Pohon Terakhir di Bumi

oleh -98 kali dilihat
Pohon Kenangan
Ilustrasi pohon/foto-ist
Irhyl R Makkatutu

Gerah. Keringat tak ada lagi yang tersisa dari tubuh. Sejak bumi hanya memiliki satu pohon besar yang tersisa. Pohon besar itu kini diincar seorang Profesor. Ia akan menjadikannya rak buku.  Profesor itu adalah penulis buku dan jurnal ilmiah perihal lingkungan.

Rak buku di rumahnya telah penuh. Ia ingin menambah rak bukunya. Namun, harus artistik, memiliki nilai seni tinggi. Dan harus terbuat dari kayu.

Memang begitu pembaca, semakin tinggi pengetahuan, gelar, jabatan, dan status sosial seseorang, seleranya juga akan semakin melangit. Seperti halnya Profesor itu.

Karena kebelet ingin punya rak buku dari kayu. Diperintahkanlah anak buahnya mencari pohon besar itu—pohon terakhir di Bumi.

Anak buahnya tersebar ke berbagai penjuru bumi. Namun, mereka tak menemukan pohon yang diinginkan. Pohon-pohon memang banyak, tapi tak layak dijadikan papan maupun balok.

KLIK INI:  Juli Tak Mengirim Penanda

Pohon-pohon itu hanya dijadikan hiasan menghiasi taman dan halaman rumah. Sebagian telah dikerdilkan atas nama keindahan, atas nama seni.

“Tak ada lagi pohon besar yang tersisa di dunia ini. Hutan Amazon bahkan telah gundul. Berganti beton dan lahan gandum,” lapor anak buah sang Profesor.

“Hutan Kalimantan pun habis, Papua juga demikian, berganti kelapa sawit dan tambang,” lapor yang lain.

Gerah meliar

Gerah kini semakin meliar menjelajahi tubuh. Keringat dirampas paksa dan terkuras habis. paying tak bisa melindungi dari sengatan matahari jika keluar rumah. Sementara di rumah, kipas angin Tambah menggerahkan ruangan. Hanya AC satu-satunya cara untuk mendinginkan diri.

Di ruang perpustakaan Profesor itu, AC tak pernah jeda mengirim dingin. Namun, tumpukan buku tanpa rak membuatnya terasa sesak.

Buku-buku sang Profesor  dari hari ke hari semakin menumpuk, tak ada tempat. Sementara rayap dan banjir mulai mengincarnya. Tak ada jalan selain harus menemukan kayu untuk dijadikan rak—rak yang estetik secepat mungkin.

Sang Profesor pun melakukan sayembara, siapa yang berhasil menemukan pohon besar, akan diberi hadiah berupa mobil dan uang tunai. Juga si penemu akan diberangkatkan umrah ke tanah suci Mekah.

Sayembara itu memenuhi media. Banyak orang yang tertarik. Sayangnya hingga berbulan-bulan lamanya, tak ada titik hilal dari sayembara itu. Tak ada yang menemukan pohon besar.

Sang Profesor ditetak cemas. Pantang baginya menggunakan besi untuk rak bukunya, meski itu lebih tahan lama, anti rayap, dan banjir.

KLIK INI:  Kudengar Bisik Alam Memanggilmanggilku

Ketika sedang di kamar membaca buku, sebuah pesan masuk ke gawainya. Pesan dari seseorang yang kurang sopan santunnya. Orang itu mengaku tahu, di mana letak pohon terakhir di Bumi tumbuh. Itu satu-satunya pohon besar yang tersisa.

“Di mana?” Tanya sang Profesor dengan gusar.

“Tambahkan hadiahnya,” tawar si pengirim pesan itu.

“Apa tambahannya?” cecar sang Profesor.

“Tambahkan dengan seekor kuda.”

Profesor itu merenung sejenak. Di mana ia akan mendapat kuda. Sudah sangat lama sekali ia tak melihat makhluk itu.

“Ok,” balasnya.

Kini Profesor itu memiliki dua pencarian, pohon besar dan seekor kuda.

Namun, untuk seekor kuda, ia telah menemukan tempat di mana bisa mendapatkannya. Tempatnya di Selatan Makassar; Jeneponto. Kabupaten yang dengan populasi kuda yang banyak.

KLIK INI:  Sepotong Napas dari Puntondo
Obsesi yang tak memudar

Profesor itu masuk ke ruang perputakaannya. Di bukanya buku bersampul hijau muda. Buku tentang lingkungan, tentang peran penting pohon untuk menyelamatkan bumi dari longsor, terjangan banjir, kekeringan, dan penangkal polusi.

Ia baca dengan serius buku itu, namun keinginannya memiliki rak buku dari kayu melebihi godaan dari tawaran buku itu untuk menyelamatkan pohon.

“Pohon besar di dunia ini tersisa satu batang saja, apa yang terjadi jika itu ditebang?” Ia berhenti ketika membaca kalimat itu.

“Letaknya diperkirakan ada di Indonesia.”

Ketika ia membaca kalimat lanjutan itu, sang Profesor girang. Meski ia sadari, bukan hanya dirinya yang memburu pohon itu. Dan semua negara ingin melindunginya. Akan sulit baginya mendapatkannya.

Ia pejamkan mata, dicarinya cara agar pohon itu menjadi miliknya. Sebagai profesor yang bergerak di bidang lingkungan, pendapatnya banyak didengar orang. Ia bisa saja memengaruhi pemerintah agar pohon terakhir itu ditebang, lalu dibuatkan museum untuk di pajang.

Para peneliti tentu akan berbondong-bondong datang menelitinya, anak sekolah akan gencar studi tour ke museum itu.

Memikirkan semua itu, perasaannya semakin melayang, bayangan rak buku dari kayu yang eksotis terpajang di kepalanya.

“Tapi, di mana letak kayu itu?” Tanyanya.

KLIK INI:  Seekor Camar di Bahu Mercusuar

Ia pandangi gawainya, dibacanya lagi chat dari seseorang yang mengaku tahu letak pohon itu. Namun, tak ada lagi kabarnya.

Dua minggu kemudian, si pengirim pesan itu kembali mengirim pesan.

“Bagaimana, sudah ada kudanya?” Tanyanya tanpa basa-basi.

“Ada,” jawab Prof. Ia langsung mengirim foto kuda berwarna hitam legam.

Tak ingin kalah, si pengirim pesan juga mengirim foto pohon besar itu.

Mendapati foto pohon tersebut, Profesor tersenyum sendiri.

“Kirim uangnya, lalu saya akan memberikan lokasi di mana pohon ini berada.”

Saking percayanya, profesor itu pun menyanggupi semua permintaan si pembawa pesan. Namun, untuk tiket umrah dan kuda, si pengirim pesan harus mengambilnya sendiri di Makassar. Jadi,  Profesor ingin bertemu langsung. Ia takut kena tipu berlipat-lipat.

Maka, pada sebuah siang yang dirintiki gerimis. Profesor dan si pengirim pesan itu bertemu di sebuah café di batas kota.

Pertemuannya singkat saja, setelah profesor menyerahkan kudanya. Ia memilih pulang ke rumahnya. Setelah si Pengirim Pesan itu pun memberikan alamat di mana pohon besar itu berada.

“Pohon ini tumbuh di Lembanna Ceddeng, profesor akan menemukannya dengan muda jika ingin ke gunung Lompobattang melalui jalur Tassika,” terang si Pengirim Pesan itu, yang mengaku bernama Ramili.

KLIK INI:  Pohon Tuan Kota

“Lokasinya di Bulukumba?”

“Benar, Prof.”

Setelah itu, keduanya berpisah. Ramili pulang ke Bulukumba dengan membawa kuda hitam legam dan tiket umrah.

Godaan memiliki rak buku dari kayu pohon terakhir di bumi terus tumbuh di kepala sang Profesor, berbagai upaya dilakukan agar pemerintah mengizinkan menebang pohon itu. Dan ia akan mengambil separuh kayunya untuk rak buku. Tak banyak.

Profesor sibuk mengadakan pertemuan dan seminar, demi mencari dukungan untuk menebang pohon itu. Namun, niatnya  terbentur banyak kendala dari para pemerhati lingkungan.

Hanya saja, otak sang Profesor adalah belut sawah, licin dan lincah. Ia tak kehabisan ide.

Pertanyaan banyak bermunculan, di mana letak pohon itu. Selama ini, semua orang hanya menerka-nerka. Tak ada yang tahu benar tempatnya, kecuali Profesor dan Ramili.

Tentu menjadi sebuah kegaiban, bagaimana pohon yang dilindungi oleh seluruh dunia itu, hanya diketahui dua orang saja.

Memikirkan keanehan itu, Profesor jadi gamang. Ia lalu memposting foto pohon yang dikirim oleh Ramili. Sontak saja banyak tanggapan.

KLIK INI:  Ditetak Ayah

Tak berselang lama, tersiar kabar jika pohon itu berada di Lembanna Ceddeng. Banyak orang berdatangan ingin melihatnya.

Karena dikhawatirkan banyak yang akan merusaknya. Dunia berbondong-bondong berinisiatif membuat pagar yang tinggi, agar tak ada yang masuk merusak pohon terakhir di bumi itu.

Sementara Ramili, kini bersiap-siap melaksanakan umrah berkat tiket dari Profesor. Ia memotong kuda pemberian Profesor, lalu menjamu para kerabatnya, sebagai bentuk syukur karena doanya terkabul—berkunjung ke Mekah.

Sementara profesor semakin terobsesi memiliki rak buku dari kayu terakhir di bumi. Ia melakukan berbagai upaya, termasuk maju mencalonkan diri sebagai presiden. Agar ia bisa mengubah undang-undang yang melindungi pohon itu—pohon yang terasa mulai tumbuh di kepalanya.

KLIK INI:  Tidak Ada Senja di Hutan Camba