Akademisi Unkhair Ternate Soroti Ancaman Kerusakan Lingkungan di Pesisir

oleh -19 kali dilihat
Akademisi Unkhair Ternate Soroti Ancaman Kerusakan Lingkungan di Pesisir
Dr. Abduh Motalib, akademisi Unkhair Ternate - Foto: Ist

Klikhijau.com – Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kini menghadapi ancaman yang semakin nyata dan kompleks. Dalam sebuah webinar bertajuk “Kolaborasi Memitigasi Ancaman Kerusakan Lingkungan di Kawasan Pesisir” yang diselenggarakan oleh Klik Hijau pada (23/05/2025), Dr. Abdul Motalib Angkotasan, S.Pi, M.Si,, Dr Aakademisi dari Universitas Khairun (Unkhair) membeberkan hal tersebut.

Dihadapan peserta yang kebanyakan mahasiswa, Abdul Motalib mengajak untuk memahami kondisi kritis yang melanda ekosistem pesisir Indonesia akibat faktor alamiah dan ulah manusia.

Pesisir merupakan wilayah batas antara daratan dan laut, dimana wilayah daratan masih dipengaruhi oleh proses-proses dari laut meliputi pasang-surut, gelombang, angin laut dan intrusi air laut. Di saat yang sama, wilayah laut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dari daratan meliputi sedimentas dan masukan air tawar. Berdasarkan UU Nomor 27 Thn 2007,  Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut.

Pulau pun masuk dalam kategori penting dalam pembahasan ini. Dalam UU yang sama, pulau kecil dijelaskan sebagai pulau dengan luas sama atau kurang dari 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya.

Mengapa pulau-pulau kecil penting untuk didiskusikan secara khusus? Menurut Dr. Abdul Motalib Angkotasan, S.Pi, M.Si selaku narasumber dalam webinar tersebut, pulau kecil mengalami tekanan ekologis yang tak kalah serius dibandingkan wilayah pesisir secara umum.

KLIK INI:  Peringati Hari Lahan Basah Sedunia, KLHK Tanam Tanam Mangrove di Tapanuli Tengah

Potensi Pulau Kecil Tenggelam

Perubahan garis pantai yang terus terjadi dari tahun ke tahun, bahkan laporan tenggelamnya beberapa pulau kecil di beberapa wilayah seperti Riau dan Maluku Utara, menjadi peringatan keras akan dampak nyata dari perubahan iklim. Kenaikan muka air laut merupakan salah satu faktor utama, dan ancaman ini semakin mendesak untuk disikapi secara serius.

Narasumber memaparkan bahwa faktor penyebab kerusakan wilayah pesisir dan pulau kecil dapat dibagi menjadi dua, faktor alami (natural factor) dan faktor manusia (antropogenic factor).

“Faktor alami mencakup perubahan iklim global yang berdampak pada kenaikan muka air laut, peningkatan keasaman laut, serta peningkatan suhu permukaan laut. Meski kerap disebut “alami”, Sebenarnya perubahan iklim sejatinya tak lepas dari campur tangan manusia. Sejarah panjang bumi menunjukkan bahwa laju perubahan iklim saat ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Industrialisasi, pembakaran sampah plastik, penggunaan bahan bakar fosil, dan deforestasi adalah beberapa penyebab utama meningkatnya emisi karbon ke atmosfer,” jelasnya.

“Tak hanya itu, fenomena cuaca ekstrem seperti curah hujan tinggi juga berdampak signifikan. Ketika hujan turun deras, aliran air membawa material dari darat ke laut, menyebabkan peningkatan kekeruhan (turbidity) dan sedimentasi yang merusak kualitas air. Kondisi ini berdampak pada ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang, serta seluruh organisme yang berasosiasi dengannya,” Lanjutnya.

KLIK INI:  Teknologi Fitoremediasi Bisa Jadi Andalan Atasi Pencemaran Lingkungan

Faktor manusia tak kalah destruktif. Dalam presentasi disebutkan beberapa penyebab utama kerusakan dari sisi antropogenik, di antaranya adalah masuknya polutan ke perairan (pestisida, limbah rumah tangga, plastik, tumpahan minyak, limbah industri), praktik penambangan karang, penebangan pohon mangrove untuk kayu bakar, hingga reklamasi pantai yang tidak berwawasan lingkungan.

Akibat dari semua faktor ini, muncul berbagai dampak ekologis, sosial, dan budaya yang signifikan. Secara ekologis, kerusakan pada ekosistem pesisir menyebabkan hancurnya terumbu karang, degradasi padang lamun, dan hilangnya habitat mangrove. “Hilangnya ekosistem ini tentu memengaruhi keseimbangan rantai makanan, mengurangi keanekaragaman hayati laut, dan meningkatkan kerentanan wilayah pesisir terhadap bencana seperti abrasi” Ujarnya.

Dampak sosial pun tak kalah mengkhawatirkan. “Masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut terancam kehilangan mata pencaharian. Nelayan kecil misalnya, mengalami penurunan hasil tangkapan akibat rusaknya ekosistem laut. Situasi ini memicu ketimpangan sosial dan bisa berujung pada konflik antarwarga yang berebut sumber daya yang semakin langka” Tambahnya.

Di sisi lain, Dr. Abdul Motalib Angkotasan juga menjelaskan dampak budaya sering kali luput dari perhatian. “Berbagai kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir perlahan hilang. Tradisi-tradisi yang sejak lama menjaga keharmonisan manusia dan alam mulai ditinggalkan, tergantikan oleh praktik eksploitasi yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek”.

Kerusakan pesisir tidak datang tiba-tiba, dan bentuknya pun beragam. Setidaknya ada lima ancaman serius kerusakan lingkungan di kawasan pesisir yang dibeberkan dalam webinar. Pertama, abrasi pantai, yaitu pengikisan garis pantai akibat gelombang laut, pasang surut, dan perubahan iklim. Kedua, pencemaran perairan, yang mencemari habitat laut dengan limbah dan zat kimia berbahaya. Ketiga, kerusakan ekosistem terumbu karang akibat praktik penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bom atau sianida. Keempat, kerusakan padang lamun, habitat penting bagi biota laut seperti dugong dan penyu. Dan terakhir, kerusakan hutan mangrove, yang berperan besar dalam menjaga kestabilan garis pantai dan menjadi tempat bertelur bagi berbagai spesies ikan.

“Dari berbagai fakta yang dipaparkan, jelas bahwa tantangan besar tengah dihadapi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Webinar ini tak hanya memberikan peringatan, tetapi juga menjadi ajakan untuk bertindak. Perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil tak bisa ditunda. Ia memerlukan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, partisipasi aktif masyarakat, serta kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga ekosistem yang menjadi benteng alami bagi kehidupan manusia,” pungkas alumni IPB ini.

Ancaman kerusakan lingkungan ini bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga soal keadilan sosial dan tanggung jawab antar generasi. Jika dibiarkan, kita tak hanya kehilangan daratan dan keanekaragaman hayati, tetapi juga warisan budaya yang selama ini menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Sudah saatnya bergerak sebelum semuanya terlambat.

KLIK INI:  Tawa Ceria Anak Pesisir Pantai Kalumeme di Tengah Abrasi