dari sebuah jurnal terkemuka bernama Sustainable Development melalui sebuah artikel berjudul: The Private Sector and the SDGs: The Need to Move Business as Usual. Artikel yang terbit pada November 2015 ini ditulis oleh trio peneliti dari School of People, Environment, and Planning di Universitas Massey, Selandia Baru. Mereka adalah Regina Scheyvens, Glenn Banks, dan Emma Hughes.

KLIK INI:  Tentang Labolontio dan Serang

Kritik pertama dalam artikel tersebut terkait dengan dominasi agenda neoliberal. Neoliberalisme ditandai dengan penguatan peran sektor swasta dalam seluruh sendi kehidupan, dengan sesedikit mungkin peran pemerintah untuk mengaturnya.

Padahal, kata Scheyvens dkk, Neoliberalisme inilah yang mengakibatkan ketimpangan sosial-ekonomi serta kerusakan lingkungan. Karena pembangunan berkelanjutan kemudian dikooptasi oleh agenda Neoliberalisme, maka sasaran keberlanjutan menjadi sulit dicapai.

Seperti yang ditegaskan pakar pembangunan berkelanjutan dari India, Jayati Ghosh, SDGs seharusnya berfokus pada upaya untuk menguntungkan masyarakat—terutama yang masuk ke dalam kelompok rentan—dan bukan utamanya malah memberi ruang bagi perkembangan modal yang dimiliki oleh perusahaan multinasional.

Sampai di sini sudah sangat terang bahwa visi pembangunan berkelanjutan pada praktiknya menuai banyak hasil dan fakta yang paradoks. Wajar saja bila kecurigaan terhadap paradigma ini bermunculan dan yang paling radikal adalah anggapan bahwa sustainable development hanyalah sekadar topeng untuk menenangkan hati para kritikus pembangunan.

Artikel ini akan melihat kembali wacana pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah diskursus yang tak selesai. Dalam arti, dunia memerlukan satu narasi besar yang disertai dengan tindakan dan praktik-praktik keberpihakan, dimana pembangunan tidak melulu soal pertumbuhan tetapi juga soal keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

KLIK INI:  Selamat, Indonesia Jadi Tuan Rumah High Level Officials Meeting ke-11 APRFHE
Paradigma pembangunan berkelanjutan

Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan secara luas oleh World Commision on Enviromental and Development (WCED) dalam our common Future, didefinisikan sebagai berikut:

“Development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own needs”

(Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya)

Berbagai istilah sering digunakan dalam penggunaan kata sustainable antara lain sustainable development, sustainable growth dan sustainable use.

Oleh World Summit on Sustainable Development 2002 dicanangkan mengenai pola pembangunan berkelanjutan yang memuat keselarasan pembangunan dengan manusia, ekonomi, masyarakat sosial dan lingkungan hidup. Visi ini seolah jadi satu paradigma yang akan menetralisir laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang kencang dan mengancam keberlanjutan sumber daya.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dikenal dengan singkatan SDGs memuat pola pembangunan yang mencakup 3 pilar utama pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan serta pilar hukum dan tata-kelola.

KLIK INI:  Awal Tahun, Toraja Dihantui Bencana Tanah Longsor

Pilar pembangunan sosial memiliki 5 tujuan: mengakhiri kemiskinan; menghilangkan kelaparan, membangun kehidupan yang sehat dan sejahtera; menjamin kualitas pendidikan yang inklusif; mencapai kesetaraan gender.

Pilar pembangunan ekonomi dengan 5 tujuan: menjamin ketersediaan air dan fasilitas sanitasi; menjamin akses energi; meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif; membangun infrastruktur yang tangguh; mengurangi kesenjangan intra dan antar-negara.

Pilar pembangunan lingkungan dengan enam tujuan: penyediaan air bersih dan sanitasi layak; pengembangsan kota dan permukiman berkelanjutan, konsumsi dan produksi secara berkelanjutan; penanganan dampak perubahan iklim, ekosistem lautan dan daratan.

Pilar pembangunan hukum dan tata-kelola untuk menyalurkan arus ekonomi-sosial dan lingkungan dalam kerangka umum menegakkan pemerintahan bersih. Ke empat pilar pembangunan diperinci lebih detail dalam 169 sasaran dengan 320 indikator yang dirangkum dalam Metadata Indikator SDGs Agenda Global 2015-2030.

Visi ini dimaksudkan untuk menjawab kecemasan tentang perkembangan pembangunan global yang mengakibatkan ecological ceiling dijebol sehingga ambang batasnya dilampaui. Praktik pembangunan ini telah mengancam keberlanjutan kehidupan manusia dalam jangka panjang.

KLIK INI:  Apa Itu Keberlanjutan atau Sustainability?

Permbangunan dengan orientasi pertumbuhan bertolak dari homo economicus yang rasional berperhitungan, berorientasi pada ego kepentingan diri dan bertujuan maksimalisasi manfaat dan keuntungan. Sehingga melahirkan teori dan kebijakan pembangunan yang senantiasa tertuju pada tahapan take off menuju sustained growth.

Sukses pembangunan diukur pada laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Tingginya per capita income menjadi dambaan pembuat kebijakan pembangunan, sementara dampaknya pada sistem sosial dan alam pendukung kehidupan terabaikan.

Dalam iklim pembangunan ekonomi seperti inilah tumbuh reaksi perlawanan yang ingin melestarikan sistem penunjang kehidupan lingkungan sosial dan alam demi keberlanjutan kehidupan manusia. Arus semangat dan pikiran inilah yang mendorong lahirnya paradigma pembangunan berkelanjutan dengan tiga jalur ekonomi-sosial-lingkungan.

Menurut Profesor Emil Salim, dalam beberapa dekade terakhir, dunia mengalami kerugian besar akibat pola pembangunan konvensional yang berfokus pada produksi. Emil Salim mencontohkan, tingkat produksi dunia tahun 2000 hampir tujuh kali lipat  naik dari produksi  tahun 1950.

KLIK INI:  Tantangan Transisi Menuju Dunia Nol Bersih 2050

Akibatnya adalah pembangunan sosial sangat tertinggal. Emil Salim mencatat, pada 2002, dari 6 miliar orang di dunia, sekitar 2,2 miliar di antaranya menderita kelaparan dan hidup di bawah garis kemiskinan dengan 2 dolar per hari. Mereka kekurangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan standar kehidupan manusia yang layak.

Selain itu, aspek lingkungan juga mengalami kerusakan akibat eksploitasi sumber daya alam yang melampaui daya dukung. Deforestasi terus terjadi di seluruh belahan dunia untuk tujuan perkebunan dan industri serta sederet problem lingkungan lainnya. Oleh sebab itu, menurut Emil Salim, pembangunan berkelanjutan diperlukan untuk mengakhiri paradigma pembangunan konvensional yang menyisahkan ragam masalah.

Kritik terhadap konsep pembangunan berkelanjutan

Boer (1995) memberikan kritik definisi pembangunan berkelanjutan yang menurutnya masih mengandung permasalahan dalam Caring for the earth. Menurutnya, definisi yang ditawarkan terlampau berorientasi pada antroposentrisme dan utilitarianisme. Orientasi ini dapat dilihat dari penekanan lingkungan hidup sebagai instrumen atau sumber daya untuk didayagunakan (eksploitasi) oleh manusia dengan mengesampingkan kebutuhan lingkungan alam (natural enviroment).

KLIK INI:  Bagaimana Tanaman Mendengarkan Kita?

Oleh sebab itu, Boer berpendapat jika lebih tepat menggunakan istilah ecologically sustainable development (ESD). Oleh pemerintah Australia dalam Strategi Nasional tentang ESD memberikan definisi tentang ESD sebagai berikut (commonwealth Australia, 1992):

“…using conserving and enhanching the community’s resources so that ecological processes, on which life depends, are maintained, and the total quality of life, now and inte future, can be increased.”

Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis) mendapat penekanan dalam definisi ini. Daya dukung ekosistem yang terlestarikan merupakan prasyarat tercapainya kualitas hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa terdapat lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yaitu:

  1. Keadilan antargenerasi (intergenerational equity).
  2. Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity).
  3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle).
  4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity).
  5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (internalisation of enviroment cost and incentive mechanism).

Dalam konteks yang lain, SDGs juga dinilai belum sepenuhnya sukses mengatasi masalah kemiskinan. Banyak pemikir melihat bahwa konsep pembangunan berkelanjutan justru bercorak neoliberal.

KLIK INI:  Kisah Para Pemburu Buah Dao di Pesisir Sungai

Kritik atas Neoliberalisme sebagai penyebab atau pelestari kemiskinan sendiri sudah sangat banyak diajukan, sehingga apabila SDGs ingin benar-benar mengatasi kemiskinan dalam beragam dimensi, tentu agenda neoliberal perlu untuk ditilik dan disikapi.

Sebagai mesin ekonomi utama yang bekerja dengan agenda neoliberal, perusahaan perlu dilihat secara kritis. Kita tak bisa menutup mata terhadap kontribusi perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia. Namun, di sisi lain, dampak kemiskinan akibat ulah perusahaan—baik yang disengaja dan disadari ataupun tidak—perlu untuk dikelola.

Sangat jelas ada industri-industri yang memperparah kemiskinan dan merusak lingkungan yang korban utamanya adalah mereka yang miskin. Apabila perusahaan dan industri dianggap berdampak “netral”, maka sangat sulit bagi SDGs untuk mencapai tujuannya.

Hal ini relevan dengan kritik Noam Chomsky bahwa paradigrama pembangunan berkelanjutan mustahil menghapuskan kemiskinan pada 2030 karena melulu mengandalkan pertumbuhan ekonomi global.

KLIK INI:  Tantangan Berat Bagi Indonesia, Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Tidak Berkelanjutan

Menurut Chomsky, pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang digelorakan secara global oleh PBB adalah satu resep yang kabur dan tak jelas. Hal itu, karena ketimpangan sosial di masa mendatang justru akan jadi tren global.

Profesor Emil Salim sendiri menagaskan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan dapat berhasil bila benar-benar sudah terjadi perubahan fundamental dari paradigma pembangunan konsevensional, antara lain:

Pertama, pembangunan berkelanjutan mengubah perspektif jangka pendek menjadi jangka panjang. Pembangunan tidak untuk eksploitasi, melainkan pengayaan sumber daya alam yang akan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan serta secara bersamaan meniadakan degradasi lingkungan. Dalam konteks ini pembangunan berkelanjutan sangat berhati-hati untuk tidak menciptakan kerusakan lingkungan.

Kedua, pembangunan berkelanjutan memperlemah posisi dominan aspek ekonomi dan menempatkannya pada tingkat yang sama dengan pembangunan sosial dan lingkungan. Sebagai contoh, dampak negatif gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil untuk energi mulai terasa dengan adanya pemanasan global, perubahan iklim, dan kenaikan permukaan laut. Karenanya, kata Emil Salim, pembangunan ekonomi harus ditempatkan di bawah faktor-faktor sosial dan lingkungan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

KLIK INI:  Bumi, Manusia, dan Pertobatan Ekologis

Ketiga, skala preferensi individu menjadi indikator yang menentukan barang apa yang akan diproduksi dan lewat metode alokasi sumber daya seefisien mungkin. Sebagai contoh, transportasi publik kalah bersaing dengan transportasi pribadi. Ruang publik oleh masyarakat harus tersisih oleh bangunan komersial dan bisnis.

Oleh sebab itu, pembangunan berkelanjutan memerlukan perubahan kebijakan secara fundamental agar kepentingan publik dapat ditempatkan di atas kepentingan pribadi. Caranya adalah dengan menggunakan instrumen fiskal dan moneter yang tepat dalam kerangka kebijakan yang lebih kondusif.

Keempat, pasar telah gagal menangkap sinyal sosial dan lingkungan melalui mekanisme harga.  Biaya sosial tidak diperhitungkan dalam harga pasar.

Kelima, pemerintah bisa dan harus mengoreksi kegagalan pasar lewat kebijakan yang tepat. Hal ini membutuhkan komitmen pemerintah secara penuh untuk melayani kepentingan masyarakat dan lingkungan. Emil Salim mencontohkan, betapa besarnya biaya politik dalam suatu proses demokrasi di negara berkembang yang menyebabkan  tumbuh suburnya kelompok kapital seperti konglomerasi atau informal politic.

Pembangunan berkelanjutan membutuhkan sistem checks and balances yang didukung oleh kemitraan tiga sisi yang stara antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil, yang secara bersama-sama dapat melakukan koreksi terhadap pasar serta memperbaiki kondisi kegagalan pemerintahan.

KLIK INI:  Universitas Pakuan Kaji Daya Dukung Pangan dan Lingkungan Berbasis Lahan Sawah di Purwakarta

Terlepas dari ini semua, problem krusial lainnya dalam SDGs adalah belum adanya satu kriteria untuk menilai keberlanjutan pembangunan yang disetujui secara internasional. Dalam beberapa kesempatan telah dicoba untuk mencari indikator tercapainya pembangunan berkelanjutan, tetapi belum ada konsensus yang disepakati.

Dalam konteks inilah, dapat dilihat bahwa implementasi pembangunan berkelanjutan di sejumlah negara termasuk di Indonesia belum sepenuhnya berjalan. Bahkan, cenderung tidak bekerja sebagai satu pedoman yang menginspirasi proses pengambilan keputusan politik dalam pembangunan.

Epilog:Bencana ekologis dan diskursus yang tak selesai

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia sedang mengalami bencana ekologis yang tidak ringan. Selain pencemaran lingkungan, laju deforestasi yang meningkat, kepunahan satwa endemik, ancaman krisis pangan, perubahan iklim, beban sampah plastik, hingga ancaman penyakit zoonosis. Semua itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pendekatan pembangunan dan policy yang diambil oleh pemerintahan termasuk dalam konteks global.

Pembangunan berkelanjutan seolah hanya dijadikan narasi pemanis bibir tanpa implementasi teknis yang lebih ril yang memastikan bahwa seluruh kebijakan politik membawa kemaslahatan pada aspek lingkungan. Dengan demikian, paradigma ini harus selalu dikoreksi secara terus menerus, karena ia memang suatu diskursus yang tidak selesai.

KLIK INI:  Sembilan Kabupaten Anggota LTKL Bersiap Capai Target Ekonomi Lestari

Profesor Emil Salim menyebut  pentingnya perubahan paradigma secara radikal. Kepentingan pembangunan dalam jangka pendek harus lebih diseimbangkan dengan kepentingan jangka panjang.  Kepentingan sosial dan lingkungan harus ditempatkan pada posisi yang setara dengan kepentingan ekonomi.

Selain itu, paradigma pembangunan berkelanjutan perlu harus ditopang oleh peraturan dan ketentuan hukum yang jelas. Negara juga harus memiliki satu mekanisme kebudayaan yang memungkinkan kekayaan lokal dalam bentuk local wisdom (kearifan lokal) bertumbuh yang dapat menopang pelestarian sumber daya dan lingkungan.

Pendeknya, semua pihak, pemerintah, swasta, kelompok CSO dan lainnya harus selalu memikirkan ulang, apakah pembangunan yang berjalan sudah sesuai dengan SDGs atau belum? Tanpa itu, konsep sustainable development, selamanya hanya akan jadi suatu narasi yang hanya ditafsir di ruang akademik.

Daftar bacaan:

  1. Pembangunan Berkelanjutan (Peran dan Kontribusi Emil Salim), Iwan J Azis dkk (Editor). Gramedia. 2010.
  2. Menuju Abad ke-21 (Tindakan Sukarela dan Agenda Global), David C Korten. Obor. 1993.
  3. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Daniel Murdiyarso. Kompas. 2003.
  4. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, Hari Poerwanto. Pustaka Pelajar. 2000.
KLIK INI:  Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api