Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

oleh -76 kali dilihat
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara
Ilustrasi - Foto: Unsplash
Rifqi Septian Dewantara
Latest posts by Rifqi Septian Dewantara (see all)

(1)

Kita, Seperti Musim Yang Labil

Langit di kepalaku telah lapang dan benar-benar abu, ketika puisi menyentuh banyak raga tetapi tidak raga kau.

Di tengah jalan aku adalah puluhan cahaya. Yang entah itu pagi, siang, sore, malam atau bagian hari-hari lain kau. Memeluk tubuhku, mendekap rindu kau.

Di persimpangan jalan kau adalah titik-titik kehidupan. Yang mendiami tubuh lesuhku. Menjadikannya begitu berani keluar dari pikiranku. Melepas jauh dari kematian kata.

Dan perpisahan adalah hal paling tidak menarik dari sebuah perjumpaan. Seperti penghujan kepada kemarau ataupun sebaliknya.

Seorang peramal cuaca mengatakan akan terjadi musim penghujan di wajahku. Tetapi setelah semua dibaca dan diramalkan, yang ada hanya kemarau panjang yang kering di tubuh puisi ini.

Kehidupan mulai kembali ketika kau belum juga kembali. Seperti musim yang berubah-ubah, mungkin kau dan aku diceritakan selokal itu. Dingin, panas, mendung, terik dan banyaklah macam bentuknya.

2024

 

(2)

Rona

Mentari terik dalam warna keemasan, tatkala suhu memanas di bawah sana yang berselindung siur jalanan.

Tidak seperti di sini, sejuk dalam permadani bunga-bunga dengan pelbagai rentetan taman yang mengguyurkan cambang dan berkali-kali menghela nafas.

Kota dengan segala kepentingan akan luruh dalam pengisbatan ketenangan. Karena, di saat yang bersamaan, beban hidup akan lepas oleh sekeliling pemandangan.

Oleh sebab rona-Mu lah kami mengikuti cahaya muka ini.  Lalu menerpa wajah-wajah manusia dengan pembawaan hati yang gembira.

Oleh sebab aura-Mu lah kami memancarkan kebajikan-kebajikan. sehingga manusia-manusia hari ini tidak dapat berkegiatan di bawah subversinya.

Yang nantinya kita akan tahu, berikhtiar kah kita dalam memaknai kehidupan?

2024

 

(3)

Putus!

putus! kau sayat akar-akar, putus!
putus! kau gorok lidah daun, putus!
putus! kau potong lengan batang, putus!

kau, kau bakar tanah tubuhku, rakus
kau, kau lumat panas udara ini, kultus

terpupus; mereka kenang aku dalam tulisan
terbungkus; mereka bakar aku dalam barisan

semua berladung mengerlip mata
semua tertegun di peraduan babad

semua hangus sudah
menjadi kenangan
semua pupus sudah
mencium bau kenanga

lagi kubawa serbuk-serbuk
ditabur keindahan
lagi kubawa seruas pupuk
tanam kebahagiaan

putus! putus! lagi kau terbakar kemudian hari!
pupus! hangus! rakus!

2024

 

(4)

Tanjung Jumlai

Terik di atas dahaga
Bulir-bulir keringat berkeluaran di wajahku
Teringat geladak kapal terkubur pasir

bersama karang-kerang di tepi pantai mendesir

Berdiri sendiri; aku. Lalu kembali menatap masa depan.
Sabut-sabut kelapa menumpuk; membentuk saung. Kemudian aku duduk sebentar mencelup haus. Air laut kembali dingin mengusap telingaku. Mengalir semua yang berjalan..

Setelah merasa di kejauhan, aku berjanji takkan menoleh ke belakang. Perlahan menghapus kerat-kenangan. Hingga berpikir mengutarakan ke selatan.

Kemudian, semua alam membidik peri nan sepi. Dari pukul sembilan, seseorang duduk menepi; melepas langkahnya, di tapal kaki-kakinya menghapus riwayatnya sendiri. Ketidaksengajaannya pada harapan telah mengungsi. Di pundaknya, lelah  berkesudahan menanggung sedih.

Aku yang kembali berjalan
Seseorang yang duduk menepi
Biarlah kami membelenggu di tempat ini..

2024

(5)

Menyusul Kariangau

6 kilometer tiba di Pelabuhan Feri, lambung kapal duduk sila, kendaraan mengisi. Menghenti selancar berita, menyimak kemuning pagi.

Jam menunjuk orang sibuk bergantian. Kerah kemeja berpapas wewangian. Layar ponsel berdering-getar diabaikan, bakau menghijau dikawanan bekantan.

Ada yang memotret, ada yang menavigasi; Ada yang meneropong, ada yang menyepi. Kami membuka dunia dari kabar seorang penjelajah—bertukar cerita, berharap nasib.

Sambil sebentar menyelinap, bertelimpuh kudapan, membeli makanan; menampung perjalanan. Tangan merogoh kantong dari uang kembalian, untuk memberi hasil dan bersandar di masa depan.

2024

Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur Mei 1998. Karya-karyanya pernah tersebar di berbagai media online dan buku antologi bersama seperti Media Indonesia, BeritaSatu, Suara Merdeka, Borobudur Writers & Cultural Festival, Bali Politika, dll. Kini, bergiat dan berkarya di Kota Balikpapan. Bisa disapa melalui Instagram: @rifqiseptiandewantara

KLIK INI:  Wanita dalam Cangkang