Mewaspadai Kekeringan Meteorologis yang Berpotensi Melanda Indonesia

oleh -20 kali dilihat
Mendebarkan, Indonesia Terancam Kekeringan karena Kemarau Panjang?
Ilustrasi kekeringan/foto-metropekanbaru.com

 Klikhijau.com – Sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami kekeringan meteorologis pada musim kemarau. Hal tersebut disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Kekeringan meteorologis sendiri adalah kondisi di mana anomali cuaca dan iklim yang mengakibatkan kurangnya curah hujan dalam periode tertentu.

Dalam kondisi kekeringan meteorologis, yang terjadi penurunan curah hujan, peningkatan suhu, dan peningkatan evapotranspirasi.

Penyebab utama kekeringan meteorologis adalah tingkat curah hujan suatu daerah di bawah normal.

KLIK INI:  Pohon Natal akan Alami Kesuraman karena Kekeringan

Untuk mengatasi ancaman tersebut dibutuhkan kesiagaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dilansir dari laman BMKG, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa laporan kepada Presiden perihal kondisi iklim dan kesiap-siagaan kekeringan 2024 sudah  disampaikan agar mendapat atensi khusus pemerintah, sehingga risiko dan dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi dan diminimalisir sekecil mungkin.

“Sebagian wilayah Indonesia sebanyak 19% dari Zona Musim sudah masuk Musim Kemarau, dan diprediksi sebagian besar wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara segera menyusul memasuki musim kemarau dalam tiga dasarian ke depan. Kondisi kekeringan ini saat musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia sampai akhir bulan September,” paparnya, Selasa, 28 Mei 2024.

Dwikorita menyampaikan bahwa mayoritas wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) sepanjang 21-30 hari atau lebih panjang.

KLIK INI:  Seringnya Bencana Terjadi di Indonesia Akibat Perubahan Iklim

Lebih lanjut, analisis jumlah curah hujan dan jenis hujan yang dilakukan BMKG menunjukkan bahwa kondisi kering  mulai terjadi di Indonesia, khususnya  bagian selatan garis khatulistiwa.

Dwikorita juga menuturkan, kepada pemerintah daerah, BMKG merekomendasikan agar daerah yang masih mengalami hujan atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau, untuk dapat segera mengoptimalkan secara lebih masif upaya untuk memanen air hujan.

Pemanenan dapat dilakukan melalui tandon-tandon/ tampungan-tampungan air, embung-embung, kolam-kolam retensi, sumur-sumur resapan, dan lain sebagainya seiring dengan upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan.

“Terkait pertanian, maka pola dan waktu tanam untuk iklim kering pada wilayah terdampak dapat menyesuaikan. Karenanya, BMKG akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Menteri Pertanian dan Gubernur Provinsi terdampak,” imbuhnya.

Dwikorita mengungkapkan bahwa BMKG berharap informasi peringatan dini kesiap-siagaan musim kemarau tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif oleh pemerintah pusat dan daerah.

KLIK INI:  Perihal Buncis dan Pengalaman Pertama Memanennya
Karhutla mengintai

Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Aldacena Sopahelhuacan mengatakan, pemantauan  anomali iklim global di Samudera Pasifik menunjukkan indeks ENSO +0,21, artinya masih netral hingga akhir Mei 2024.

Status indeks ENSO telah berada pada level netral selama 20 tahun dan diperkirakan akan tetap berada pada level netral hingga Juni-Juli 2024.

Selain itu, ENSO netral diperkirakan akan cenderung melemah pada bulan Juli-Agustus-September 2024, periode La Niña yang akan berlangsung hingga akhir tahun 2024.

Fenomena La Niña lemah ini diperkirakan tidak akan berdampak pada musim kemarau mendatang.

KLIK INI:  Nur yang Datang Mohon Doa Atas Gempa yang Landa Selayar

Sebaliknya, pengamatan suhu permukaan laut di Samudera Hindia menunjukkan mode Dipol Samudera Hindia yang netral, namun terdapat kecenderungan pergeseran ke mode dipol Samudera Hindia positif.

Melihat fakta tersebut, lanjutnya, wilayah yang diperkirakan curah hujannya sangat rendah, dengan  curah hujan bulanan  kurang dari 50 mm, memerlukan perhatian khusus untuk melakukan mitigasi dan prediksi dampak kekeringan.

Wilayahnya meliputi sebagian besar Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali, Nusa Tenggara, sebagian  Sulawesi, Maluku, dan sebagian provinsi Papua.

Hasil pemantauan titik api satelit menunjukkan bahwa beberapa titik api awal telah muncul di kawasan rawan kebakaran hutan dan lahan (Kalhutla), yang sangat penting untuk memprediksi terjadinya kebakaran pada musim kemarau.

KLIK INI:  BMKG Waspadai Banjir Beberapa Daerah di Sulsel

“Memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki periode pertengahan musim kemarau,” ujarnya.

Tri Handoko Seto, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca mengatakan, untuk mengatasi hal tersebut, BMKG telah memberikan serangkaian rekomendasi teknis yang dapat dilaksanakan sebagai langkah perbaikan dan antisipatif.

Hal ini mencakup penggunaan teknik modifikasi iklim untuk mengisi waduk di wilayah yang rawan kekeringan pada musim kemarau, atau untuk melembabkan permukaan air tanah di wilayah yang rawan kebakaran hutan dan lahan, atau di lahan gambut.

“Agar upaya modifikasi cuaca dalam mitigasi kemungkinan bencana kekeringan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, BMKG berharap  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Pertanian dapat memastikan konektivitas jaringan irigasi dari waduk di daerah terdampak kekeringan sebenarnya cukup banyak,” tegasnya. ***

KLIK INI:  Asap Karhutla Dipastikan Tidak Menyusup ke Malaysia