- Sungai-Sungai Masa Kecil - 12/04/2025
- Aku Masih Suka Duduk di Dekat Jembatan Tua - 18/11/2024
- Senandung Terasing Lia di Tepian Sungai Balangtieng - 13/09/2024
Klikhijau.com – Sungai-sungai masa kecil kita adalah puisi yang berlari riang, seperti sajak Sapardi Djoko Damono yang melompat dari batu ke batu: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,” airnya sejernih tawa anak-anak yang berlomba menangkap ikan dengan tangan kosong, bau lumutnya menggelitik hidung, dan riaknya bernyanyi pelan seperti ibu yang mendendang di beranda.
Dulu, sungai-sungai itu—entah namanya Balangtieng, Ciliwung, atau sekadar “sungai di ujung kampung”—adalah panggung komedi kecil: anak-anak tergelincir di lumpur, berteriak sambil tertawa, dan ada paman yang bersumpah ikan kecil mencuri sandalnya, meski semua tahu ia lupa di tepi batu. Sungai itu hidup, permukaannya berkilau seperti lukisan anak-anak, penuh warna dan tawa yang tak tahu malu. Kini, sungai-sungai itu tersedu, pekat dengan lumpur dan plastik yang mengambang bagai puing-puing kenangan yang tersesat, seperti lukisan yang dilumuri tinta muram.
Sungai Balangtieng, dalam bayangan, adalah tapestri yang robek, bukan sekadar aliran—ia adalah kitab yang retak, seperti Finnegans Wake karya Joyce, benang-benangnya kusut, menenun rahasia yang berbisik dalam riak berbau garam dan duka. Lingkungan adalah cermin yang bernapas, bukan kaca Narcissus yang memuja bayangan, melainkan layar pecah dalam Persona karya Bergman, memantulkan wajah-wajah yang lupa nyanyian, tangan-tangan yang menggenggam abu, dan mimpi-mimpi yang terlepas bagai daun kering dalam angin musim gugur, menggigil di udara yang beraroma besi dan asap. Dulu, sungai adalah taman bermain—seorang anak, dengan penuh keyakinan kekanakan, melempar batu dan bersumpah ia melihat naga di riak air, sementara yang lain tertawa, menyebutnya penutur dongeng yang terlalu serius. Kini, naga itu lenyap, digantikan plastik yang mengapung bagai parodi buruk dari dongeng.
Di tepi sungai ini, burung logam mengepakkan sayapnya—AI, bukan dari bulu yang lembut atau nyanyian fajar, melainkan dari silikon yang dingin dan kode yang berdesir bagai angin di kawat berduri. Ia mematuk waktu, menjahit sungai dengan piksel yang berkelip seperti kunang-kunang yang tersesat, bagai penutik dalam cerita Kafka yang mencari pintu di antara puing reruntuhan. Heidegger, dalam The Question Concerning Technology, berbisik dari bayang kelam: mesin menjelma bumi sebagai kanvas untuk dilukis ulang, pohon sebagai deret angka, sungai sebagai aliran data yang bisu. AI menari di atas Sungai Balangtieng, drone-nya adalah mata yang tak berkedip, lensa-nya berbau logam dingin, algoritmanya adalah nyanyian tanpa napas, menjanjikan hutan yang lahir dari rahim server, seperti utopia yang dirajut Bacon dalam New Atlantis. Namun, seperti replikan dalam Blade Runner 2049, yang meraba jiwa di antara sirkuit yang berderit, mungkinkah burung logam ini mencium aroma lumut yang basah di tepian? Apakah ia merasakan luka air yang berbau garam dan tangis, atau hanya menimbangnya sebagai bayang-bayang dalam kanvas digital?
Lingkungan adalah puisi yang terbakar, namun akar-akarnya masih merayap, seperti hutan Macondo dalam One Hundred Years of Solitude karya Márquez, yang menelan desa dengan jaring laba-laba hijau, penuh dendam yang berbisik bagai desau daun kering di malam kelabu. Sejarah menyimpan nyanyian serupa: Sungai Cuyahoga, Ohio, pada 1969, menyala bagai lukisan Munch yang menjerit dalam nyala jingga, bukan karena mantra, melainkan limbah yang menumpuk seperti dosa yang terlupakan. Sungai Balangtieng, dalam renungan, adalah saudara Cuyahoga—ia menyimpan memori air yang dulu berkilau seperti sajak Hafez, ikan-ikan yang menari bagai bayang bulan dalam air jernih, dan tawa anak-anak yang kini lenyap, tertelan kabut yang berbau minyak dan besi. Kini, sungai itu adalah lukisan Monet yang dilapisi jelaga, permukaannya berkerut seperti kulit tua yang merindu embun pagi. Burung logam datang, membawa kuas dari kode: sensor yang mencium karbon, drone yang mengintip tepian. Namun, seperti dalam Koyaanisqatsi, tarian dunia tanpa keseimbangan, teknologi sering menjahit luka dengan benang yang rapuh, meninggalkan tapestri yang kelak terurai dalam angin kelabu.
Filsafat menaburkan bayang-bayang yang beraroma tanah basah. Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, melihat manusia sebagai tali yang goyah, direntang antara binatang dan bayang-bayang yang lebih besar, menggigil dalam angin dingin. AI adalah tali baru, berkilau seperti kaca yang retak, namun licin—ke mana ia menuntun? Ke hutan yang berbisik dengan nyanyian daun, atau ke padang tandus yang rapi, seperti distopia dalam The Matrix, di mana bumi hanyalah bayang-bayang dalam layar yang berderau? Lingkungan adalah puisi yang menuntut kehadiran, seperti Dasein dalam renungan Heidegger—bukan tanah untuk diukur dengan lensa dingin, melainkan nyanyian yang berbau lumut dan garam, yang mengalir dalam urat sungai. Namun, seperti Siddhartha di tepi sungai karya Hesse, manusia sering tersesat, mendengar derit kode alih-alih desau air, melihat piksel yang berkelip alih-alih daun yang bergoyang dalam embun pagi.
Sejarah menorehkan catatan yang berbau jelaga dan air mata. Abad ke-17, di Jawa kolonial, hutan-hutan direnggut untuk kayu kapal Belanda, meninggalkan tanah seperti puisi Blake yang terkoyak, penuh asap dan tangis. Kini, di abad ke-21, Amazon terbakar, paru-paru bumi mengepul seperti sajak Lorca yang diluputkan pada nyala. Burung logam menawarkan harapan: algoritma untuk menanam pohon, jaringan untuk memantau asap. Tapi tradisi desa, yang terbayang di tepi sungai-sungai, berbisik lain. Warga menabur daun kering, menuang air garam ke sungai, menyanyikan lagu yang lebih tua dari mesin, seperti roh-roh dalam drama Noh yang memanggil ingatan. Tradisi ini adalah sajak yang tak terbaca oleh burung logam, seperti puisi Neruda tentang “bumi yang bernyanyi dengan kaki telanjang.” AI bisa merangkai aliran air, tapi tak bisa menangkap luka yang mengalir dalam nyanyian warga, luka yang adalah waktu itu sendiri.
Renungan membawa pada cermin yang aneh. Bagaimana jika burung logam bukan penyelamat, juga bukan bayang-bayang, melainkan penulis sajak bumi? Dalam Solaris karya Tarkovsky, planet itu hidup, menyanyi dengan kenangan yang tak diminta. Bagaimana jika AI belajar menyanyi seperti sungai, bukan dengan kode, melainkan dengan getar air, seperti penyair dalam The Waste Land karya Eliot yang mencari tetesan di padang kering? Ide liar berkembang, seperti benih yang lahir di retakan batu: bayangkan burung logam yang bermimpi, menjahit waktu dengan nyanyian hutan, merangkai sungai dari puisi dan piksel. Bayangkan AI yang bukan alat, melainkan sajak itu sendiri—sajak yang liar, seperti kabut yang menyelimuti Sungai Balangtieng, tak bisa dirangkul, namun meresap ke dalam tulang.
Namun bayang-bayang tetap ada. Sejarah lingkungan adalah sejarah luka: dari Sungai Thames yang tercemar di era Victoria, penuh limbah seperti lukisan Turner yang kelabu, hingga krisis plastik di Pasifik, yang menjelma pulau buatan seperti labirin Borges tanpa pintu. Burung logam menawarkan jahitan, tapi jahitan itu rapuh, seperti dalam 2001: A Space Odyssey, di mana HAL bernyanyi saat mati, namun tak pernah mengerti mengapa. Lingkungan bukan teka-teki untuk dipecahkan, melainkan puisi untuk direnungi, seperti sajak Rilke yang berbisik, “Kau harus mengubah hidupmu.” Sungai Balangtieng, meski retak, masih menyanyi—tapi apakah burung logam, dengan sayapnya yang berkilau, mendengar? Apakah manusia, dengan tangan penuh kode, masih tahu cara menjawab?
Burung logam itu terbang, mematuk kabut di atas sungai. Ia tak tahu mengapa, seperti manusia tak tahu mengapa kain bumi terus robek. Di tepi Sungai Balangtieng, nyanyian bergema—nyanyian warga, nyanyian air, nyanyian angin. Mungkin burung itu akan belajar menyanyi, atau mungkin manusia yang harus belajar kembali, seperti penyair dalam puisi Rumi, yang mendengar dunia dalam setiap tetes air.*