Aku Masih Suka Duduk di Dekat Jembatan Tua

oleh -89 kali dilihat
Pintu dari Babatan Hutan
Ilustrasi-foto/Pixabay
alfian nawawi

aku masih saja suka duduk di dekat jembatan tua. bukan saja karena aku bisa bercakap dengan hewan-hewan dan benda mati. selain malam-malam gamang, ada seekor kucing suka melirikku dari balik kardus bekas, sebelum melompat ke punggung truk sampah.

“apakah kau mendengar?” tanyanya pada sungai yang melipat dirinya sendiri.
“mendengar apa?” jawab sungai, suaranya terpotong-potong seperti siaran radio tua.
“ada sesuatu di udara, aroma logam yang pahit.”
“itu bukan udara. itu kenangan,” kata sungai, lalu menghilang ke lubang saluran pembuangan.

di sampingku, ada angin tersedak, berputar sejenak lalu lenyap di balik gedung-gedung.
di bawah kaki pohon, seekor burung gagak membawa pesannya sendiri ke langit, “barangkali masih ada yang mendengar,” bisiknya.
sementara itu gunung mulai berasap, mengerang lirih. persis dalam foto-foto latar di instagram.

seekor anjing liar melintas, bayangannya panjang, tertimpa lampu jalan yang berkedip-kedip.
“hari ini hujan datang?” tanyanya pada kucing liar di tikungan jalan.
“hujan takut turun di sini,” jawab si kucing, “hujan akan jatuh mati.”

KLIK INI:  Mata Kunang-kunang

tempo hari sekelompok anak bermain di tepi sungai itu.
“lihat! ini seperti laut cokelat di buku pelajaran,” seru salah satu bocah.
“bukan, itu bukan laut, itu sungai yang sakit,” jawab bocah lain.
“kalau begitu, mari kita membuat perahu!” teriak mereka.

langit abu-abu, awan-awan menggantung,
seekor elang melintas mengepakkan sayapnya yang kurus. seekor lalat mengintai, hinggap di piring plastik bekas makan siang seorang pemulung. lalu dia terkekeh, persis deru mesin tambang yang gembira hasilnya akan dibawa jauh untuk dijadikan denyut nadi kota.

aku masih saja suka duduk di dekat jembatan tua. karena di sana ada seekor kucing suka melirikku dari balik kardus bekas sebelum melompat ke punggung truk sampah.

aku ingat, di sini kemarin seorang lelaki tua berjalan lewat membawa cangkul yang berkarat. aku memandang kakinya yang bergetar. padahal dia serupa gedung pencakar langit yang menatapku dengan matanya yang terbuat dari kaca retak.
“apakah kau pernah merasa tinggi, tapi kosong?” tanyanya.
aku menggeleng.
“kalau begitu kau belum tahu bagaimana rasanya menjadi aku.”

KLIK INI:  Meresapi Puisi-Puisi Goenawan Mohamad dengan Metafora Alam yang Memikat

seekor lalat hinggap lagi di tanganku saat di kejauhan, gunung bergumam, suaranya rendah dan berlapis-lapis.

aku duduk lagi di tepi trotoar, memandangi aspal yang melarikan dirinya ke horizon.
“kemana kau pergi?” tanyaku.
“aku tidak pergi,” jawabnya, “aku hanya semakin tipis.”
aku mencoba mengejarnya, tapi ia larut dalam lampu jalan yang berkedip seperti pesan morse yang tak pernah dimengerti.

di ujung malam, aku bercakap lagi dengan sungai di bawah jembatan tua yang melengkung seperti cermin bengkok.
ia membiarkanku menatap jejak-jejak kaki yang tertinggal di tanah kering. aku ingin menghapusnya, tapi tanah itu hanya menelan jari-jariku dalam diam.

KLIK INI:  Tanaman Rahasia Depan Rumah

sementara itu langit di atas kepalaku seperti kain sobek yang dijahit dengan kawat. di sela jahitannya, cahaya redup merembes, melukis jalanan dengan bayangan yang bergerak sendiri. udara di sekitarku lebih mirip uap dari besi panas, menempel di kulit, masuk ke paru-paru dengan berat yang aneh.

seekor burung malam terbang rendah, entah jenis dari spesies apa, jatuh di trotoar. Tepat di depanku, matanya membelalak seperti lampu yang mati mendadak. aku menunduk untuk melihatnya lebih dekat, tetapi burung itu mulai mengelupas—bulu-bulunya luruh menjadi serpihan kertas koran, sayapnya patah seperti ranting kering, paruhnya berubah menjadi potongan kaca. di antara reruntuhannya, aku menemukan sebuah paku yang berkarat.

di sudut jalan, sebuah bangunan tua berbicara tanpa mulut. suaranya keluar dari retakan-retakan dindingnya, berat dan bergema seperti suara air yang jatuh ke sumur dalam.
“kau tahu, dulu aku adalah tempat orang berlindung,” katanya.
“sekarang kau apa?”
“sarang debu dan kenangan.”

KLIK INI:  Pembagian Tumbler Warnai Lomba Baca Puisi dan Pidato Bahasa Inggris di Kantor P3E Suma

aku menyentuh dindingnya. dingin, tetapi tidak seperti batu; lebih seperti tulang beku yang menolak disentuh. ah, laut memang tak pernah berwarna biru. ia memantulkan cahaya dengan cara yang salah. ombaknya naik dan turun dengan ritme seperti napas seseorang yang tertahan oleh kemarahan. di pantainya, ikan-ikan terdampar, tubuh mereka tidak lagi utuh. kulit mereka berubah menjadi plastik bening, dan di dalamnya, terlihat bayangan kota yang tenggelam.

di sana juga ada bayangan sebuah ladang yang tak lagi menumbuhkan apa-apa kecuali batu, seorang wanita memetik bunga yang tak ada. ia mencoba mengumpulkannya sebelum hilang seluruhnya. ia menggenggam sesuatu yang tidak terlihat, lalu memasukkannya ke dalam keranjang jerami yang berlubang di mana-mana.

di kejauhan, gunung menghitam seperti arang yang belum mati sepenuhnya. asap naik dari puncaknya, bergerak lambat seperti ular yang malas.

aku mendekat, tetapi tanah di sekitarnya retak, membuka celah seperti mulut yang lapar. dari celah itu, aku mendengar suara-suara: tangisan anak-anak, denting sendok di piring kosong, ledakan tambang yang berulang-ulang seperti detak jantung yang rusak.

aku masih saja suka duduk di dekat jembatan tua. dan aku tahu tak akan pernah ada bobby kertanegara di sana selain kucing liar itu, kardus bekas, dan truk sampah.

Palampang, 15 November 2024

KLIK INI:  Pohon Kehidupan