Pembunuh Harimau Bunting di Vonis, WWF Beri Apresiasi Penegak Hukum

oleh -123 kali dilihat
Pembunuhan harimau bunting
Pembunuhan harimau bunting/foto-Kompas.com
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Riau, Klikhijau.com –  Organisasi perlindungan satwa World Wildlife Fund (WWF) mengapresiasi vonis tiga tahun penjara yang dijatuhkan kepada Falalini Halawa, terpidana penjerat hingga menyebabkan seekor induk harimau sumatera dalam kondisi bunting terbunuh.

Humas WWF Indonesia Program Riau, Syamsidar, di Pekanbaru, Kamis, 28 Feburai 2019 lalu, mengatakan tetap menghormati vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, meski vonis lebih ringan satu setengah tahun dibanding tuntutan jaksa.

“Majelis hakim sudah memiliki pertimbangan dalam memutuskan hukuman. Kita menghormati dan yakin dengan proses hukum yang berlaku,” katanya.

Syamsidar menilai bahwa proses penegakan hukum tindak pidana pembunuhan harimau sumatera yang menarik perhatian publik pada September 2018 lalu berjalan dengan cepat. Proses penegakan hukum secara cepat hingga vonis pada akhir Februari 2019 ini, lanjutnya, menjadi catatan positif dari WWF.

KLIK INI:  Halawa, Sang Pembunuh Harimau Bunting yang Dihukum 3 Tahun Penjara

Dengan adanya putusan ini, Syamsidar berharap dapat dijadikan sebagai pembelajaran kepada setiap orang agar tidak bertindak serupa yang berpotensi melukai atau yang lebih parah menyebabkan mati satwa dilindungi.

“Terpenting lagi, penegakan hukum sudah berlangsung dengan cepat hingga putusan. Ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa ada pelanggaran dan konsekuensi hukum ketika melakukan sesuatu yang berpotensi mencelakai satwa liar dilindungi,” katanya pula.

Lebih jauh, WWF juga menyatakan pemerintah harus lebih intensif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi, terutama kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dilindungi.

Selain itu, WWF juga mendorong peran aktif perusahaan perkebunan dan industri kayu untuk turut melakukan sosialisasi serta edukasi hingga akar rumput.

Ia menjelaskan, berdasarkan data WWF, sebanyak 75 persen perlintasan satwa dilindungi seperti gajah dan harimau berada di kawasan konsesi, sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab tidak kalah besar untuk terus membantu pemerintah melakukan edukasi ke masyarakat.

KLIK INI: Gara-gara Burung, Aulia Harus Berurusan dengan Polisi

“Semua pihak harus lebih intensif melakukan edukasi dan sosialisasi potensi keberadaan satwa dilindungi. Tidak hanya pemerintah, namun juga perusahaan-perusahaan yang memiliki konsesi. Pemasangan rambu-rambu keberadaan satwa dilindungi juga harus terus dilakukan,” katanya pula.

Falalinin Halawa divonis tiga tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Teluk Kuantan dalam perkara pembunuhan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Dalam putusannya di Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Rabu, 27 Febriari malam, majelis hakim yang dipimpin hakim Reza Himawan Pratama menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 40 ayat (2) juncto pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“Menyatakan terdakwa Falalini Halawa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan satwa dilindungi. Menjatuhkan pidana tiga tahun penjara,” kata hakim Reza didampingi dua hakim anggota Rina Lestari Br Sembiring dan Duano Aghaka.

Selain pidana tiga tahun penjara, hakim juga menjatuhkan hukuman denda kepada Halawa, pria berusia 41 tahun asal Nias, Sumatera Utara tersebut sebesar Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan.

Putusan hakim tersebut lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri setempat.

Dalam tuntutannya pada pekan lalu, jaksa Mochamad Fitri Adhy menuntut terdakwa dengan hukuman empat tahun enam bulan penjara.

Menanggapi putusan itu, Halawa dan kuasa hukumnya Yogi Saputra dari LBH Missiniaki Legal Cooporation serta JPU Fitry Ady sepakat menyatakan pikir-pikir.

Halawa sendiri dalam pembelaannya menyatakan dirinya tidak mengetahui jika Desa Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuansing yang menjadi tempat dia tinggal dan berkebun merupakan areal perlintasan harimau.

Dia mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi atau melihat rambu-rambu larangan pemasangan jerat.

Jerat yang dipasang pria 41 tahun asal Nias, Sumatera Utara itu sejatinya dipergunakan menjerat babi agar tidak mengganggu perkebunan ubi miliknya.

Namun, jerat tersebut justru mengenai harimau bunting hingga mati. Total tiga ekor harimau, terdiri seekor induk dan dua janin yang telah terbentuk mati dalam insiden itu.

Sumber: bisnis.com