Ketika Akar Tak Lagi Mencengkeram Bumi

oleh -14 kali dilihat
Ilustrasi-foto/Ist
Subhan Riyadi

Hutan tropis Nusantara, permadani hijau yang dahulu ditenun oleh jemari Tuhan, kini sekarat dalam diam yang mencekam….

Di bawah kanopi yang mulai bolong-bolong, suara kehidupan berganti menjadi elegi yang memilukan….

Batang-batang tak berdosa itu bukan sekadar mati karena usia, tetapi mereka dimutilasi secara sistematis oleh ambisi yang tak punya ujung….

Di atas tanah leluhur, di mana setiap jengkalnya adalah nafas, kini habitatnya berubah menjadi kuburan massal bagi keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya….

Tumbang! Suara dentuman itu bukan hanya tanda jatuhnya sebuah kayu, melainkan terpisahnya raga dari sukma hutan….

KLIK INI:  Tak Ada Tanda Tangan yang Sempurna

Ranting-ranting patah yang berserakan di lantai hutan menjadi saksi bisu akan datangnya bencana yang dirancang oleh tangan manusia….

Daun-daun berguguran dengan cara yang paling tragis, bukan karena tarian musim yang alami, melainkan karena kejamnya gerigi mesin yang tak punya nurani….

Pohon-pohon raksasa yang bersemedi ratusan tahun untuk mengokohkan bumi, menjalin komunikasi rahasia antar akar, kini runtuh seketika dalam hitungan menit oleh gergaji besi yang dingin…

Mereka dicabut paksa dari rahim tanah, menyisakan lubang-lubang menganga yang pedih di hati Ibu Pertiwi…

Setiap pohon yang jatuh adalah paru-paru dunia yang berhenti berdetak…

KLIK INI:  Beburung di Matamu

Napas dunia kian sesak, oksigen murni berganti jelaga asap sisa pembakaran lahan…

Hilangnya perlindungan hijau ini seolah mengundang badai untuk datang lebih awal dan memanggil bah yang merusak untuk menerjang pemukiman…

Ketika akar tak lagi mampu mencengkeram bumi, tanah pun kehilangan pegangannya..

Gelondongannya merosot dalam longsor, ia meluap dalam banjir bandang, menghancurkan apa saja yang dilewatinya sebagai bentuk protes alam yang sudah terlalu lama disakiti…

Namun, di kejauhan sana, jauh dari aroma tanah basah dan teriakan satwa yang kehilangan rumah, terdapat kontras yang memuakkan….

Di balik meja-meja kayu mahoni sejenisnya yang dipoles mengkilap, di ruang-ruang berpendingin udara yang kedap suara, bisikan serakah sedang sibuk menghakimi semesta…

Surat-surat izin keluar, tanda tangan dibubuhkan di atas peta hijau yang segera akan berubah menjadi cokelat gersang…

Bagi mereka, hutan hanyalah angka-angka dalam kolom keuntungan. Mereka melihat tegakan pohon sebagai tumpukan uang, bukan sebagai penyangga kehidupan….

KLIK INI:  Meneguk 5 Puisi M Anis Kaba dari Nyanyian Alam

Sementara tuan-tuan berdasi itu duduk manis menghitung laba dari balik jendela kaca yang tinggi, rakyat kecil di pinggiran hutan harus memanen air mata… Mereka adalah orang-orang yang paling pertama merasakan kepedihan saat sungai berubah menjadi lumpur dan sawah-sawah mereka terendam luapan air yang tak lagi tertahan…

Harta benda yang dikumpulkan seumur hidup sirna dalam semalam, tersapu oleh murka alam yang telah kehilangan keseimbangannya…

Mereka terpaksa mengungsi, membawa trauma yang lebih dalam dari liang yang ditinggalkan akar-akar pohon yang mati…

Ke mana perginya kearifan lokal yang dahulu memuja hutan sebagai ibu? Kini, emas hijau itu dijarah tanpa sisa. Burung-burung rangkong kehilangan tempat bersarang, orangutan kebingungan mencari dahan untuk berpijak, dan harimau-harimau terakhir tersingkir hingga ke pemukiman hanya untuk menemui ajal di tangan ketakutan….

KLIK INI:  Sumpah, Ini Hanya Cerpen Sampah

Kita sedang menggali kubur kita sendiri dengan membiarkan akar-akar itu tercerabut. Bumi tanpa akar adalah bumi yang rapuh, dan di atas kerapuhan itu, tidak ada masa depan yang bisa berdiri tegak….

Jika hari ini kita tetap diam melihat hutan dimutilasi, maka besok adalah giliran anak cucu kita yang akan bertanya: “Di mana letak hutan yang dulu katanya memenuhi negeri ini?”

Dan kita hanya bisa menjawab dengan keheningan, sambil memandang tanah kering yang tak lagi mampu memberikan kehidupan…

Luka pertiwi sudah terlampau dalam, dan saatnya kita berhenti menjadi penonton atas pembantaian hijau ini sebelum akar terakhir benar-benar melepaskan cengkeramannya dari bumi….

Makassar, 25 Desember 2025.
(Terinspirasi bencana di Aceh dan Sumatera)