Perspektif Alam dalam Novel Ayu Utami: Apakah Keindahan Perlu Dinamai?

oleh -385 kali dilihat
Perspektif Alam dalam Novel Ayu Utami Apakah Keindahan Perlu Dinamai
Ilustrasi - Foto/Tron Le on Unsplash

Klikhijau.com – Tidak asing lagi kita mendengar kata “keindahan alam” dalam keseharian. Keindahan alam adalah fasilitas bumi yang menjadi objek pandangan mata yang tidak mampu terukur.

Keindahan alam adalah berkah istimewa yang tersedua di alam semesta. Keindahan itu ada di sekitar kita bahkan di wilayah yang jauh dari jangkauan. Kini, sosial media memudahkan kita untuk melihat panorama alam dari belahan dunia manapun, melalui foto dan video.

Novel atau karya sastra juga amat terinspirasi dengan keindahan alam. Sastra menyajikan narasi yang juga terinspirasi dari alam. Karya sastrawan Ayu Utami misalnya beberapa sangat erat dengan alam antara lain Zaman: 1998, Manjali: 2010, Bilangan FU: 2008.

Simak saja narasi berikut:

“Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak tahu namanya atau umurnya. Aroma kayu , dingin batu, bau perdu dan jamur- jamur adakah mereka bernama, atau berumur?” (Zaman: 1)

“Di taman ini hewan hanya bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan perlu dinamai?” (Zaman: 2)

“ Buah pohon itu menggelantung, merah dan bening, meneteskan manis yang tak habis- habis, yang ketika jatuh di tanah, menumbuhkan lumut yang harus dan batu- batu krisopras. Lalu perempuan itu menjilat- jilat. Ia berusaha mengigit, tetapi tangannya terikat. Lelaki itu menjadi marah, “itu buah terlarang!” (Zaman: 196-197)

Dari  narasi-narasi  Novel (Zaman: 1998) Ayu Utami tersebut menyimpan banyak diksi mengenai keindahan alam. Walau diksinya cukup menggiurkan, mungin agak susah dipahami oleh pembaca. Namun, di situlah keunikan dan tantangannya bagi penulis untuk membuat pembaca lebih penasaran untuk lebih menggali akan keindahan alam yang disinggung dalam bentuk narasi.

KLIK INI:  Yang Berjalan ke Ujung Lorong

Ciri keindahan dalam novel (Zaman, 1998) lebih mengarah kepada flora dan fauna dimana gaya penceritaan dalam narasi tersebut menyimpan narasi tentang tumbuhan dan hewan yang merupakan cakupan akan keindahan alam itu sendiri.

Pada novelnya berjudul “Bilangan FU”, Ayu lebih mengkritik keindahan alam dan juga gaya penceritaan yang disajikan lebih mengarah pada tokoh dalam novel seperti yang berperan aktif dalam dunia alam (Pemanjat tebing) yaitu Parang jati dan Sandi Yuda.

Sebagai mahasiswa geologi, Parang Jati senang menempatkan mitos dalam koordinat ilmu bumi. Ia juga menyimpan informasi geologi yang menunjukkan kepurbaan sumbernya, seperti pengetahuan terhadap jenis batuan.

Sedangkan, masyarakat adat biasanya tidak berburu atau menebang pohon secara berlebihan dan biasanya ‘permisi’ sebelum masuk hutan.

Dari kondisi alam dalam penceritaan novel ini mengkritik bahwa “Eksploitasi yang dilakukan menunjukkan bahwa manusia hanya memandang dunia dari sudut kepentingan ekonomi, dari sudut kepentingan dirinya belaka.” Narasi- Narasi tersebut dapat dibaca sebagai berikut:

KLIK INI:  Ekofenomenologi, Tentang Relasi Apik Antara Manusia dan Alam

Inilah pengertian pemanjatan bersih yang kukenal: tidak menggunakan alat bantu untuk menambah ketinggian. Lawannya adalah pemanjatan artifisial. Yaitu, memakai peralatan untuk sesekali menderek badan ke atas. Keduanya mengizinkan manusia mengebor tebing. Yang pertama hanya untuk pengaman. Yang kedua, boleh untuk mengatrol.(Bilangan Fu: 71)

“Tapi pemanjatan bersih yang dimaksud si mata bidadari itu agaknya lebih mirip pemanjatan suci. Di dalamnya orang tak boleh melukai tebing. Peralatan yang digunakan hanyalah yang tidak bersikap sewenang-wenang pada alam. Tanggalkanlah bor, piton, paku maupun pasak. Bawalah di sabuk kekangmu pengaman perangko, penahan sisip, dan pegas. Juga tali-tali ambin. Maka, pasanglah pengaman sesuai dengan sifat batu yang kau temui, tanpa merusaknya sama sekali. Jika kau tak bisa menempuhnya, maka kau tak bisa memanjatnya. Begitu saja. Itu tak mengurangi kehormatanmu sama sekali. Tak mengurangi kejantananmu juga.(Bilangan Fu: 71)

Dengan hilangnya rasa takut, hilang pula penghormatan terhadap alam. Dengan adanya kepemilikan pribadi, yang dinyatakan dengan kontrak dan jual-beli, hilang pula penghormatan atas hak-hak ulayat (hak adat atas tanah beserta isinya). (Bilangan Fu: 474)

Di lain sisi, dalam novel karya Ayu Utami yang berjudul (Manjali, 2010) juga berkisah bagaimana tokoh dalam novel itu mampu merasakan keindahan alam. Sehingga seolah-olah keindahan alam dan lingkungan dalam penceritaan novel lebih hidup dirasakan oleh pembaca. Narasi- narasi tersebut dapat diperhatikan sebagai berikut:

“Tapi percakapan tadi terjadi pada malam hari. Sekarang masih senja. Dan Marja duduk berdua dengan Jacques, menanti Parang Jati kembali dengan kantong- kantong air yang telah penuh. Matahari telah rendah dan langit mulai merah. Burung-burung simpang siur, beterbangan menuju sarang mereka di cecabang.” (Manjali: 36)

“Catatan perjalanan mengunjungi candi makam di Jawa timur. Kemboja, kemboja, frangipani, plumeria, konon dibawa orang Eropa ke Nusantara dari Amerika Serikat.”

KLIK INI:  Perempuan di Balik Purnama

“Gunung Penaggungan, yang di masa silam disebut Gunung Pawitra. Gunung ini kecil saja. Tingginya tak sampai dua ribu meter. Hanya seribu enam ratus lebih sedikit. Tapi dialah yang bentuknya paling sempurna. Dialah gunung yang mengambarkan delapan mata angin. Dialah gunung yang paling keramat karena merupakan puncak Mahameru.” (Manjali: 222)

Nah, diakhir artikel yang membahas tentang narasi- narasi novel ini sobat hijau dapat simpulkan bahwa, untuk menikmati sebuah keindahan alam terdapat cara yang lebih mudah sekaligus mengedukasi yaitu dengan tenggelam dalam karya sastra novel.

Selain menggali pengetahun dalam novel tersebut, Anda juga bisa merasakan nuansa alam dari hasil imajinasi sendiri. Dari sini, kita dapat menarik pelajaran akan pentingnya menjaga alam, melestarikan alam dan bagaimana kita mengedukasikan diri sendiri terhadapt tanda tanda alam yang diberikan oleh Tuhan.

Seperti yang dituturkan oleh Norman Edwin bahwa Alam adalah sarana pendidikan dan bukan cuman petualangan. Atau seperti pertanyaan Ayu Utami dalam novel pertamanya (Zaman: 1998): Apakah Keindahan Perlu Dinamai?

KLIK INI:  Pohon Air Mata