Jalan Terjal Aktivisme Hijau di Tengah Labelisasi “Wahabi Lingkungan”

oleh -16 kali dilihat
Jalan Terjal Aktivisme Hijau di Tengah Labelisasi “Wahabi Lingkungan”
Aksi anak muda menyoal isu ekologis - Foto/Radhif

Klikhijau.com – Kita tak bisa lagi bersikap abai dan membiarkan kebijakan destruktif terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Dan kita pun tak bisa terus menutup mata bahwa progresifitas militansi gerakan lingkungan telah berkontribusi besar dalam menyelamatkan ruang hidup yang terus dihancurkan.

Beberapa pekan terakhir, ruang publik tengah diramaikan oleh istilah baru: “Wahabi Lingkungan”. Sebuah label yang dilekatkan terhadap mereka (aktivis lingkungan) yang dianggap ekstrim menolak segala bentuk proyek ekstraktif, terutama pertambangan. Seakan-akan, aktivisme mereka dalam mempertahankan kelestarian alam tak ubahnya sikap puritan yang menolak kompromi.

Awalnya, pernyataan ini mengemuka dari Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdallah—tokoh intelektual yang sebelumnya dikenal dengan gagasan progresifnya. Dalam sebuah pernyataan, Ulil mengatakan bahwa penolak industri ekstraktif layak disebut “Wahabi Lingkungan”. Sebuah terminologi yang mengadopsi dari nuansa konservatisme teologis, lalu dipindahkan ke ranah ekologis.

Menurutnya, kekayaan tambang merupakan anugerah yang semestinya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Ia mengatakan pendekatannya sebagai reasonable environmentalism—pendekatan yang memposisikan pertimbangan rasional dalam menyikapi isu lingkungan. Dari penglihatannya, para aktivis cenderung “alarmis”, mengetengahkan narasi ketakutan soal krisis iklim, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan akibat batu baru.

Puncaknya, pernyataan ini mengundang reaksi keras. Tidak hanya dari lingkaran organisasi masyarakat sipil atau para aktivis lingkungan, tapi juga dari publik luas yang menilai bahwa stereotip yang disematkan adalah logika yang menyesatkan. Terlebih, munculnya istilah ini sejalan dengan rotasi sikap PBNU yang signifikan.

KLIK INI:  Memanen Momen Menakjubkan di Kota Rempah

Upaya reduksi gerakan

Usai sebelumnya sempat menerbitkan fatwa haram atas segala bentuk sikap eksploitatif atas sumber daya alam, kini PBNU justru bungkam usai menerima konsesi tambang batu bara seluas kurang lebih 26 ribu hektare bekas PT Kaltim Prima Coal Tbk di Kalimantan Timur. Manuver ini memantik gelombang kritik tajam, termasuk dari kalangan muda NU yang merasa sikap keadilan ekologis dan moral keulamaan tengah dipertaruhkan.

Menyikapi logika sesat tersebut, kita bertanya: apakah para aktivis lingkungan sepantasnya dicap ekstrim atas sikap tegas mereka terhadap kerakusan tambang? Apakah keberpihakan mereka pada warga dan masyarakat adat yang kehilangan hak atas tanah mereka, air yang bersih, dan kualitas udara yang sehat layak diasingkan karena tak sejalan dengan ambisi “pembangunan”?

Bagaimanapun, stereotip ini bukan sebatas permainan semantik. Ia berupaya mendangkalkan persoalan struktural menjadi soal retorika semata. Ia mendistraksi atensi dari realitas bahwa banyak proyek tambang beroperasi tanpa akuntabilitas, melahirkan konflik sosial, perampasan tanah rakyat, kriminalisasi, dan mewariskan kerusakan yang tak terpulihkan.

Dalam sejumlah kasus, advokasi yang diperankan para aktivis lingkungan adalah satu-satunya benteng yang tersisa bagi masyarakat di akar rumput yang tak mempunyai akses ke lingkaran kekuasaan. Meski kerap dicap sebagai “anti-pembangunan”, tetapi merekalah yang justru mendesak agar pembangunan harus selalu senapas dengan prinsip keberlanjutan tanpa mengesampingkan kedudukan hak asasi manusia.

Melawan kerusakan lingkungan bukan soal dogmatis, melainkan soal etika dan keberanian moral. Maka, alih-alih memberikan label tertentu, semestinya kita menyelami lebih dalam keresahan yang mereka hadapi. Sebab dalam kondisi bumi yang kian panas, yang kita perlukan bukanlah stigmatisasi, melainkan komitmen kolektif menyangkut kelestarian lingkungan.

KLIK INI:  Ruang Publik Perkotaan yang Lebih Cair dengan Lomba Senam Longwis

Menempelkan cap “Wahabi Lingkungan” terhadap para aktivis lingkungan bukan hanya perilaku reduktif, tetapi juga sesat secara intelektual. Ia berupaya mengalihkan konsentrasi dari diskursus substansial menuju sentimen identitas yang mengaburkan masalah utamanya. Kritik atas aktivitas tambang dan industri ekstraktif yang destruktif lalu di bingkai seakan sebagai bentuk kefanatikan secara ideologis.

Ketimbang membuka media dialog berbasis data, argumen akademis dan nilai keadilan ekologis, narasi seperti ini justru memaksa publik untuk jatuh kembali ke dalam polarisasi dangkal serupa yang terjadi ketika Pilpres. Eksesnya, perdebatan menjadi riuh labelisasi, bukan terang oleh argumentasi. Publik kehilangan ruang untuk membahas dampak sosial, ekonomi, ekologis maupun implikasi hukum dari aktivitas pertambangan yang terjadi di tengah hidup mereka. Yang tersisa hanyalah justifikasi simbolik terhadap mereka yang tak senada dengan irama kekuasaan.

Kita pun seragam untuk tidak sepakat dengan praktik stereotyping seperti ini, terlebih terhadap isu yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup bersama. “Wahabi Lingkungan” adalah bentuk cap yang tak adil, yang dalam jangka panjang dapat menjelma menjadi stigma, bahkan bentuk diskriminasi baru. Lebih riskan lagi, pelabelan ini seringkali dimonopoli sebagai alat delegitimasi: untuk meredam kritik, bukan untuk memahami substansinya.

Kerja-kerja organisasi non pemerintah yang mempunyai konsentrasi terhadap isu-isu strategis harus menghadapi kompleksitas masalah yang cukup melelahkan: melakukan advokasi di lapangan, turun ke jalan, menyusun laporan dan riset, mendampingi masyarakat yang terdampak, hingga mengisi kekosongan kala negara abai dan sistem hukum yang tak lagi berpihak kepada mereka yang termarjinalkan.

Dalam sejumlah kasus, mereka hadir di medan yang absen disentuh oleh tangan-tangan kekuasaan dan luput dari pemberitaan media arus utama. Mereka merorganisir warga, mengedukasi publik, dan membangun kesadaran bahwa lingkungan hidup bukan komoditas, melainkan ruang hidup yang tak bisa dinegosiasikan.

Menyikapi aktivisme ini dengan segala bentuk label adalah bentuk kemalasan berpikir. Padahal, jika kita benar-benar peduli pada nasib bumi di masa depan, maka rute terbaik bukan dengan sinis dan mencurigai mereka yang bersuara, tetapi mendengarkan apa yang sebenarnya mereka selalu perjuangkan.

Bukan hanya efek psikologis yang ditimbulkan dari stereotip yang ditempelkan terhadap para aktivis. Lebih dari itu, ia membuka ruang bagi kriminalisasi, kekerasan, bahkan pembunuhan karakter. Di sejumlah daerah, dari Wadas hingga Raja Ampat, dari Kendeng hingga Kalimantan Timur, mereka yang mengambil sikap untuk melawan arus harus menghadapi tekanan struktural, dan dipaksa berhadapan dengan kekuatan pemodal yang ditopang alat-alat kekuasaan.

Aktivisme lingkungan bukan gerakan yang lahir dari ruang hampa dan kekosongan. Ia tumbuh dari luka-luka ekologis yang membekas, dari tanah longsor dan banjir yang merenggut nyawa manusia, dari air sungai yang tercemar, dan dari anak-anak yang tak bisa memperoleh hak mereka untuk menikmati udara yang bersih di halaman rumah mereka karena debu-debu dari aktivitas tambang yang terbang ke pemukiman.

Memvonis mereka sebagai “Wahabi Lingkungan” adalah bentuk pengalihan isu yang keji. Narasi ini sengaja diangkat agar publik lupa siapa sebenarnya yang berperilaku destruktif. Kini, tugas kita adalah melawan narasi itu dengan menolak segala bentuk cap yang ditempelkan oleh pihak yang bersekutu dengan kekuasaan. Sebab, dalam perjuangan ini, yang semestinya kita curigai bukan mereka yang menghabiskan sebagian hidupnya untuk mempertahankan alam, melainkan mereka yang terus mengeruknya demi keuntungan jangka pendek.

KLIK INI:  Sepanjang Jalan, Sampah Memandang