Prahara Hukum UU Cipta Kerja, KEPAL Tantang MK Segera Lakukan Uji Materil

oleh -57 kali dilihat
Membela Hak Petani, Nelayan dan Masyarakat Adat, KEPAL Ajukan Uji Materil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (Foto: Ist)

Klikhijau.com – Sebuah pertarungan hukum yang gigih sedang berlangsung. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) yang diwakili oleh 13 lembaga dan satu individu, koalisi beberapa organisasi advokasi, kembali menantang mengajukan uji materil terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan terbaru ini berfokus pada apa yang KEPAL yakini sebagai pelanggaran terhadap hak-hak fundamental petani, nelayan, dan masyarakat adat.

Sejak 2020, KEPAL telah menjadi garda terdepan dalam serangkaian upaya hukum untuk mengawal dan menguji UU Cipta Kerja. Mereka memulai dengan mengajukan uji formil terhadap UU tersebut, sebuah langkah yang menyoroti dugaan kecacatan prosedur dalam pembentukannya.

KLIK INI:  Sekolah Adat sebagai Gerakan Pelestarian Sistem Pendidikan Adat

Setelah MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut dan memerintahkan perbaikan, KEPAL tak berhenti. Mereka terus memantau implementasi putusan MK, dan bahkan kembali mengajukan uji formil terhadap UU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang kemudian disahkan menjadi UU.

Kini, KEPAL melangkah lebih jauh. Gugatan terbaru mereka adalah uji materiil terhadap UU yang sama. KEPAL berargumen bahwa UU ini bertentangan secara mendasar dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Mereka mengklaim bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja tidak hanya merugikan, tetapi juga secara langsung melanggar hak-hak konstitusional masyarakat, terutama bagi kelompok yang rentan seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat.

Uji materiil ini berupaya membatalkan substansi atau isi dari UU Cipta Kerja, bukan hanya prosedurnya. Ini adalah pertempuran yang lebih mendalam, di mana KEPAL berjuang untuk memastikan bahwa hukum yang dibuat tidak mengikis fondasi keadilan sosial dan perlindungan hak-hak masyarakat yang seharusnya dijamin oleh konstitusi.

KLIK INI:  Katilaopro, Pakan Andalan Anoa yang Meresahkan Petani

Akankah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mereka kali ini? Keputusan MK nantinya akan sangat menentukan, tidak hanya nasib UU Cipta Kerja, tetapi juga masa depan perlindungan hak-hak dasar bagi jutaan petani, nelayan, dan masyarakat adat di Indonesia.

Substansi yang diuji dalam pengujian materiil ini adalah sejumlah pasal yang menimbulkan permasalahan konstitusional pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perbenihan, impor pangan dan komoditas pertanian, penanaman modal asing di hortikultura, hak rakyat atas air, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, proyek strategis nasional dan bank tanah.

Dalam konteks hak nelayan dan masyarakat pesisir, terjadi perubahan dari perlindungan hak masyarakat lokal dan tradisional atas perairan pesisir untuk pemenuhan hidup sehari-hari menjadi fasilitasi perizinan usaha pemanfaatan laut.

Dari sisi petani, varietas hasil pemuliaan petani peredarannya harus dengan izin pemerintah, dan sanksi administratif terhadap masyarakat di dalam dan/atau di kawasan hutan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena masyarakat yang seharusnya dikecualikan dari sanksi justru berpotensi terkena sanksi akibat adanya persyaratan dalam pengecualiannya.

Ketiadaan pembatasan modal asing di hortikultura dan Impor pangan serta impor komoditas pertanian menjadi sumber ketersediaan pangan, sangat merugikan petani mengancam kedaulatan pangan. Perubahan hak menjadi izin usaha juga terjadi dalam hak rakyat atas air.

KLIK INI:  KLHK Kembali Amankan 38 Kontainer Kayu Ilegal Asal Kepulauan Aru

Pembentukan Badan Bank Tanah dinilai tumpang tindih dengan kewenangan kementerian/lembaga terkait, berpotensi melemahkan reforma agraria. Selain itu, UUCK juga berdampak pada pertanian dan pangan.

Penghilangan pembatasan impor komoditas pertanian yang kemudian menempatkan impor setara dengan produksi dalam negeri, sangat merugikan petani lokal. Juga penghilangan pembatasan kepemilikan modal asing akan sangat mengancam kedaulatan pangan.

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), menegaskan bahwa UU Cipta Kerja menempatkan rakyat sebagai korban dari politik hukum yang hanya berpihak pada modal besar.

“Dengan dalih investasi, negara justru mengorbankan hak konstitusional petani, nelayan, dan masyarakat adat. Uji materiil ini adalah langkah penting untuk mengembalikan arah pembangunan agar berkeadilan sosial dan ekologis,” ujarnya

“IGJ sebagai salah satu Pemohon dalam Uji Materil ini menegaskan bahwa perjuangan di Mahkamah Konstitusi RI dalam melakukan uji materil ini bukan hanya soal legal formal, tetapi juga upaya kolektif membela hak rakyat kecil dan memastikan bahwa sumber daya alam dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi, tambah Maulana,” sambungnya.

KLIK INI:  Proyek Strategis Nasional Ancam Wilayah Pesisir

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menambahkan, Politik hukum di balik UU Cipta Kerja bertujuan untuk mengurangi hambatan regulasi (seperti hyper-regulation dan inefisiensi birokrasi) guna menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, sehingga mendorong peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja.

“Hal ini disampaikan saat Rapat Paripurna DPR RI pada 21 Maret 2023 lalu. UUCK telah menciptakan ketidakpastian hukum dan membahayakan bagi kelompok rentan, dan semakin melebarkan ketimpangan penguasaan dengan memberikan sanksi administratif kepada masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan, tanpa memberikan perlindungan yang jelas, walaupun masyarakat sudah turun temurun disitu seperti masyarakat hukum adat. Terlebih tren kenaikan konflik agraria di perkebunan sawit terus mengalami kenaikan, data kami hingga 2024 mencapai 385 perusahaan sawit melibatkan 1126 komunitas,” jelas Surambo.

Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, yang menyatakan bahwa Judicial Review (JR) ini adalah salah satu upaya kolektif yang dilakukan dalam memperjuangkan hak konstitusional masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

“UU Cipta Kerja saat ini secara normatif mengandung banyak persoalan sehingga justru melanggar hak-hak konstitusional masyarakat pesisir sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU 27/2007 serta Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010,” tagasnya

Susan menegaskan bahwa salah satu pasal yang diuji adalah Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja.

“Pasal ini mengatur kewajiban Pemerintah Pusat dalam memfasilitasi ”Perizinan Berusaha” terkait pemanfaatan di laut bagi Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional. Padahal, pemanfaatan di laut Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional bukanlah pemberian dalam bentuk izin, tetapi harus dimaknai sebagai hak yang harus dijamin dan dilindungi oleh pemerintah,” jelasnya.

Lebih jauh, Susan mengemukakan, Perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut ini adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam bentuk baru (neo-HP3) yang justru pada tahun 2010 telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010. Akan tetapi konsep HP3 kembali dihidupkan melalui perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja yang menjadi melegalkan privatisasi wilayah pesisir dan laut serta menjadi pintu masuk  proyek  ekstraktif  dan  eksploitatif  di  pesisir  dan  pulau-pulau  kecil.

KLIK INI:  Bukit Baruga dan Mimpi Kota tanpa Sampah

Pengajuan uji materiil ini tidak dapat dipandang hanya sebagai prosedur hukum, melainkan harus dimaknai sebagai sebuah perjuangan politik-hukum yang fundamental demi menjaga martabat konstitusi sekaligus melindungi hak-hak dasar warga negara. KEPAL berharap agar Mahkamah Konstitusi dapat melihat duduk persoalan dengan nyata serta mengabulkan permohonan ini dengan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, demi menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.

Sekadar diketahui 13 lembaga yang menjadi pemohon JR ini diantaranya, Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria, Yayasan Bina Desa, Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (Jamtani), Indonesia for Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch (SW), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Organis Indonesia (AOI), The Institute for Ecosoc Rights dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).