Ditulis oleh Mahrus Andis
-Saat lidah kelu
tak mampu
berkata-kata,
inilah tulisanku,
ceritaku untukmu-
Kalimat di atas membuka pintu imaji pembaca memasuki ruang gugat seorang Yudhistira Sukatanya. Dalam kumpulan cerita pendeknya berjudul “Nyanyian Sunyi”, penerbit Garis Khatulistiwa, Makassar, 2022, Yudhi menulis 20 kisah yang menarik dibaca. Salah satu cerpennya yang ingin saya sentuh adalah “Percakapan Sunyi” (selanjutnya dibaca: PS).
Cerpen ini berkisah tentang dua pohon raksasa yang tumbuh di pusat kota. Pohon Beringin dan Pohon Ara, keduanya sedang menanti nasib dibuldoser Walikota untuk keperluan proyek besar. Cerita ini menarik karena pengarang memanfaatkan gaya personifikasi untuk menembakkan peluru-peluru kritiknya.
Sebagai tumbuhan klasik yang rindang di tengah kota, Pohon Beringin dan Pohon Ara merasa sudah tidak lagi memiliki manfaat bagi kehidupan umat manusia. Pohon Beringin yang menyadari hidupnya sudah rapuh karena usia dan akibat perlakuan yang tidak bijak dari masyarakat, hanya bisa pasrah.
Sementara Pohon Ara yang usianya masih segar dan dibutuhkan keberadaannya di tengah kota, merasa sedih. Dia melakukan protes senyap lewat percakapannya dengan Ratu Lebah.
“… Mengapa harus
bersedih, Ara.
Setiap yang hidup
pasti akan
mengalami akhir
kehidupan. Itu takdir
yang tak dapat
ditolak,” bujuk Ratu
Lebah pada Ara
sahabatnya. Sang
Ratu sudah
mendengar
informasi tentang
rencana
penggusuran …”
(PS, hal. 4)
Nasihat Ratu Lebah ini mengawali percakapan sunyi dua jenis makhluk yang berbeda di suatu malam. Personifikasi Pohon Ara seakan mengusung ideologi pengarang yang menentang kebijakan penggusuran. Ideologi ini menjadi diskursus di masyarakat dan, oleh Yudhistira, dialirkan ke dalam plot yang apik.
“… Apa yang bisa
kita harapkan dari
Walikota yang baru
itu. Semua sudah
tahu riwayatnya.
Dialah otak yang
merancang
pembangunan kota
ini dengan persepsi
ilmu yang
dimilikinya. Siapa
masyarakat yang
dilibatkannya dalam
membangun kota
masa depan
versinya? Hanya
orang-orang yang
akan melegitimasi
pendapatnya saja
yang diajaknya
berbincang,” ungkap Ara bersemangat … “
(PS, hal. 5).
Kritik demi kritik terus dijajal oleh pengarang melalui gaya metafora. Walaupun objek gugatan itu cukup jelas dan, bahkan vulgar, tetapi sentilannya tidak langsung melukai. Anak panah yang dilepaskan melalui dialog antara Pohon Ara dengan Ratu Lebah terlalu subtil bagi pembaca yang luput dari proses sejarah politik di masa lalu. Mari kita lanjutkan percakapan kedua makhluk di bawah ini.
“… Harusnya
bagaimana, Ara”.
Sengaja si Ratu
Lebah memancing
sahabatnya
mengungkapkan
keluh kesahnya … “
Rupanya pancingan Ratu Lebah itu berhasil mengorek lebih jauh ideologi pengarang, seperti yang diucapkan Pohon Ara berikut ini.
“… Semua sudah
tahu, bagaimana
pantai direklamasi
dengan janji jadi
ruang publik, tanpa
tujuan komersial,
kenyataannya …
semua warga sudah
tahu, bagaimana
fasilitas publik
diakuisisi seperti
lapangan kota untuk
ruang terbuka hijau,
kenyataannya … ?
Kita juga tahu
bagaimana jalur
drainase ditutup
untuk memfasilitasi
ruang parkir,
bagaimana
pedestrian
dipangkas untuk
pelebaran jalan,
saudara-saudaraku
para pohon
pelindung dibabat
habis. Disisakan
sedikit setapak
ruas-ruas beton … “
Oleh pengarang, Pohon Ara seakan dibebaskan dari beban keresahan yang menindihnya. Tidak cukup dengan itu, Pohon Ara pun diberikan kemerdekaan untuk mengumbar manfaat jasa-jasanya terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Narasi tentang hal ini dapat kita baca lewat cerocos lanjutan Pohon Ara :
“… Sia-sia
pengabdian
bertahun-tahun
untuk ikut menjaga
ketersediaan air
tanah. Sirkulasi
udara bersih dan
kenyamanan
lainnya. Akibatnya
apa ? Intrusi air laut
makin menyergap
warga hingga ke
dalam 80 meter di
kota ini. Itulah
kenyataan … “, ungkap Ara panjang lebar.”
(PS, hal. 6).
Kritik pengarang, dengan memberikan hak bicara personifikatif kepada Pohon Ara, terus berlanjut. Walikota, yang entah di kota mana, tetap dijadikan subjek pencipta lingkungan abnormal. Puncak kritiknya dapat dibaca sebagai berikut :
“… Andai Walikota
dapat mendengar
percakapan kita ini,
mungkin akan
membantunya
menemukan solusi.”
Bisik Ara, lirih.
“Itu pun tergantung
dari kebiasaannya
juga, apakah Pak
Walikota cukup
bijak saat
mendengarkan
keluhan.
Jangan-jangan ia
hanya pandai bicara
saat kampanye
menyampaikan
program-program,
tapi tak cukup
pandai
menghadirkan
solusi tuntas atas
berbagai persoalan
warganya ketika
berkuasa … “
(P.S, hal. 9).
Yudhistira Sukatanya, bernama lengkap Drs. Ek. Eddy Thamrin, seorang mantan birokrat yang tentu paham manajemen pemerintahan. Karena itu, tema kritik birokratis dalam cerpen PS-nya terasa kental dan detil.
Cerita yang digarap dengan stil konvensional ini terbilang panjang, lebih 10 halaman. Plot terkesan datar dan karakter pelaku terbungkus di balik wacana dialogis. Penggunaan gaya personifikasi melalui tokoh Pohon Ara dan Ratu Lebah sangat membatasi dinamika imaji pengarang. Karena itu, cerita PS ini boleh dinilai kurang menggigit dari aspek penggarapan sastra secara organis.
Di samping itu, kelemahan cerita tampak pula pada proses editingnya. Di garis kreatif ini memang rawan terjadi kesalahan dan pemborosan kata dalam satu kalimat.
Kesalahan berulang yang dilakukan oleh editor penerbitan adalah kurang jeli memeriksa isi tulisan. Seperti halnya pada cerpen PS ini, judul di kaver depan tertulis ” Nyanyian Sunyi”.
Sementara dalam Kata Pengantar penulis di bagian awal buku tersebut tercantum frasa “Percakapan Sunyi”. Saya memeriksa daftar judul, rupanya jelas. “Nyanyian Sunyi” bukanlah judul salah satu cerita di buku ini. Boleh jadi, itu kekhilafan editor yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain.
***
Jumlah cerpen hanya 20 judul, namun dalam Kata Pengantar disebutkan 21 buah. Kekhilafan-kekhilafan seperti ini memang tergolong kesalahan teknis di dunia percetakan. Tetapi, sesungguhnya hal tersebut tidak layak terjadi bagi sebuah penerbitan yang selevel Garis Khatulistiwa. Kesalahan teknis ini berdampak fatal. Judul “Nyanyian Sunyi” menggiring kesan bahwa Yudhistira Sukatanya hanyalah mengaduk-aduk kosakata sastra di zaman Pujangga Baru.
Tentu juga ada beberapa potensi literatif yang penting diangkat di dalam cerita ini. Antara lain, ketabahan pengarang mengolah inspirasi dialogis ke bentuk karya imaji yang bernilai humanis. Bahkan, ideologi pengarang sempat merasuk ke lapisan transendensial,
menyentuh kesadaran religius umat manusia. Selain itu, ending cerita PS berhasil dituang ke dalam narasi yang rapi dan mengail daya serap imajiner pembaca untuk merenung.
Pada ending, memang ada kesan dipaksakan. Tapi yang jelas, pengarang telah berupaya menggiring pembaca dengan narasi puitis memasuki penyelesaian cerita yang, boleh saya sebut; wilayah prismatis Sang Pengarang.
Cerpen PS yang kita bicarakan ini, tentu tidak mewakili 19 buah cerita lainnya dalam buku “Nyanyian Sunyi”. Di antara cerpen-cerpen Yudhistira Sukatanya, Sutradara Teater yang tidak jelas tahun dan tempat kelahirannya itu, ada yang sudah diterbitkan di rubrik budaya surat kabar. Malah ada cerpennya yang pernah saya bicarakan dan dimuat dalam buku kritik “Remah-remah Sastra”, 2019.
Sebagai penutup, saya mengutip ending kisah yang cukup puitis-prismatis berikut ini :
“… Saat jam delapan
tiba, sebuah papan
proyek dipancang
dekat Pohon Ara.
Pengumuman itu
bertuliskan “Di sini
akan dibangun
jalan
Tol Layang
Demokrasi”.
Lengkap dengan
gambar jalan yang
melingkar-lingkar
bagai usus di perut
kota. Warga kota
berkumpul di sana.
…
Jam selanjutnya,
jam yang akan
menentukan
kelangsungan
hidup si Pohon
Ara. Apakah akan
tumbang seperti si
beringin … atau …
…
Tak ada warga
yang buka suara.
Masing-masing
menahan diri, tak
ingin dicap
provokator pemicu
anarkhi.
Sang Ratu Lebah
terbang menuju
matahari seperti
menjemput
kematiannya.
Ribuan lebah
jantan ramai-ramai
mengejar.” ***
-Mks, 15 Juni 2022-