- Makna di Balik Nama Kupu-Kupu Sayap-Renda Ungu - 23/03/2025
- Tahapan Menuju Sempurna bagi Seekor Kupu-Kupu - 21/03/2025
- Serunya Pelesiran dan Bersua dengan Katak Pohon Endemik - 07/03/2025
Klikhijau.com – Pagi itu, awal bulan Maret 2025. Saya bertandang ke Bantimurung bersama bocah lelaki, si bungsu yang berusia 4 tahun. Dia bosan hanya bermain di dalam ruangan, karena itu saya mengajaknya pelesiran. Sepertinya dia ketagihan bermain di area terbuka. Maklum pekan sebelumnya saya juga mengajaknya.
Kali ini saya mengajaknya menikmati ke air terjun Bantimurung. Sekitar pukul 08:00 Wita, kami sudah di kompleks air terjun. Hari itu nampak sepi. Bahkan petugas penjaga pun masih satu dua orang. Hanya ada dua orang petugas sedang menghalau sampah organik dan non organik di sekitar kawasan wisata.
Dua tiga kupu-kupu nampak asyik menikmati mineral di lantai yang basah. Saya sempat mengabadikannya dengan telepon genggam. Namun kehadiran si bocah lelaki membuat si kupu enggan berlama-lama mengisap mineral. Karena itu saya melewatinya.
Begitu tiba di air terjun, nampak air tumpah ruah. Hujan semalam membuat badan sungai hampir penuh. Begitu pun dengan air terjun, mengalir begitu deras. Dari kejauhan percikannya nampak begitu melimpah. Karena itu membuat kami tak bisa berlama-lama di sekitarnya. Kami akhirnya menjauhi air terjun.
Nampak di sisi kanan air terjun sebatang pohon ambruk. Barangkali karena angin kencang. Saya kemudian mendekatinya. Saya melihat sebatang anggrek. Saya pun kemudian mengunduhnya. Menyelamatkannya, dengan memindahkannya. Mencari pokok kayu sebagai tempat bertenggernya.
Saya hendak meletakkannya di salah satu pokok kayu dekat kantor Resor Bantimurung. Supaya bisa kami pantau. Tak butuh waktu lama, kami telah menemukan pokok kayu yang sesuai. Mengikatnya pada batang pohon yang tak cukup sejengkal diameternya.
Bertemu katak pohon
Saya kemudian mendapati seekor katak tak jauh dari pohon induk anggrek. Rumah barunya. Saya mengabarkan pada si bocah yang sedang berlarian. Ia pun segera mendekat. Nampak ia penasaran. Sesekali dia menyenggolnya dengan ujung telunjuknya. Namun sang katak kemudian melompat. Si bocah kegirangan. Nampak senang. “Boleh saya pelihara, Ayah?” Pertanyaan itu berkali-kali Kai Althaf Ismail, anak bungsu saya, lontarkan.
“Tidak boleh Nak, tempat tinggalnya bukan di rumah kita. Rumahnya di sini, di hutan,” jawab saya padanya. Ia nampak kecewa, namun ia kemudian nurut.
Kali ini ia lebih berani memegangnya dengan sedikit tegang. Rasa kenyal dari badan katak, membuatnya merasa geli.
Saya kemudian memotretnya beberapa kali. Menelisik bentuk badannya. “Sepertinya ini termasuk katak pohon,” batin saya.
Setelah puas mengamati dan bermain dengan si katak lucu, kami pun meninggalkan Bantimurung. Tak lupa berpamitan dengan rekan di kantor resor. Si bocah tak lupa cium tangan pada beberapa personil di sana.
“Wah.. saya mau cerita nanti sama Bunda, kalau pagi ini saya ketemu dengan katak emas,” gugam si bocah saat berpegang di stir motor dinas. Si bocah menyebutnya katak emas karena kelopak matanya berwarna emas.
Setelah duduk di meja kerja, saya pun kemudian mengontak salah satu kawan yang paham perihal Herpetofauna. Memberi salam kemudian mengiriminya salah satu gambar si katak. Beberapa jam kemudian ia memberi kabar perihal spesiesnya.
“Jika melihat morfologinya, ini Polypedates iskandari. Salah satu katak pohon endemik Sulawesi,” balas Jefta Natanael, pemerhati herpetofauna.
Tentang iskandari
Mengetahui spesiesnya memberi kesenangan tersendiri. Maklum, saya sebelumnya sempat membuka buku panduan herpetofauna, namun tak berhasil menemukan spesies yang serupa. Maklum buku referensi yang saya punya hanya buku herpetofauna dari Kalimantan dan Jawa.
Bermodalkan nama spesies hasil identifikasi, saya kemudian berselancar di dunia maya. Saya penasaran dengan nama spesiesnya. Nama iskandari, saya duga adalah nama seseorang. Betul saja, nama iskandari berasal dari nama peneliti herpetofauna tanah air. Ia telah banyak berjasa dalam penelitian reptil dan amfibi tanah air. Karenanya beberapa spesies telah mencantumkan namanya sebagai penghargaan atas jasanya.
Siapakah dia? Ia adalah Prof. Djoko Iskandar. Seorang dosen ITB. Ia telah mendedikasikan hidupnya meneliti reptil, terutama katak di penjuru tanah air. Beragam ekspedisi telah ia jalani mencari spesies yang jarang menjadi bahan penelitian.
Wah.. nampaknya seru ya, mengamati katak. Peralatan penelitiannya tak banyak, cukup punya senter, karena biasanya mereka aktif malam.
Yuk.. perhatikan biodiversitas sekitarmu, barangkali bisa jadi bahan telisik yang menyenangkan.