Dilema Pariwisata di Tengah Krisis Lingkungan

oleh -10 kali dilihat
Dilema Pariwisata di Tengah Krisis Lingkungan
Pemandangan indah dari atas puncak gunung Bulusaraung. Foto: Ist

Klikhijau.com – Kita sering terpukau oleh pemandangan laut biru yang membentang, hijaunya perbukitan yang menyambut dari kejauhan, dan semilir angin yang menyapa lembut saat kita berdiri di atas bukit wisata. Kita memotret, tersenyum, dan meninggalkan jejak — tanpa pernah benar-benar bertanya, jejak macam apa yang kita tinggalkan?

Di balik keindahan yang kita nikmati, ada alam yang perlahan luka. Sampah-sampah plastik yang tertinggal di pasir pantai, air laut yang mulai keruh karena limbah, dan suara-suara bising kendaraan yang mengusir burung-burung yang dulu bersarang di sana. Pariwisata yang kita rayakan hari ini, diam-diam menyakiti alam yang menjadi tuan rumahnya.

Apakah kita masih bisa menyebutnya “liburan”, jika yang kita tinggalkan bukan hanya kenangan, tetapi juga kerusakan?

Bali, pulau yang selama ini identik dengan surga pariwisata, kini menghadapi tantangan lingkungan yang semakin serius. Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2021 menyebutkan bahwa sekitar 4.281 ton sampah dihasilkan setiap hari di Bali, dan lebih dari 50% di antaranya tidak terkelola dengan baik. Studi dari World Bank dan Pemerintah Indonesia pada 2021 juga menunjukkan bahwa sekitar 33.000 ton plastik bocor ke laut dari Bali setiap tahun, dan pariwisata disebut sebagai salah satu kontributor utama.

Di sisi timur Indonesia, Labuan Bajo yang dinobatkan sebagai salah satu destinasi super prioritas, menghadapi problem serupa. Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Manggarai Barat (2023), sekitar 20-30 ton sampah dihasilkan setiap hari. Sampah botol kaca dan plastik menjadi tumpukan baru yang belum mampu ditangani oleh sistem pengelolaan yang tersedia. Kunjungan wisatawan yang meningkat tidak sejalan dengan kesiapan infrastruktur lingkungan yang ada.

Namun, masalah ini lebih dalam dari sekadar sampah. Masalah utamanya adalah ketidaksiapan sistemik menghadapi lonjakan wisata. Banyak destinasi wisata tidak memiliki sistem limbah yang memadai, jalan yang ramah lingkungan, atau aturan yang tegas terhadap wisatawan yang merusak alam. Pemerintah seringkali fokus pada pengembangan destinasi, tapi lupa pada perlindungan destinasi itu sendiri.

KLIK INI:  Kabar Baik, Lebih 50 Negara Mendeklarasikan Pariwisata Berkelanjutan

Tak hanya alam, budaya pun terancam. Pariwisata massal bisa menggusur identitas lokal. Banyak tradisi yang berubah menjadi tontonan, bukan lagi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat lokal, yang dulunya hidup beriringan dengan alam, kini didorong menjadi pelayan industri wisata. Perubahan ini terjadi begitu cepat, hingga seringkali mereka tak diberi ruang untuk berkata tidak.

Namun harapan belum pupus. Di antara deretan tantangan, masih ada cahaya kecil yang menunjukkan bahwa wisata dan kelestarian bisa berjalan seiring. Desa Penglipuran di Bali adalah contoh nyata. Desa ini dikenal bersih, asri, dan mampu menjaga tradisi dengan kuat. Pengelolaan sampah dilakukan secara mandiri oleh warga, dan seluruh aktivitas wisata disesuaikan dengan nilai-nilai lokal. Sebuah studi dari Universitas Udayana (2022) menyebut bahwa desa ini mampu mempertahankan daya tarik wisata tanpa mengorbankan lingkungannya karena partisipasi komunitas yang tinggi.

Gerakan Wisata Bersih yang digagas pemerintah di berbagai daerah, termasuk Labuan Bajo, menjadi langkah awal yang patut diapresiasi. Di Raja Ampat, Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2022 menyebutkan bahwa setiap pengembangan pariwisata harus berbasis pada prinsip keberlanjutan. Namun tentu, kebijakan tanpa pengawasan dan partisipasi masyarakat tak akan berarti banyak.

Kita tidak bisa hanya menunggu pemerintah. Perubahan sejati tumbuh dari kesadaran personal. Dari cara kita memilih destinasi, dari botol minum yang kita bawa sendiri, dari menolak paket wisata yang jelas-jelas mengeksploitasi alam. Kesadaran kecil itu, jika dilakukan bersama, bisa menjadi gelombang yang mengubah wajah pariwisata kita.

Karena sejatinya, kita bukan hanya penikmat keindahan. Kita adalah bagian dari alam itu sendiri. Dan jika kita mencintainya, sudah seharusnya kita menjaganya.

Liburan seharusnya membawa bahagia, bukan luka. Bagi kita, dan bagi bumi yang menjadi rumah kita bersama.

KLIK INI:  Ini Ancaman Terbesar yang Mengepung Laut dan Isinya karena Ulah Manusia