Kita yang Antusias Menukar Daun jadi Rupiah

oleh -19 kali dilihat
Kita yang Antusias Menukar Daun jadi Rupiah
Ilustrasi - Foto: Unsplash

Klikhijau.com – Di negeri yang dulu dijuluki zamrud khatulistiwa, pepohonan sekarang tumbang bukan karena angin atau musim gugur tapi karena alat berat. Tanah yang dulunya ditumbuhi pohon kini dipasangi plang “Tanah Ini Milik Developer.”

Daun-daun yang dulu rimbun, kini jadi korban ekspansi. Dan di balik itu semua, ada satu hal pasti yang memungkinkan itu terjadi yaitu tidak lain adalah uang.

Alih fungsi lahan bukan lagi sekadar kebijakan, tapi seolah sudah jadi gaya hidup baru di kota-kota besar. Hutan kota disulap jadi mall, lahan pertanian diganti perumahan elit, dan taman bermain anak-anak berubah jadi lahan parkir.

Kita hidup di zaman ketika ruang hijau kalah pamor dari bangunan yang bisa disewakan. Ironisnya, banyak yang lupa bahwa daun-daun yang hilang itu adalah sistem pendingin alami yang tidak bisa digantikan oleh AC, meski mereknya paling canggih sekalipun.

Menurut laporan dari Global Forest Watch (2023), Indonesia kehilangan sekitar 10,5 juta hektar hutan primer selama dua dekade terakhir. Ini tidak hanya terjadi di pedalaman Kalimantan atau Papua bahkan kawasan urban pun ikut terdampak. Kota tumbuh, katanya. Tapi tumbuhnya lebih mirip ekspansi, bukan perkembangan yang berkelanjutan. Ruang hijau yang tersisa makin disudutkan. Lahan kosong langsung dilirik investor. Kalau bisa disulap jadi kafe estetik atau kompleks elit, kenapa harus dibiarkan ditumbuhi pohon? Begitu logikanya.

Alih fungsi lahan memang terdengar manis di laporan keuangan. Tapi di balik angka-angka itu, ada jejak kehilangan yang panjang. Menurut Walhi (2022), cukup banyak lahan hijau di Indonesia yang telah beralih fungsi secara masif dalam satu dekade terakhir. Seringkali tanpa perencanaan ekologis yang matang.

KLIK INI:  Berbalut Pepohonan, Silaturahmi Idulfitri dan Diskusi Literasi Lingkungan Berdetak di Takalar

Laporan dari KLHK (2021) bahkan mencatat bahwa dalam satu tahun saja, Indonesia mungkin kehilangan sekitar 684.000 hektar tutupan hutan, sebagian besar karena pembangunan infrastruktur dan ekspansi properti.

Dari sudut pandang bisnis, ini investasi. Tapi dari sudut pandang lingkungan? Ini bunuh diri jangka panjang. Ketika pohon ditebang, efeknya tidak hanya tampak secara visual. Kualitas udara memburuk, karena tak ada lagi penyaring alami. Banjir makin sering, karena air hujan kehilangan tempat untuk diserap tanah. Dan jangan lupakan efek urban heat island, di mana suhu kota jadi lebih tinggi karena dominasi permukaan keras seperti beton dan aspal.

Ambil contoh Jakarta. Menurut BMKG (2023), suhu rata-rata di ibu kota meningkat sekitar 1,5°C dalam 30 tahun terakhir. Minimnya ruang hijau jadi salah satu biang kerok utama. Kota yang makin panas ini bukan hanya tidak nyaman, tapi juga makin tidak sehat. Ujung-ujungnya, ini semua soal pilihan: mau membangun kota yang nyaman dan hidup, atau kota yang panas, pengap, dan tenggelam setiap hujan besar datang?

Pembangunan memang perlu, tapi harus dibarengi dengan ‘’kesadaran ekologis.’’ Ruang hijau jangan cuma dijadikan “bonus” atau “hiasan” dalam perencanaan kota. Ia harus jadi fondasi. Tanpa pohon, kita bukan hanya kehilangan keindahan kita tapi kehilangan kesempatan untuk bertahan.

Kalau setiap daun dihitung sebagai rupiah, maka kita sedang menukar masa depan demi keuntungan sesaat. Dan kalau dibiarkan terus-menerus, mungkin satu-satunya hal hijau yang akan tersisa hanyalah lembaran uang, bukan pepohonan.

Mari jaga yang tersisa. Karena ketika daun terakhir gugur, yang tertinggal hanyalah kenangan tentang betapa sejuknya bumi yang pernah kita miliki.

KLIK INI:  Bagaimana Mengakali Limbah Fast Fashion?