Klikhijau.com – Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilnya. Webinar Klik Hijau bertajuk “Kolaborasi Memitigasi Ancaman Kerusakan Lingkungan di Kawasan Pesisir” yang diselenggarakan pada 23 Mei 2025 menghadirkan Dr. Abdul Motalib Angkotasan, dosen Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate, sebagai narasumber utama untuk mengupas tuntas isu yang semakin mengkhawatirkan ini.
Dr. Abdul mengawali pembahasannya dengan menjelaskan bahwa kerusakan di wilayah pesisir merupakan hasil interaksi dua kelompok faktor: faktor alamiah (natural vector) dan faktor antropogenik (aktivitas manusia).
Dari sisi alamiah, perubahan iklim global, kenaikan muka air laut, pengasaman laut (ocean acidification), serta suhu permukaan laut yang meningkat, menjadi pemicu utama.
Sedangkan dari sisi manusia, pencemaran air akibat limbah domestik dan industri, penggunaan pestisida berlebihan, penambangan karang, penebangan mangrove, dan reklamasi pantai, menambah tekanan berat terhadap ekosistem pesisir.
Salah satu fenomena yang paling nyata adalah abrasi pantai—pengikisan garis pantai akibat gelombang laut yang semakin kuat dan naiknya muka air laut. Dr. Abdul menegaskan, terumbu karang, lamun, dan mangrove bukan hanya keindahan alam, melainkan benteng alami yang melindungi pesisir dari abrasi dan kerusakan. Ketiga ekosistem ini adalah penyangga vital yang harus kita jaga dan pulihkan.
Strategi Mitigasi Berbasis Tiga Pendekatan
Untuk menjawab tantangan tersebut, Dr. Abdul menguraikan tiga pendekatan mitigasi yang saling melengkapi:
Pendekatan Ekologis: Rehabilitasi dan perlindungan ekosistem utama pesisir menjadi prioritas. Restorasi terumbu karang dengan teknik transplantasi, penanaman kembali lamun di area yang sesuai, dan rehabilitasi mangrove harus dilakukan secara berkelanjutan. “Tanpa ekosistem yang sehat, upaya mitigasi lain akan sulit berhasil,” tegasnya.
Pendekatan Sosial: Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sangat penting agar tercipta kesadaran kolektif. Selain itu, untuk daerah rawan abrasi, relokasi permukiman menjadi langkah mitigasi sosial yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati demi keselamatan warga. Kesadaran masyarakat akan perannya disebut sebagai pondasi utama keberhasilan mitigasi.
Pendekatan Infrastruktur: Pembangunan pemecah gelombang dan reklamasi pantai dapat membantu melindungi wilayah pesisir, namun Dr. Abdul mengingatkan bahwa pendekatan ini harus direncanakan secara matang dan mempertimbangkan dampak ekologis yang mungkin timbul.
“Infrastruktur adalah pedang bermata dua. Jika tidak hati-hati, justru bisa memperparah kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Mengatasi Pencemaran Perairan: Penghentian Limbah Berbahaya
Pencemaran perairan laut akibat limbah rumah tangga, limbah industri, dan sampah plastik menjadi masalah krusial lainnya. Dr. Abdul menegaskan perlunya penggantian pestisida kimia dengan pupuk organik sebagai upaya mengurangi polutan. Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku pencemaran.
“Penegakan hukum adalah kunci agar ada efek jera dan pelestarian dapat berlangsung,” katanya.
Mitigasi kerusakan terumbu karang dilakukan melalui pengelolaan berbasis zonasi dan penetapan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat, seperti DPLBM dan MPA. Dr. Abdul juga menyoroti ancaman penangkapan ikan dengan bahan berbahaya, dan menekankan perlunya edukasi dan hukum yang tegas.
Untuk ekosistem lamun yang sering terabaikan, ia mengajak memperkuat gerakan konservasi. “Lamun memiliki peran besar dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan ekologi laut, namun kurang mendapat perhatian. Ini harus diubah,” ujarnya.
Begitu pula mangrove, yang meski memiliki fungsi ekologis penting, masih dieksploitasi secara berlebihan oleh masyarakat yang bergantung pada kayu mangrove. Alternatif mata pencaharian menjadi solusi agar eksploitasi ini berkurang, diiringi dengan rehabilitasi dan penegakan hukum.
Tantangan dan Harapan: Kolaborasi dan Kesadaran Kolektif
Dr. Abdul memaparkan bahwa salah satu tantangan utama adalah kurangnya kepedulian dan dukungan dari pemerintah daerah. Namun, ia optimistis jika seluruh pihak—pemerintah, akademisi, media, bisnis, dan masyarakat—bekerja bersama, perubahan positif bisa dicapai. “Kesadaran kolektif adalah fondasi utama. Kita harus tanya pada diri sendiri, masihkah kita membuang sampah ke laut? Jika iya, kita bagian dari masalah.”
Isu perampasan ruang laut oleh investasi swasta melalui reklamasi juga mendapat perhatian khusus. Dr. Abdul menyerukan agar pengambilan kebijakan selalu berdasarkan data dan kajian lingkungan hidup strategis untuk melindungi ruang hidup masyarakat pesisir.
Sebagai contoh keberhasilan, ia membagikan kisah Pulau Maitara, Maluku Utara, di mana dialog dan kerja sama antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah menghasilkan rehabilitasi terumbu karang yang signifikan.
Mengakhiri webinar, Dr. Abdul mengajak semua pihak untuk mulai dari hal kecil namun konsisten, seperti menanam karang komunitas dan menggalang kesadaran publik. “Masa depan ekosistem pesisir dan laut ada di tangan kita semua. Menyelamatkan ibu bumi berarti menyelamatkan sumber kehidupan yang menopang kita,” tutupnya.
Webinar ini menjadi pengingat bahwa mitigasi kerusakan wilayah pesisir adalah tanggung jawab bersama yang harus dihidupi secara kolektif dan berkelanjutan demi generasi mendatang.