Klikhijau.com – Project menulis bersama yang dilaksanakaan Yayasan Makassar Biennale dengan tema “Sekapur Sirih” berlangsung di 2020 lalu melahirkan sebuah buku berjudul “Ramuan di Segitiga Wallacea”. Buku ini membahas mengenai siasat pengobatan warga Selat Makassar, Laut Flores, Hingga Teluk Cendrawasih.
Buku tersebut terdiri dari 15 tulisan dari berbagai daerah di Indonesia Timur, seperti Toraja, Makassar, Pangkep, Nabire, Labuan Bajo, Pare-pare dan Bulukumba. Beberapa tabib bahkan meyakini dari hasil ramuan tumbuhan liar di sekitar kita dapat menangkal covid 19.
Misalnya “Pohon tina” (nama dalam bahasa setempat) dari Toraja yang daunnya menjadi salah satu bahan ramuan yang dimasak hingga mendidih dan diminum dapat menangkal covid 19. Manfaat dari “Pohon Tina” dapat menyembuhkkan tumor, kista, maag, perut kembung , bisul, sakit kepala dan batuk-batuk. Caranya, memetik daun setengah tua dalam jumlah ganjil, disarankan direbus dalam belanga tanah liat, merebus dengan seliter air hingga menyusut ¾ , disarankan diminum saat hangat.
Ada juga tabib dari pegunungan Kahayya Bulukumba yang meyakini hasil fermentasi nira aren selama bertahun-tahun bisa meningkatkan imunitas orang yang mengkomsumsinya. Sanro (penyebutan tabib oleh masyarakat setempat) tersebut seorang lelaki yang juga dikenal sering membantu persalinan masyarakat khususnya sebelum bidan desa ada. Namun hingga saat penulis mengunjunginya, dia masih dilibatkan dalam membantu kerja bidan desa.
Upaya membantu pemudahan persalinan dibuktikan pada istrinya sendiri yang melahirkan 12 anak dengan persalinan normal di rumah saja. Sang tabib memberikan ramuan minuman dari tanaman yang dipetiknya sendiri. Tanaman tersebut tumbuh liar di sekitar rumahnya seperti bunga basah, bandotan, dan beberapa jenis gulma lainnya. Obat dianggap akan mujarab dengan jampi-jampi.
Di Nabire, ada “Naba Rure” yang dikenal dengan daun pemaanggil darah. Daun tersebut berasal dari tanaman Wuru yang banyak ditemui di sekitar pesisir pantai. Digunakan untuk pengobatan TB Paru-paru, batuk, sesak nafas, radang amandel, demam, muntah darah, radang usus, bisul, dan lain-lain. Namun umumnya juga dibuka metode pengobatan dengan mematuk-matuk daun dengan liidah hingga keluar darah yang dianggap darah kotor. Waru mengandung saponin, flavonoid, polifenol , tanin, dan lainnya.
Daun Waru atau Hibiscus Tiliaceus kerap dijadikan obat penyakit mistis oleh Suku Yerisiam. Pengobatannya dengan cara direbus lalu air rebusan yang telah didinginkan digunakan menyiram pasien.
Ada juga daun wituye yang sering dijadikan obat oleh Suku Mee, dari pegunungan tengah Papua. Daun gatal atau Laportea Aestuans itu tumbuh subur tak hanya di wilayah pegunungan. Masyarakat menjadikan obat malaria dan sakit tulang.
Daun wituye bisa juga dijadikan obat untuk pereda pegal-pegal seperti sendi otot, salah urat, kesemutan dan meningkatkan semangat ketika tubuh butuh refleksi. Caranya dengan cara menempelkan daun pada tubuh. Bisa juga dengan menjadikan daun sebagai alas tidur.
Selain itu, ada juga daun bertumpuk yang disebut juga daun san atau akadapi boo. Akadapi berarti bertumpuk dan boo berarti rumput, jika disatukan berarti rumput yang bertumbuk. Tumbuhan tersebut dalam Bahasa Indonesia disebut Urang-aring yang dijadikan obat batuk, baik jenis batuk kering maupun batuk basah.
Di Manggarai ada Rampapake, tumbuhan sejenis bunga yang sering dijumpai di hutan tapi juga bisa ditanam sendiri. Daunnya dipercaya dapat mengobatii bekas luka dan juga untuk luka dalam perempuan, pasca melahirkan.
Penggunaannya dengan menumbuk daun bersama beras yang telah direndam lalu dikeringkan. Setelah pengeringan, ditumbuk kembali dan ditapis untuk mendapatkan serbuknya. Dilarutkan ke dalam air hangat dan diminum. Penggunaan rutin dapat jangka waktu yang panjang juga dapat mengobati ginjal.
Dalam bahasa Manggarai rempa berarti cakar sedangkan pake berarti katak. Bentuk daun dianggap mirip dengan jari katak. Konon memilikii kandongan penisilin yang sering digunakan sebagai anti biotik yang mengobati berbagai masalah infeksi bakteri .
Di Bulukumba juga sejumlah tabib menggunakan rumput liar ataupun tanaman yang mudah dijumpai untuk pengobatan. Tanaman tersebut ada lantana camara, angguni, kelor, jarak, kacang kratok, bawang merah, bandotan, kopasanda, dan lainnya.
Di Makassar, warga yang memiliki kitab herbal keluarga yang dimiliki secara turun temurun. Berbagai tumbuhan untuk bahan obat ditanam di pekarangannya, seperti sereh, cocor bebek, bawang dayak, jahe, binahong, dan beberapa tumbuhan lainnya. Dulu orang menyebut pengobatan tradisional dengan pengobatan kampung karena bahannya mudah dijumpai.