Klikhijau.com – Ia tampak tak bersalah. Ringan, putih, dan lembut seperti niat awal manusia untuk hidup lebih bersih. Itulah tisu, tipis namun terbuat dari ratusan pohon yang ditebang demi mengelap mulut berminyak, tangan basah, atau noda kecil di meja makan. Sekali usap, buang. Lenyap dari pandangan, namun tidak dari bumi.
Di balik kenyamanan tisu sekali pakai, ada sebuah ironi yang nyaris tak disadari. Betapa pendek usia pakainya, dan betapa panjang umur dampaknya. Tisu hanya digunakan beberapa detik sebelum dilempar ke tong sampah, tapi perjalanannya tak berakhir di sana.
Ia masih harus melewati tempat pembuangan akhir, dibakar, atau terkubur bersama limbah lainnya. Dan sebelum itu semua terjadi, ratusan liter air dan energi sudah dikorbankan demi memproduksi satu kilogram kertas tisu.
Menurut data dari World Wide Fund for Nature (WWF), sekitar 270.000 pohon ditebang setiap hari untuk kebutuhan industri kertas, dan sebagian besar digunakan untuk memproduksi tisu, handuk kertas, dan produk sekali pakai lainnya. Tak heran jika sektor ini menjadi penyumbang signifikan dalam deforestasi global. Sebuah harga yang cukup mahal hanya untuk kenyamanan satu kali lap.
Pengguna di Indonesia terus meningkat
Indonesia sendiri termasuk dalam daftar konsumen tisu yang terus meningkat. Berdasarkan data dari Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), permintaan tisu rumah tangga dan komersial terus naik dikaitkan dengan pertumbuhan gaya hidup urban. Tisu telah menjadi simbol kebersihan modern. Ada di meja makan, mobil, tas, bahkan toilet umum. Ia menggantikan sapu tangan, lap kain, dan semua hal yang bisa dicuci dan dipakai ulang. Karena siapa punya waktu mencuci, ketika membuang jauh lebih praktis?
Tisu juga menjadi tamu tak diundang dalam warung makan cepat saji. Makanan datang dengan sendok plastik, minuman dengan sedotan, dan tentu saja tisu. Satu, dua, tiga helai atau lebih, tergantung seberapa berminyaknya ayam goreng yang dipesan. Tak ada yang menghitung, apalagi merasa bersalah. Karena selembar kertas tipis ini terlihat terlalu kecil untuk dianggap masalah.
Namun, kecil bukan berarti remeh. Berdasarkan perkiraan rata-rata dari beberapa studi seperti dari Water Footprint Network, satu gulungan tisu membutuhkan sekitar 10 sampai 140 liter air untuk diproduksi tergantung pada bahan baku dan teknologi yang digunakan. Tambahkan dengan pemutih kimia, energi listrik, serta kemasan plastiknya, dan kita akan menemukan bahwa selembar tisu mengandung jejak karbon yang tak sebanding dengan usianya yang hanya beberapa detik.
Belum lagi soal pembuangannya. Banyak tisu yang berakhir dibuang sembarangan. Menyumbat saluran air, mencemari sungai, bahkan terbakar bersama sampah rumah tangga yang lain. Padahal, tisu bukanlah produk yang mudah terurai secara alami, terutama jika mengandung zat kimia atau telah tercampur limbah lain. Tapi tisu tak pernah protes. Ia tetap hadir dalam jumlah besar di rak-rak swalayan, diskon akhir pekan, dan paket bundling ramadhan.
Ada pula kepercayaan tak tertulis di kalangan masyarakat urban. Semakin banyak tisu digunakan, semakin bersih seseorang terlihat. Satu gerakan menyeka keringat, satu helai tisu. Bersin , tiga helai. Menyentuh gagang pintu umum, dua helai. Seolah tangan tak akan pernah benar-benar bersih tanpa tisu. Ironisnya, jarang yang bertanya, bersih untuk siapa? Dan kotor untuk apa?
Tentu, tisu tak perlu dihukum. Ia hanyalah produk dari sistem yang mencintai kepraktisan dan menjual kemudahan. Namun, mengandalkan tisu untuk semua urusan kebersihan adalah bentuk lain dari kemalasan ekologis. Ketika semua bisa diseka lalu dibuang, maka tanggung jawab pun ikut hilang dalam gulungan terakhir.
Selalu ada alternatif
Alternatif? Ada. Sapu tangan bisa dicuci. Kain lap bisa dipakai ulang. Serbet dari kain bisa menggantikan tisu makan. Tapi, semua ini membutuhkan satu hal yang jarang dimiliki manusia modern. “Niat untuk repot sedikit demi masa depan bumi”. Sayangnya, niat itu sering kalah oleh diskon “buy 2 get 1” dari supermarket terdekat.
Kini, tisu bukan lagi sekadar pelengkap makan atau pembersih sesaat. Ia telah menjadi cermin gaya hidup kita. Cepat, bersih di permukaan, tapi menyisakan limbah di belakang. Setiap helai yang kita tarik, sebenarnya adalah jejak atas pilihan antara kenyamanan instan atau keberlanjutan jangka panjang.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya, bukan berapa banyak tisu yang digunakan hari ini, tetapi berapa banyak pohon yang tak sempat tumbuh karena kita terlalu sering menyeka dengan ringan hati.