Klikhijau.com – Setiap tahun, ratusan ribu lembar kertas dikorbankan dalam satu ritual akademik yang begitu sakral. Semua dicetak rapi, huruf demi huruf menari di atas lembar putih, namun hanya di satu sisi. Sisi lainnya dibiarkan bersih seolah tabu untuk disentuh, seperti halaman suci yang tak pantas ternoda tinta.
Di tahun 2023, dunia maya sempat dibuat riuh oleh unggahan seorang mahasiswa yang memotret tumpukan skripsi bekas di sebuah kampus negeri. Bertumpuk tak karuan, berdebu, menguning, dan siap dilempar ke tempat sampah. Simbol perjuangan akademik itu berubah jadi limbah. Bukan hanya limbah emosional, tapi juga limbah lingkungan.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), Indonesia memproduksi sekitar 35,83 juta ton sampah pada 2022. Sekitar 12% di antaranya adalah limbah kertas, atau setara dengan 4,3 juta ton.
Dalam dunia pendidikan yang mengklaim diri sebagai pelopor perubahan dan kemajuan, hal-hal kecil seperti ini justru sering luput dari perhatian. Padahal, keputusan sederhana untuk mencetak bolak-balik bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar bagi lingkungan. Tapi tampaknya, bagi sebagian besar institusi akademik, menyelamatkan pohon bukanlah prioritas jika harus mengorbankan “estetika skripsi.”
Industri pulp dan kertas ternyata bukan pemain kecil dalam urusan perusakan alam. World Wildlife Fund (2021) menyebut bahwa hampir separuh atau sekitar 42 persen dari seluruh penebangan hutan industri global digunakan untuk memproduksi kertas. Sebagian besar kertas itu kemudian digunakan satu kali saja sebelum berakhir di tempat sampah atau gudang tua yang tak terjamah.
Begini faktanya!
Kampus-kampus yang gemar memajang label “Green Campus” justru menjadi produsen limbah kertas yang tangguh. Proposal penelitian, laporan magang, tugas akhir, dan tentu saja skripsi, semua diwajibkan dalam bentuk fisik. Bahkan beberapa fakultas dengan bangga meminta tiga hingga lima rangkap salinan, seakan-akan mereka sedang mempersiapkan cetakan ulang untuk penerbit besar. Padahal setelah disidangkan, naskah-naskah itu tak lebih dari arsip pasif yang diletakkan rapi di rak, menunggu dilupakan.
Jika satu mahasiswa saja mencetak 300 lembar untuk satu skripsi, maka satu universitas dengan 10.000 lulusan setahun menghasilkan sekitar 3 juta lembar kertas, atau setara dengan 300 pohon ditebang hanya untuk satu tahun ajaran. Dan itu belum termasuk fotokopi, draft revisi, dan laporan lain yang bertebaran seperti serbuk di ruang tata usaha. Ketika satu printer bekerja keras di ruang skripsi, di tempat lain ada hutan yang pelan-pelan kehilangan kanopinya.
Di sisi lain, berbagai laporan salah satunya Global Education Monitoring Report (2023) menunjukkan bahwa digitalisasi pendidikan berpotensi signifikan dalam menekan penggunaan kertas, meskipun besarannya bervariasi tergantung pada implementasi dan kebijakan masing-masing institusi. Namun hingga saat ini, sebaigan besar institusi pendidikan masih terjebak dalam romantisme fisik.
Dokumen digital dianggap tidak sahih jika tidak bisa disentuh, dicium aroma tintanya, atau dibubuhi tanda tangan basah. Rasionalitas akademik yang katanya objektif, mendadak tunduk pada fetish dokumen fisik.
Sementara itu, suhu global terus naik, cadangan air bersih menyusut, dan ruang hidup flora-fauna makin menyempit. Tapi halaman kosong dalam naskah akademik tetap dibiarkan menganggur. Tidak ada kebijakan cetak dua sisi. Tidak ada imbauan untuk menggunakan kertas daur ulang. Tidak ada insentif bagi mahasiswa yang mencoba berpikir praktis dan ramah lingkungan. Yang ada hanya aturan kaku dan format formal yang dilestarikan tanpa pernah dipertanyakan.
Kertas-kertas itu, setelah selesai menjalankan tugasnya sebagai alat legitimasi akademik, sering kali berakhir di pengepul barang bekas. Harganya tidak lebih dari seribu lima ratus rupiah per kilogram. Bahkan, dalam pengelolaan limbah, kertas akademik sulit didaur ulang karena banyak mengandung tinta, lem, dan plastik dari sampul.
Begitu banyak seminar diadakan untuk membicarakan perubahan iklim. Begitu banyak artikel dipublikasikan untuk menyuarakan kepedulian pada lingkungan. Tapi langkah sekecil mencetak bolak-balik tetap dianggap terlalu revolusioner. Seolah menyentuh sisi belakang kertas adalah pelanggaran terhadap adat istiadat akademik yang suci.
Halaman-halaman kosong itu pun terus tercipta. Dalam ribuan jilid skripsi, proposal, dan laporan yang katanya penting, tapi sebenarnya hanya simbol bahwa kita masih lebih peduli pada format dokumen daripada nasib planet ini.
Dan seperti biasa, sisi kosong itu tetap diam. Tak pernah dipakai. Tak pernah dibela. Ia hanya jadi bukti lain bahwa dalam dunia yang katanya berpendidikan, logika keberlanjutan masih harus berjuang keras melawan kekuasaan margin dan spasi.
Oh my god!