Klikhijau.com – Membaca ‘Green Zakat’ Framework yang diterbitkan oleh BAZNAS hari ini, saya merasa ada harapan baru tumbuh dalam dunia filantropi Islam di Indonesia.
Untuk pertama kalinya, zakat ditempatkan secara eksplisit sebagai bagian dari solusi terhadap krisis lingkungan dan perubahan iklim. Langkah ini patut diapresiasi, karena selama puluhan tahun wacana zakat cenderung berhenti di ranah ekonomi—tentang siapa yang memberi dan siapa yang menerima—tanpa menyentuh akar ekologis dari kemiskinan dan ketimpangan.
Dengan adanya kerangka ini, BAZNAS berusaha menegaskan bahwa zakat bukan hanya urusan ibadah dan keuangan, tetapi juga bagian dari tanggung jawab umat manusia terhadap bumi. Namun di balik optimisme itu, ada pula ruang yang perlu dikritisi agar Green Zakat Framework tidak berhenti pada tataran konsep indah di atas kertas.
Kita tidak bisa menutup mata: gagasan zakat hijau ini lahir di tengah realitas yang kompleks. Di satu sisi, umat Islam Indonesia semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Survei menunjukkan generasi muda muslim menaruh perhatian tinggi pada isu polusi, sampah, dan krisis iklim.
Namun di sisi lain, sistem ekonomi dan kebijakan publik kita masih jauh dari ramah lingkungan. Banyak proyek pembangunan masih mengorbankan hutan, pesisir, dan ruang hidup masyarakat kecil.
Dalam konteks inilah zakat seharusnya hadir bukan sekadar untuk mengimbangi kerusakan, tapi menjadi kekuatan moral yang menegur dan mengarahkan pembangunan agar lebih adil dan berkelanjutan.
Green Zakat Framework memiliki potensi besar jika mampu diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret dan inklusif. Ia bisa menjadi fondasi bagi perubahan paradigma lembaga zakat di seluruh Indonesia: dari sekadar penyalur bantuan menjadi penggerak transformasi sosial-ekologis.
Bayangkan jika setiap lembaga amil zakat memiliki unit khusus yang mendampingi masyarakat dalam pertanian organik, energi terbarukan, atau pengelolaan sampah komunitas.
Bayangkan jika laporan zakat nasional tidak hanya berisi neraca keuangan, tapi juga indikator keberlanjutan—berapa hektar lahan direhabilitasi, berapa ton sampah diolah, berapa rumah tangga mustahik yang kini mandiri secara energi. Visi seperti itu membuat zakat tidak hanya relevan secara spiritual, tapi juga strategis secara ekologis.
Namun di sinilah letak tantangan terbesarnya. Framework ini masih sangat bergantung pada kemampuan lembaga zakat untuk memahami isu lingkungan secara mendalam dan membangun jejaring lintas sektor. Pengelola zakat perlu belajar dari komunitas yang sudah lama bergerak di bidang lingkungan, dari organisasi yang mengelola konservasi berbasis masyarakat, hingga kelompok pemuda yang menjalankan ekonomi sirkular di kampung-kampung.
Selama ini, banyak inisiatif semacam itu sudah berjalan—mulai dari pertanian organik, biogas rumah tangga, bank sampah, hingga program mangrove yang tumbuh mandiri di pesisir. Mereka bekerja dengan sumber daya terbatas, tetapi punya kedalaman pengalaman sosial yang luar biasa.
Program-program seperti inilah yang seharusnya menjadi rujukan Green Zakat Framework. Banyak dari mereka sudah berhasil membangun sistem lokal yang berkelanjutan. Meskipun skalanya kecil, mereka punya legitimasi sosial dan kepercayaan masyarakat.
Tantangan BAZNAS adalah bagaimana membuat kerangka nasional yang tidak merusak akar gerakan ini. Karena sering kali, ketika kebijakan datang dari atas dengan model yang seragam, semangat lokal justru melemah.
Framework ini seharusnya tidak memaksa semua daerah berjalan dengan cara yang sama, melainkan membuka ruang agar keberagaman model lokal tetap hidup dan bisa direplikasi sesuai konteks masing-masing wilayah.
Kritik lain yang perlu diajukan adalah soal bahasa dan akses. Dalam dokumen resmi, istilah seperti sustainability, green economy, dan ESG sering muncul tanpa diterjemahkan secara membumi. Padahal, agar zakat hijau benar-benar diterima, bahasa yang digunakan harus dekat dengan bahasa masyarakat.
Ketika petani berbicara tentang tanah yang subur, nelayan tentang laut yang bersih, dan warga kampung tentang air yang mengalir jernih, itulah bentuk paling nyata dari maqāṣid al-sharīʿah dalam konteks lingkungan.
Maka tugas lembaga zakat bukan hanya menyalurkan dana, tapi juga membangun bahasa baru—bahasa keberlanjutan yang dapat dipahami, dihayati, dan dijalankan bersama masyarakat.
Saya juga optimis karena framework ini mengandung kesadaran baru: bahwa mereka yang terdampak krisis iklim—petani gagal panen, nelayan kehilangan hasil tangkapan, warga yang rumahnya terendam banjir—seharusnya juga termasuk dalam kategori mustahik.
Selama ini, zakat cenderung berpihak pada dimensi ekonomi semata, padahal ketidakadilan ekologis juga menciptakan kemiskinan baru.
Dengan memperluas definisi penerima zakat, BAZNAS sesungguhnya mengakui kenyataan baru bahwa krisis iklim adalah krisis kemanusiaan. Ini langkah progresif yang patut diapresiasi dan diperkuat dengan kebijakan operasional di lapangan.
Namun optimisme itu perlu disertai kehati-hatian. Agar tidak terjebak dalam pendekatan simbolik, framework ini harus menyiapkan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang transparan. Dampak lingkungan tidak bisa diukur hanya dengan angka penyaluran dana. Ia harus diukur dari perubahan nyata di lapangan: apakah hutan kembali tumbuh, apakah sungai lebih bersih, apakah mustahik menjadi lebih berdaya dan tidak lagi bergantung pada bantuan. Untuk itu, kolaborasi dengan perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan komunitas lokal sangat penting agar data dan evaluasi tidak sekadar administratif, tapi juga reflektif dan partisipatif.
Secara pribadi, saya melihat Green Zakat Framework sebagai pintu masuk menuju pembaruan besar dalam cara kita berzakat. Selama ini, zakat sering dipandang dalam kerangka amal, bukan transformasi. Framework ini mencoba mengubah itu—mengarahkan zakat menjadi gerakan sosial yang berpihak pada bumi. Ia menegaskan bahwa mencintai lingkungan bukan sekadar gaya hidup, tapi perintah agama. Bahwa memberi zakat bukan hanya menyucikan harta, tetapi juga memperbaiki tanah yang tandus, udara yang kotor, dan air yang tercemar.
Meski demikian, agar framework ini tidak berhenti di tataran simbolik, diperlukan keberanian politik dan moral untuk memastikan bahwa kebijakan zakat hijau tidak diserap oleh kepentingan proyek atau pencitraan lembaga. Ia harus benar-benar menyalur ke akar, ke orang-orang yang sudah lama bekerja sunyi menanam, membersihkan, dan menjaga. Lembaga zakat perlu bersikap rendah hati untuk belajar dari mereka, bukan hanya mengatur mereka.
Saya optimis, jika hal-hal itu dilakukan, Green Zakat Framework bisa menjadi tonggak penting dalam sejarah zakat di Indonesia—bukan hanya sebagai sistem finansial sosial, tetapi sebagai gerakan peradaban yang menyatukan iman, keadilan sosial, dan ekologi. Tapi saya juga tetap kritis: setiap gagasan baik harus diuji oleh realitas lapangan. Dan seperti tanaman, framework ini hanya akan tumbuh jika ditanam di tanah yang subur—tanah masyarakat yang percaya, partisipatif, dan diberi ruang untuk bertumbuh.
Jadi, harapan saya sederhana namun besar: semoga zakat hijau benar-benar menjadi energi perubahan yang hidup. Bukan sekadar jargon “ramah lingkungan” dalam laporan tahunan, tapi gerakan nyata yang menumbuhkan kehidupan di tempat-tempat yang dulu dianggap pinggiran. Sebab di sanalah, di akar rumput, masa depan keberlanjutan Indonesia sedang diperjuangkan—bukan oleh wacana, tetapi oleh tangan-tangan yang menanam. Begitu kira kira.








