Pohon Kina, Penyembuh Malaria yang Sedang Viral, Apakah Juga Corona?

oleh -595 kali dilihat
Pohon kina
Pohon Kina-Foto/Ekogeo
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Kina merupakan sebuah tanaman perdu besar serta pohon kecil yang memiliki 25 spesies dari famili Rubiaceae dan berasal dari Pegunungan Andes, Amerika Selatan.

Bagian terpenting dari kina adalah kulit dari batang, dan di dalam dunia pasar jenis kina yang diperdagangkan dan ramai-ramai disebut “kina” terutama jenis Cinchona ledgeriana.

Kulit ini baru bisa dipanen setelah 6-12 tahun dengan cara menebang pohon. Dari kulit batang kina terkandung senyawa alkanoid yang sering dikenal dengan nama kuinina penawar demam untuk pengobatan malaria.

Semenjak virus corona (covid-19) menyebar, popularitas kina yang meredup semakin melambung karena diklaim bisa menyembuhkan virus penyakit yang berasal dari Wuhan, Tiongkok tersebut.

KLIK INI:  Mengesankan, 6 Tanaman Herbal Ini Mengandung Antivirus yang Kuat
Fakta tentang pohon kina

Salah satu pernyataan terlontar dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ketika dirinya mengisi acara Mata Najwa yang juga diunggah pada akun YouTube Najwa Shihab, pada Kamis, 12 Maret 2020.

Laki-laki yang kerap disapa Emil itu menyatakan menurut National Health Institute Amerika Serikat, sebanyak 100 pasien corona di Tiongkok sembuh setelah mengkonsumsi obat-obatan yang berasal dari tanaman pohon kina.

Kabar baik ini membuat Emil sampai menugaskan pihak universitas untuk melakukan studi lebih lanjut. Terutama terkait riset empiris kandungan klorokuin fosfat yang terkandung dalam tumbuhan herbal kina.

Media Indonesia dalam tulisan “Kina, Tanaman Obat Penyembuh Korona Diabaikan” menyebut budidaya kina dari tahun ke tahun semakin menyusut bahkan cenderung merosot karena berkurangnya produktivitas pohon.

KLIK INI:  Benarkah Herbal dan Rempah-Rempah Tradisional dapat Menangkal Corona?

Perkebunan kina terbesar yang masih tersisa di Indonesia hanya berada di Kawasan Bukit Unggul, Kabupaten Bandung. Kebun tersebut cukup tua, di mana pabrik pengelolaan kulit kina telah beroperasi sejak 1927, memiliki luas lahan 708 hektare dan dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Pengelolaan yang kurang tepat karena kina hanya diambil kulitnya saja juga menimbulkan masalah. Selain bisa menyakiti pohon karena teknik tebang yang salah, pengetahuan yang minim akan fungsi pohon kina berikut bagian-bagiannya secara keseluruhan membuat popularitas kina semakin menurun.

Status pohon kina bagi PTPN VIII saat ini juga hanya sebatas dijadikan “tanaman penunjang”. Produksinya tentu lebih rendah dibandingkan dengan komoditas tanaman utama seperti teh, karet, dan sawit.

Selain itu, lambatnya pohon kina dalam menghasilkan laba juga membuat tanaman satu ini kurang menarik secara ekonomi. Butuh waktu yang lumayan lama agar pohon kina bisa dipanen untuk meraup untung.

Setidaknya harus menunggu waktu paling tidak enam tahun untuk mendapatkan hasil dari apa yang ditanamnya. Di tengah zaman yang menuntut serba cepat, ini menjadi polemik tersendiri. Ibarat seleksi alam, pohon kina perlahan tersingkir dari komoditas.

KLIK INI:  Mengapa Masih Ada Sampah Plastik di Antara Kita?
Komoditas Unggulan di Zaman Hindia-Belanda

Pada zaman Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, kina menjadi salah satu komoditas penting yang dimonopoli keberadaannya karena beberapa hal. Pertama memiliki nilai ekonomis yang tinggi bagi orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia, di mana orang-orang ini sangat rentan terkena malaria karena hidup di daerah tropis.

Kedua, kina memiliki segudang manfaat, selain obat, kina bisa digunakan untuk pembuatan kosmetik. Ketiga, perdagangan kina yang laris melahirkan berbagai perkumpulan untuk menguasai, dibuktikan dengan lahirnya perkumpulan pengusaha kina seperti Serikat Produsen Kina dan Bandoengsche Kinifabriek.

Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Luthfi dalam skripsinya berjudul “Aklimatisasi Monopoli Kina di Hindia-Belanda Tahun 1850-an Hingga Tahun 1940-an” (UGM, 2019). Luthfi menulis jika pemerintah Belanda bahkan membuat bermacam kebijakan untuk memonopoli kina.

Usaha-usaha tersebut terdiri dari: gencarnya penelitian terkait kina, pencarian bibit-bibit kina, perluasan wilayah untuk penanaman kina, hingga aklimitisasi kina. Aklimatisasi sendiri murupakan penyesuaian tanaman akan dengan iklim, kondisi, dan lingkungan suatu tertentu. Pada periode 1939-1948, dibuat pula Perjanjian Kina.

Tentu yang terjadi pada zama Hindia-Belanda berkebalikkan dengan apa yang terjadi pada masa sekarang—melihat kondisi yang ada di kawasan Bukit Unggul. Selama ini, masyarakat sebagian besar memandang bahwa kina hanya berfungsi sebagai obat untuk malaria.

KLIK INI:  Misteri Lukisan Tapak Tangan di Gua Prasejarah Pattunuang
Kandungannya

Padahal di lapangan, kandungan zat alkaloid yang dihasilkan kuinidin pada kina dimanfaatkan pula untuk kesehatan jantung. Hal ini sudah dilakukan sejak akhir abad ke-17. Kina juga bermanfaat untuk mengobati masalah pencernaan karena merangsang produksi enzim yang dibutuhkan saluran pencernaan.

Selain itu kina juga bisa digunakan untuk membuat soda hingga kosmetik.

Mengenai adanya persepsi sementara bahwa pohon kina berpotensi dapat dijadikan obat untuk Covid-19, tentu membutuhkan penelitian lanjutan. Hal ini penting untuk mengetahui manfaat kina secara lebih komprehensif terutama dalam menyembuhkan corona.

Tak kalah penting adalah terkait dengan produktivitas kina yang bisa dibudidayakan secara lebih alternatif. Semisal dengan bioreakor skala besar dengan kultur in vitro atau bentuk teknologi lain yang mendukung.

KLIK INI:  Waspada Kolestrol Usai Lebaran, Rebusan Daun Bidara Boleh Dicoba!