Bagaimana Membuat Suara Alam Terdengar dalam Pengadilan Kebijakan?

oleh -467 kali dilihat
6 Kekayaan Sumber Daya Alam Teratas yang Dibutuhkan Demi Kelangsungan Makhluk Hidup
Ilustrasi-foto/fixabay.com
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Sama seperti manusia, tumbuhan dan hewan juga memiliki hak asasi. Hak dasar yang melekat pada tumbuhan dan hewan sesuai kodratnya. Seperti hak untuk hidup, hak untuk bereproduksi, hak untuk berekspresi, hingga hak untuk membela diri.

Hal-hal seperti ini menjadi sensibilitas di luar manusia yang tak disadari, karena dianggap tidak memiliki status moral. Seperti hak harimau untuk mengaum; hak mawar untuk mekar; hak sungai untuk mengalir; hak batu untuk tetap utuh.

Mari kita ambil satu contoh hak bagi pohon untuk tidak ditebang, dapatkah pohon mempertahankan haknya? Mengapa pula pohon mesti repot-repot harus membela diri?

Secara individu aksi tersebut dilakukan oleh Christoper D. Stone, seorang advokat untuk lingkungan yang  menemukan langkah bagaimana cara membela pohon. Usahanya bermula ketika ia menentang pembabatan hutan yang digunakan oleh suatu golongan untuk pembangunan resort.

Ia tidak setuju jika pohon-pohon di hutan tersebut ditebang. Ia berpikir universal tidak hanya dari segi pohon, tapi juga bagaimana agar suara alam terdengar dalam pengadilan. Baginya, alam dan benda-benda alam seharusnya memiliki haknya sendiri. Stone menjangkau masalah-masalah yang secara moral dan legal menyusahkan.

KLIK INI:  Temuan “Sungai Watch”, Botol Air Minum Paling Banyak Nyampah di Bali

Akhirnya Stone mendapatkan ide menulis sebuah buku berjudul Should Trees Have Standing: Law, Morality, and The Environment yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1974.

Buku ini berkembang di kalangan pergerakan lingkungan. Isu perdebatannya hingga Mahkamah Agung Amerika Serikat dan dijadikan bahan pertimbangan serius bagi para pembuat kebijakan.

Stone memberikan kontribusi yang orisinal bagi gerakan hukum lingkungan. Buku ini secara sederhana mempertanyakan: apakah pohon bisa sampai ke pengadilan untuk mempertahankan hak-haknya dan dengan lantang berbicara, “saya tidak mau ditebang!”?

Terjadilah diskusi panjang terkait pengadilan untuk makhluk non-manusia. Diskusi ini berlansung alot dan menemukan titik temu pohon bisa membela diri lewat “pengampunya” yakni Stone sendiri—di India aksi bela pohon juga dilakukan oleh Gaura Devi tahun 70-an dalam Chipco Movement atau gerakan memeluk pohon.

Keberanian Stone menginspirasi penulis-penulis sejenis untuk menjadi mulut bagi para makhluk non-manusia. Seperti Rachel Carson dalam bukunya Silent Spring (Musim Bunga yang Bisu), Peter Singer dalam bukunya Animal Liberation, Roderick Frazier Nash dalam buku The Rights of Nature, Aldo Leopold dalam buku A Sand County Almanac, Gary Francione dalam buku Animals, Property, and the Law.

Juga penulis pembela hak-hak hewan, tumbuhan, dan lingkungan lainnya. Yang juga menghiruk pikukan paham environmentalisme sebagai gerakan politik akar rumput yang populer sejak dekade 1960-an. Di masa berikutnya berkembang pula etika baru bernama etika lingkungan.

KLIK INI:  Fungsi Mangrove Untuk Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Pesisir

Lalu, mari kita tarik hukum hak asasi hewan dan hak asasi tumbuhan ini terhadap fenomena kerusakan alam yang terjadi di Indonesia. Kita mesthi sadar jika daya lingkungan yang turun lewat pelanggaran hak asasi ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Meskipun, jika pengelolaan kawasan alam dilihat dari segi ekonomi saja, maka tak ada perbaikan serius dalam menangani kerusakan lingkungan. Secara hukum alam, selalu akan terjadi  yang besar seringkali melakukan kooptasi terhadap yang kecil, antara yang kuat pada yang lemah.

Dari Antroposentris ke Ekosentris

Corak antroposentris memandang bahwa manusia merupakan pusat dan penguasa alam semesta. Dalam ekosentrisme, corak ini diganti non-antroposenstrisme. Status manusia sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bergantung pada makhluk selainnya (lingkungan).

Ia harus sejalan dengan kearifan ekologis dengan memberikan sikap hormat terhadap alam (tumbuhan dan hewan). Lebih lanjut ekosentrisme memandang manusia hanya salah satu bagian dari seluruh unsur alam.

Ekosentrisme mejadi sebuah etika yang mengakui nilai instrinsik semua makhluk hidup. Setiap unsur makhluk hidup memiliki kedudukan yang tidak hierarkis atau ter-sub-ordinasi, tapi kesatuan organis yang saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain.

Filsuf Norwegia bernama Arne Naess memperkenalkan istilah “deep ecology” atau ekologi mendalam terkait etika lingkungan tersebut. Memiliki prinsip moral kepedulian terhadap lingkungan dalam seluruh komunitas ekologis.

KLIK INI:  Mengapa Monstera Memiliki Lubang? Jawaban Ini Semoga Memuaskan Anda!

Menurut Naess, etika ini berpendapat bahwa kelangsungan hidup bergantung pada kesejahteraan secara keseluruhan. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaragaman kehiupan kecuali untuk kebutuhan yang vital.

Campur tangan manusia dengan dunia yang bukan manusia sangat berlebihan dan menghasilkan situasi yang memburuk dengan cepat.

Ekologi mendalam rasanya harus mejadi rujukan dalam membentuk kebijakan lingkungan di Indonesia. Sebab itu kebijakan yang mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi dasar harus diubah.

Perubahan dasarnya adalah menghargai kualitas hidup dengan nilai-nilai, daripada sekedar mematuhi standar kehidupan yang semakin tinggi. Dan siapa saja yang menyetujui hal ini harus menerapkannya pada tingkatan praktek. Ini juga sebagai bentuk etika praktis yang diterapkan dalam dunia nyata. Baik melalui perilaku, gaya hidup, dan cara pandang.

Gerakan ekologi mendalam merujuk pada mempertanyakan tujuan dan nilai-nilai kita ketika berdebat dengan konflik lingkungan. Tidak sebatas pada ekologi dangkal yang berhenti sebelum tingkat perubahan dasar.

Gerakan dangkal ini seringkali mempromosikan perbaikan teknologi yang berorientsi konsumsi dan ekonomi industri. Seperti yang terjadi di Freeport untuk pengerukan emasnya, penanaman kelapa sawit di Kalimantan untuk menyumbang pendapatn daerah, efisiensi bahan bakar dalam industri otomotif, atau daur ulang bahan anorganik yang cenderung dipaksakan.

KLIK INI:  Polemik Penghapusan Limbah Batubara dari Kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Mari kita lihat “praktek ekologi” dalam aksi yang dilakukan oleh masyarakat di China dan India. Data dikeluarkan pada 11 Februari 2019 oleh Badan Antariksa AS (NASA) yang mengatakan bahwa planet bumi lebih hijau karena aktivitas reboisasi yang ambisius yang dilakukan oleh China dan India lewat program dan kebijakan pemerintah untuk menanam pohon. Dua negara ini memiliki semangat ambisius menghijaukan bumi. Di China lahan hijau tumbuh lebih dari 10 persen dan di India lebih dari enam persen.

Hasilnya nyata, NASA menyatakan 20% bumi terlihat lebih hijau dibandingan 20 tahun yang lalu. Ini disebabkan karena adanya penanaman pohon di China dan India. Meski di sisi lain China dan India juga menjadi dua negara paling berpoulusi di dunia.

Di negara lain praktik reboisasi juga gencar di lakukan. Di New Zealand semisal, bahkan terdapat peraturan tidak boleh menebang pohon. Itu kenapa di kalender-kalender kita kadang kerap menjumpai pemandangan surga seperti di New Zealand akan betapa indah alamnya. Namun penghijauan ini tak berarti banyak jika deforestasi yang terjdi di Indonesia, Brasil, dan Kongo terus terjadi.

Saya akan mengambil satu isu bersama yang dihadapi dunia terkait hubungannya dengan alam, yaitu perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim bukanlah masalah manusia saja, atau Indonesia saja, tapi juga seluruh penduduk bumi.

Untuk itu, membawa persepektif ekologi mendalam (deep ecology) bisa menjadi alternatif dalam meresponnya. Bagaimana kondisinya di Indonesia? Bagaimana isu ini bisa terdengar hingga ke ranah kebijakan?

KLIK INI:  Wulan Saputri, Perempuan dan Sebuah Pesan dari Gunung
Suara Pasif Perubahan Iklim

Alam sebenarnya telah menulis hidupnya sendiri. Alam bisa menjadi sosok yang sangat radikal ketika memberontak pada manusia. Pemberontakan alam bisa dilakukan dengan banyak cara.

Seperti bahaya climate change sebagai dampak dari pola hidup manusia yang menentang alam. Dampak dari murka alam banyak, dari kekeringan, gagal panen, kelaparan, menipisnya ozon, pencarian es di kutub utara, krisis sumber daya, dan yang bisa kita rasakan sehari-hari suhu di lingkungan kita meningkat.

Otomatis ini akan mempengaruhi kebijakan di suatu negara.  Hingga banyak negara besar di dunia membuat konferensi dan organisasi yang serius untuk membendung krisis ini.

Perubahan iklim memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan dan keberlanjutan negara Indonesia. Di Indonesia, lembaga-lembaga yang membahas dalam isu perubaham iklim juga marak.

Dari yang tarafnya negara hingga Lembaga Swadaya Masyarakat. Salah satunya Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Lembaga ini dibuat untuk memberikan dukungan pelaksanaan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Isu perubahan iklim mendapatkan “suaranya” di Indonesia ketika ICCTF dibentuk pada tanggal 4 September 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional KEP 44/M.PPN/HK/09/2009. Memiliki target tujuan yang bisa dibilang sangat ambisius sebagai sarana developmentalism.

World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia menyebut target capaian dari ICCTF adalah pembangunan ekonomi rendah karbon, peningkatan ketahanan nasional terhadap perubahan iklim, dan meningkatkan efektivitas penanganan perubahan iklim.

KLIK INI:  Kayu Sengon, Andalan Baru Masyarakat Pulang Pisau

Di awal pendirian ICCTF dibuat pula Climate Change Sectoral Roadmap yang menghasilkan sembilan prioritas dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sektor yang dimaksud meliputi energi, pertanian, kesehatan, transportasi, pengolahan limbah, kelautan dan perikanan, sumber daya air, kehutanan, dan industri.

ICCTF mengintegrasikan isu-isu perubaham iklim ke dalam rencana pembangunan. Baik di tingkat regional, provinsi, hingga nasional. Setiap sektor mendapat dana melalui ICCTF.

Lewat lembaga ini, pemerintah berkomitmen mengalokasikan sebagian APBN-nya bagi perubahan iklim. Pemerintah juga menjalin mitra dengan berbagai negara. Tahun 2009 saja, pemerintah lewat data yang dikemukakan oleh otoritas Bappenas, negara Inggris mengalokasikan dana 10 juta pounds untuk ICCTF.

Belum dana yang datang dari mitra  donor lainnya seperti Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), UK Aid, The Danida Environmental Support Programme phase 3 (ESP3) dari Denmark, Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear Safety dari Jerman, United Nations Development Programme (UNDP) milik PBB, hingga para lembaga swasta dan Corporate Social Responbility (CSR).

Dari organisasi ICCTF saja, masyarakat bisa melakukan evaluasi terhadap dampak apa yang telah diberikan mereka untuk publik? Dari segi lingkungan sendiri terutama. Terkait implementasi praktis bagi tanah, air, udara, dan lain-lain.

Sektor yang harus mendapat perhatian lebih adalah para kelompok rentan yang susah membela diri. Baik manusia maupun non-manusia.

Jika pada manusia, mayoritas mereka bekerja di sektor informal seperti petani yang sangat bergantung pada ikilm untuk menentikan hasil panen. Dan nelayan yang sangat menggantungkan iklim dalam hal menangkap ikan demi memenuhi kebutuhan vital. Jika non-manusia, mayoritas lebih ke arah Sumber Daya yang menjadi target kerakusan manusia untuk alam dan kejahatan manusia untuk hewan. Seperti yang termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Menanggapi isu lingkungan lainnya, pemerintah Indonesia seharusnya juga tak sebatas melakukan kebijakan “obligasi hijau”, “penghargaan hijau”,  atau “sayembara proposal hijau”.

Agar isu lingkungan juga tak sebatas menjadi euforia sejenak bagi extreme ecologist, ekologis indie, eco-feminism ngehek di masa post-fordism ini. Di mana sistem produksi, konsumsi, dan fenomena sosial-ekonomilah yang menjadi dominan di kawasan negara industri sejak akhir abad ke-20. Yang mengancam keberlangsungan hidup para proletarnya proletariat.

KLIK INI:  Sisi Lain, Covid-19 Mengajak Kita Lebih Mencintai Bumi