Masyarakat Diintimidasi pada Rencana Pembangunan Markas Batalyon TNI di Lutim, Benarkah?

oleh -13 kali dilihat
Spanduk pembangunan markas batalyon TNI-AD -foto/Ist

Klikhijau.com – Wilayah Loeha Raya, Luwu Timur (Lutim) bergejolak. Sebuah spanduk “Tanah ini calon lokasi persiapan pembangunan markas batalyon TNI-AD” terpasang di kebun merica milik masyarakat. Spanduk itu terpasang secara “siluman”. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat.

Menyikapi masalah tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) bersama  Masyarakat  Loeha Raya mencoba mengurai titik permasalahannya melalui konfrensi pers pada Selasa, 18 November 2025.

Dalam konferensi pers yang dimoderatori Zulfaningsih tersebut, WALHI Sulsel dan Masyarakat  Loeha Raya  menyampaikan, ada  ancaman yang dilakukan  oleh TNI Angkatan Darat  melalui pembangunan markas TNI di atas kebun merica milik masyarakat. Di mana pembangunan tersebut diduga ada campurtangan dari konsesi PT Vale Indonesia.

PT Vale Indonesia sendiri merencanakan akan memperluas area pertambangan  dengan mengakuisisi beberapa wilayah masyarakat wilayah Loeha Raya. Perlu diketahui bahwa konflik masyarakat Loeha Raya dengan  PT Vale telah terjadi sejak tahun 2022 lalu.

KLIK INI:  Menakar Kerakusan Tambang Mas Ilegal: Quo Vadis Dominee APH?

“Masyarakat keberatan karena tanpa ada pemberitahuan, kenapa bisa ada tiba tiba di pasang spanduk bertuliskan markas batalyon seluas 50 hektar, sedangkan di sana sudah menjadi kebun, makanya masyarakat menolak itu semua,” ungkap Anugrah, warga asli  Loeha Raya.

Dalam rencananya, TNI AD akan membangun markas batalion di area pertambangan PT Vale Indonesia yang juga menjadi wilayah petani merica oleh masyarakat Loeha Raya dan Pantai Angin, Kecamatan Towuti. Di mana sedang terancam digusur karena perluasan tambang PT Vale.

Ada intimidasi?

Anugrah juga mengatakan bahwa selain pemasangan spanduk, tanda tanda intimidasi lainnya adalah adanya penerbangan yang diduga drone dan pemasangan penanda tanah di tiga titik yang berbeda di kawasan gunung.

KLIK INI:  Unpak dan Belantara Edukasi Siswa SMA di Bogor Mendata Biodiversitas

“Pertama pemasangan spanduk terus ada drone dan penanda di Lengkona atas gunung di wilayah perkebunan masyarakat, sampai saat ini belum ada pemerintah yang merespons. Masyarakat menolak karena tidak adanya izin masyarakat sekitar,” tambah Anugrah.

Sementara itu, Kepala Divisi Hukum dan Politik Hijau WALHI Sulsel, Arfandi Anas  membenarkan pernyataan Anugrah tersebut. Menurutnya, karena adanya plang atau spanduk rencana pembangunan batalion, warga menjadi merasa terintimidasi dan terancam.

Arfandi juga mengungkapkan bahwa klaim titik itu belum tentu menjadi titik lokasi  pembangunan batalyon tersebut, yang ia dikhawatirkan akan terjadi pembenturan hak, di mana masyarakat secara faktual beraktivitas seperti bertani meskipun secara kepemilikan konsesi masih menjadi kepemilikan PT Vale, tetapi secara faktual juga menjadi milik masyarakat.

KLIK INI:  Menyandarkan Asa Pada SILIN untuk Produktivitas Hutan Alam Indonesia

“Terkait dengan pembangunan batalyon, ini memang diusulkan oleh presiden Indonesia,  Prabowo Subianto yang  berencana akan membangun sekitar 100 batalyon pembangunan, itu merupakan dampak dari revisi UUD TNI yang mengatur kewenangan TNI dalam kepentingan pembangunan yang mengakibatkan pasal itu dijadikan rujukan pembangunan besar-besaran di Indonesia” ujar Arfandi.

Ia  berharap baik pihak TNI dan masyarakat agar terus menjaga stabilisasi supaya dapat menghindari konflik-konflik yang sama-sama tidak diinginkan. Karena jika tidak segera datasi akan menjadi suatu masalah yang besar, akan ada potensi-potensi perampasan hak-hak masyarakat dikarenakan  secara faktual sudah turun temurun telah bertani di Loeha Raya.

KLIK INI:  Masyarakat Riau Terima SK Perhutanan Sosial dan Hutan Adat
Alasan kenapa  proyek harus dihentikan?

Direktur Ekslusif WALHI Sulsel Muhammad Al Amin menegaskan agar pernyataan masyarakat Loeha Raya  bisa sampai pada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas aksi intimidasi tersebut.

“Setidaknya ada dua entitas atau dua pihak yang harus memberikan respons baik dari masyarakat atau pihak WALHI Sulsel  dan pihak lainnya dari Panglima TNI, terkhusus pada Pangdam Hasanuddin  untuk menghentikan dan meninjau ulang rencana pembangunan markas batalion oleh TNI AD di pegunungan Tanah Malia atau pegunungan Lungureo,” katanya.

Ia juga  menyebut bahwa alasan utama mengapa proyek tersebut harus dihentikan karena dinilai tidak ada potensi bahaya atau ancaman yang menjadi urgensi yang mengancam keamanan negara pada wilayah tersebut. Pada dasarnya semua yang beraktivitas pada area itu adalah aktivitas  masyarakat yang ingin hidup dengan sejahtera dan berkelanjutan di tanahnya sendiri.

KLIK INI:  Hadirkan Bahaya Lingkungan, Honduras Larang Pertambangan Terbuka

“Kepada Pangdam, berkali kali kami melakukan kunjungan, diskusi, forum, dan komunikasi dengan warga-warga, tidak ada satu pun potensi ancaman terorisme di lokasi tersebut, mereka adalah warga negara yang baik, yang lahan perkebunannya justru perlu perhatian dari negara. Kalau dianggap petani merica tidak membayar pajak,  maka seharusnya negara mengakui dan merekognasi kegiatan pertanian merica itu agar masyarakat bisa berkontribusi dalam perekonomian negara,” jelasnya.

Amin juga memberikan pesan yang tegas pada PT Vale  karena  telah melanggar aturan secara konsesi yang diberikan kepada TNI yang diduga kuat menjadi perizinan anggota TNI untuk membangun batalyon di wilayah perkebunan tersebut, karena dalam aturannya  Vale tidak boleh melibatkan TNI pada aktivitas pertambangannya.

“Supaya petani tidak terus menjadi korban, saya mohon dengan sangat kepada kementrian kehutanan dan ATR/BPN (Kementrian Agraria danTata Ruang/Badan Pertahanan Nasional) untuk segera mengakui kegiatan pertanian dan lada milik petani Loeha Raya, karena ini menyangkut 3.000 orang yang hidup di tanah tersebut,” tutupnyaya.

KLIK INI:  Lindungi Petani Merica, Masyarakat Loeha Desak PT Vale Stop Eksplorasi di Tanamalia