Klikhijau.com – Halaman rumah yang tampak rindang, daun-daun Monstera menari perlahan ditiup angin, disambut serempak oleh sirih gading dan lidah mertua yang berjajar manis di teras. Mata siapa yang tak terpikat oleh hijaunya kehidupan ini. Semuanya tampak asri, sejuk, dan tentu saja instagramable.
Namun jika ditelusuri lebih dekat, pot-pot yang menopang semua keindahan itu menyimpan kisah lain. Ada yang dulunya berisi cat dinding, ada pula yang bekas oli motor, bahkan drum bekas pelumas industri ikut bertransformasi menjadi wadah tumbuhan. Diberi cat warna pastel atau motif floral agar tampak manis. Tak ada yang mencurigakan kecuali kandungan racun yang mungkin masih bersarang di dalamnya.
Inilah ironi urban gardening, ketika kecintaan pada alam tak dibarengi dengan pemahaman tentang bahayanya memelihara tanaman dalam wadah beracun. Karena sayangnya, tak semua plastik layak dijadikan pot. Terutama plastik bekas kemasan bahan kimia berbahaya.
Dalam dunia kimia, kontaminasi bukan sekadar dugaan. Cat dinding dan oli mengandung logam berat seperti timbal, merkuri, bahkan kadmium. Sebuah penelitian oleh Nexus3 Foundation dan International Pollutants Elimination Network (IPEN) pada tahun 2021 melaporkan bahwa sekitar 79 persen sampel cat berbasis pelarut untuk keperluan rumah tangga dan industri di Indonesia mengandung konsentrasi timbal di atas 90 ppm. Lebih dari sepertiga sampel cat, sekitar 39 persen, bahkan mengandung konsentrasi timbal yang sangat tinggi di atas 10.000 ppm.
Ditambah studi oleh BaliFokus pada tahun 2015 di Denpasar mengungkapkan bahwa 83 persen dari contoh-contoh cat enamel dekoratif yang diteliti mengandung timbal di atas 90 ppm, lebih tinggi dibanding standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Jika logam berat tersebut terserap oleh tanaman, akan mengganggu proses fotosintesis, menghambat pertumbuhan akar, dan mengurangi hasil panen pada tanaman pangan. Selain itu, paparan jangka panjang terhadap logam berat dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf, ginjal, dan meningkatkan risiko kanker pada manusia.
Tapi tentu saja, demi estetika dan dompet yang hemat, pot bekas cat dianggap solusi jitu. Apalagi kalau catnya sisa pembangunan rumah sendiri. Irit, katanya. Tapi irit yang berujung racun, siapa yang mau?
Masalahnya, pot tanaman sering kali dianggap hanya wadah biasa. Padahal dalam konteks lingkungan hidup, benda sekecil pot pun punya dampak besar. Menggunakan wadah bekas bahan kimia beracun tidak membuat barang itu “ter-recycle”, tapi justru memperpanjang umur masalah.
Ada yang berdalih, “Ah, kan cuma buat bunga, bukan buat sayur.” Tapi coba tanya serangga yang tiap hari hinggap di sana. Atau tanah yang setiap pagi disiram air. Racun yang tersisa dalam plastik bisa larut, turun perlahan, mencemari tanah sekitar, bahkan ikut terbawa air hujan ke saluran umum. Maka dari satu pot plastik bekas cat, bisa lahir jejak racun tak kasat mata yang berpindah entah ke mana.
Lucunya, kampanye peduli lingkungan sering berhenti di level permukaan. Menanam pohon? Sudah. Mengurangi kantong plastik? Hebat. Tapi soal pot beracun, siapa peduli? Padahal inilah ironi yang menyebalkan, orang-orang menyayangi bumi dari atas, tapi diam-diam meracuninya dari bawah.
Tapi kenapa ya isu ini seperti sesuatu yang tidak ada? Mungkin karena tidak cukup seksi untuk dijadikan konten. Foto tanaman dalam pot lucu lebih menjual ketimbang penjelasan panjang soal residu kimia. Influencer tanaman hias pun lebih senang memamerkan estetika daun ketimbang membahas label bekas pada pot.
Belum lagi jargon “lebih baik dimanfaatkan daripada dibuang”. Frasa ini memang terdengar mulia, tapi tidak selalu benar. Barang bekas yang tidak aman tidak seharusnya dilestarikan. Sama seperti tidak semua sisa makanan layak disimpan, tidak semua sisa kemasan layak digunakan kembali.
Sebagian pemilik rumah berdalih sudah mencuci pot bekas cat itu sampai bersih. Sayangnya, logam berat tidak seperti debu di sepatu. Ia bisa tertinggal pada pori-pori plastik, menempel dalam waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun. Efeknya tidak langsung terasa. Tapi ketika tanaman tampak layu tanpa sebab, atau tanah mengeras dan berubah warna, itu bisa jadi tanda awal.
Apa solusinya? Gunakan pot dari bahan alami seperti tanah liat, semen, atau plastik food grade. Harganya mungkin sedikit lebih mahal, tapi setidaknya tidak mempertaruhkan kesehatan keluarga dan lingkungan sekitar. Atau jika tetap ingin memakai barang bekas, pastikan tidak berasal dari wadah bahan kimia berbahaya.
Kesadaran lingkungan bukan soal siapa paling hijau di Instagram. Tapi siapa yang paling jujur menilai apa yang benar-benar ramah lingkungan. Karena mencintai alam bukan hanya soal menanam, tapi juga memahami bahwa rumah tanaman pun harus sehat.
Dan pada akhirnya, rumah hijau yang ideal bukan hanya dipenuhi tanaman. Tapi juga dipenuhi akal sehat.