Oleh-Oleh dari Bincang Literasi Lingkungan di Sudut Kota Kelahiran B.J. Habibie

oleh -72 kali dilihat
Taufik Ismail saat jadi pemantik di Kota Parepare-foto/Azwar Radhif

Klikhijau.com – Malam yang cerah di suatu sudut kota di Parepare, Sulawesi Selatan. Kota kelahiran presiden ke-3 RI: B.J. Habibie.

Lebih tepatnya di salah satu lorong kota yang ramai. Di Sabtu malam yang dingin, sekelompok anak muda berkumpul di satu teras. Teras toko buku Interaksi. Saling menyapa. Bersenda gurau. Pun yang lain bergelut dengan buku. Mencerna kata per kata dari kalimat yang berjejer rapi. Melahap kalimat demi kalimat yang membuat imajinasi mereka melayang-layang tak terkira.

Pecinta-pecinta literasi ini berkumpul memenuhi undangan diskusi. Diskusi seperti malam mingu-malam minggu sebelumnya. Kali ini pemantik diskusinya adalah seorang penulis yang berprofesi sebagai ASN. ASN di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kegemarannya memotret dan menulis cerita penjelajahannya menelusuri hutan membawanya menjadi kontributor di beberapa media.

Karena itu, Azwar Radhif, pemilik toko buku Interaksi, mengundangnya sebagai pembicara di Sabtu, 15 Juni 2024. Azwar pun menjadwalkan diskusi setelah salat Isya.

KLIK INI:  Ketika Masyarakat Parepare Bicara Bank Sampah

Selepas Isya peserta diskusi mulai berdatangan. Panitia kecil juga tampak sibuk menyiapkan arena diskusi. Meramu toko menjadi area lapang berkumpul. Tanpa perintah, para pemuja buku ini membentuk lingkaran bersiap mendengarkan cerita-cerita yang dinanti.

Taufiq Ismail, pemantik diskusi, telah berada di antara mereka.

Saat sesi pembukaan diskusi, peserta yang hadir sekitar sepuluh orang. Seiring berjalan diskusi, beberapa pemuda lainnya pun mulai berdatangan hingga mencapai lebih dari dua puluh orang. Sebagian dari mereka berasal dari komunitas pegiat literasi dan mahasiswa.

Moderator kemudian membuka diskusi. Setelah mengucapkan salam, ia kemudian menyapa peserta. “Selamat datang pada sesi diskusi kita malam ini. Malam ini, Saudara Taufiq akan membawa kita menjelajah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan gambar dan tulisan-tulisannya di media,” sambut Dian, sang moderator.

Taufiq kemudian mengambil alih mic. Pengendali Ekosistem Hutan taman nasional itu menyampaikan materi yang telah ia siapkan. Menyampaikannya melalui proyektor yang telah panitia siapkan.

KLIK INI:  Bukan Kiriman Santet, Ini Sebab Mengapa Kelabang Masuk Rumah!

Mendendangkan sekilas tentang taman nasional dan potensinya. Menyertakan foto-foto satwa yang ia abadikan saat menjelajah hutan. Menjelajah hutan dengan berpatroli  dan memonitoring populasi satwa.

Alumni SLTP Negeri 2 Parepare ini, mencontohkan aktivitas memonitor Tarsius fuscus dan menulis kisahnya. Kisah Tarsius kemudian ia rilis di media, salah satunya di Klikhijau.com.

Ia juga memamerkan beberapa hasil jepretan kupu-kupunya. Mengenalkan betapa kaya kawanan kupu-kupu di Bantimurung dan sekitarnya. “Saat ini, setidaknya 150 spesies kupu-kupu telah teridentifikasi di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,” tambahnya.

Di akhir presentasinya, Taufiq berpesan agar kawula muda mencintai literasi. Terus mengasah ketajaman berpikir dengan banyak membaca. Tak cukup sampai di sana, ia juga menyarankan untuk belajar menulis. Menulis kisah yang dekat kegiatan keseharian.

Ada banyak genre yang bisa digeluti. Fiksi atau non fiksi. Bergantung dari minat masing-masing.

Moderator kemudian memberi kesempatan peserta mengajukan pertanyaan dan pendapat. Memulai sesi diskusi.

Beberapa peserta diskusi tertarik perihal kupu-kupu. Penasaran dengan perannya di alam, penyebab kelimpahan kupu-kupu di Bantimurung hingga upaya konservasi yang telah dilakukan selama ini di taman nasional.

KLIK INI:  Menggali Inspirasi dari Cacing Tanah, Menebar Manfaat dari Kesenyapan

Taufiq kemudian membeberkan jawabannya. Maklum saat menyelesaikan pendidikan magisternya di Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, ia meneliti kupu-kupu di instansi kerjanya. Karena itu peserta cukup puas dengan penjelasannya.

Selepas itu, diskusi tambah memanas. Sekitar pukul 22:00 Wita diskusi dua arah masih terus berlangsung. Sesekali tanya-jawab ini keluar dari tema.

Membahas tentang wisata, dunia arkeologi hingga peraturan yang membolehkan organisasi masyarakat mengelola tambang.

“Bagaimana pendapat Saudara perihal tambang yang membolehkan Ormas terjun di dalamnya?” Begitu Ibrah La Iman, penulis buku “Kappala Luttu”, mulai angkat suara.

Menurut Taufiq, sah-sah saja jika hal tersebut terjadi. Mengingat, kini aturan telah mengizinkannya. Apalagi saat ini tambang di negara kita lebih banyak dikelola asing. “Ini peluang bagi anak bangsa. Pertanyaan sekarang, apakah teknologi dan sumber daya manusia dari Ormas kita sudah mampu mengelolanya?” Sang pemantik menimpali.

Ilham Mustamin, Direktur Sampan Institute, kemudian mulai terpancing. “Saya sependapat dengan Saudara pemateri. Apakah urusan utama ormas sekarang sudah ‘clear’. Sudah selesai mengurusi umatnya. Saya masih kurang yakin dengan kemampuan mereka.”

KLIK INI:  Mencegah Pandemi dan Menghemat Biaya dengan Cara Melindungi Satwa Liar

Berbeda dengan Ibrah, ia mempertahankan pendapatnya. Menurutnya, ormas yang hendak terjun di dunia pengelolaan sumber daya alam ini tentunya akan menyiapkan diri. Termasuk menyiapkan teknologi dan SDM-nya.

“Kita doakan saja dan terus pantau perkembangannya. Mudah-mudahan tidak menjadi pemicu masalah baru di internal organisasi keagamaan ini,” kilah Taufiq.

Tak terasa malam semakin larut. Hingga akhirnya pada pukul 23:00 Wita, moderator kemudian menutup sesi diskusi. Namun sebelumnya menyilahkan pemateri untuk memberi statemen terakhirnya.

“Pesan saya cuma satu untuk kawula muda. Hendak setiap individu memiliki satu kelebihan yang terus diasah, yang pada akhirnya menjadi ahli. Dengan keahlian yang dimiliki menjadi nilai tambah baginya. Dengan begitu ia akan mudah mengungguli kawan sejawatnya jika terjadi persaingan untuk merebut posisi tertentu,” tutup sang pemantik.

KLIK INI:  Dua Kisah Berbeda tentang Satwa Dilindungi dari Yogyakarta