Seni, Nelayan Pinggiran di Selangkangan Gemerlap CPI Makassar

oleh -90 kali dilihat
Seni, Nelayan Pinggiran di Selangkangan Gemerlap CPI Makassar
Dokumentasi suatu waktu saat wawancara dengan Seni - Foto: AP

Klikhijau.com- “Saya lahir dan besar dari laut, pendidikan terakhir saya tidak memenuhi standar untuk bekerja di kota ini. Saya tidak memiliki keahlian lain selain menjadi nelayan, satu-satunya yang diwariskan Bapak saya hanya perahu kecil ini.” Cerita Seni.

Hatinya teriris terpaku dalam keadaaan, kalimat pembuka di atas adalah jawaban Seni atas pertanyaan yang saya ajukan perihal hidupnya, kini.

Namanya Seni, pria berusia 32 tahun yang berprofesi sebagai nelayan.

Sejak 1987, Bapaknya telah menjadi nelayan. Saat itu kehidupan nelayan di kota Makassar terbilang sejahtera karena keberlimpahan sumber daya laut. Tak jarang, di sepanjang garis anjungan pantai losari, beragam ikan-ikan dengan ukuran bervariasi masih sangat mudah dijumpai, ada juga banyak udang-udang kecil.

“Sekarang ikan dan udang sudah sangat berkurang, kalaupun ada pasti sangat sulit. Tergantung rezeki saja,” ungkap Seni.

Tak pernah terlintas di pikirannya akan terengah-engah di tengah kehidupan kota yang serba cepat dan mewah. Hidup yang lamban dengan segala keterbatasan mengajarkannya untuk lebih berterima. Di bawah kolong jembatan kehidupan Seni digayuh dengan apa adanya.

Hari-harinya bercengkrama dengan laut yang sejatinya tak lagi membiru. Ia tak dijumpai dalam peradaban kendaraan dan lampu-lampu terang kota Makassar. Seni sibuk dengan dirinya yang nelayan. Memasang jala, memancing atau sekadar mengambil air untuk persediaan beberapa hari.

KLIK INI:  Inspiratif, SDN Borong Memulai Gerakan Satu Orang Satu Pohon

Kasurnya bertiang kayu dan papan sebagai penyangga, dihiasi balutan baliho berwarna putih terang sebagai dinding. Tak ada lemari apalagi kompor gas. Hanya ada tungku perapian yang disusunnya dari beberapa batu. Tepat di sebelah kanannya, bergelantungan beberapa peralatan masak seperti panci, piring dan beberapa gelas.

Pemandangan ini sekali lagi amat kontras dengan gemerlap kehidupan dunia di atasnya bernama “Center Point of Indonesia” (CPI)—sisi super-modern kota Makassar.

CPI Antara Distopia atau Utopia 

Nelayan turut membentuk identitas kolektif kota ini, begitulah yang saya baca. Meminjam kalimat dari novel The Dispossessed karya Ursula K. Le Guin: “The problem is not that there are poor people, but that there are rich people,” tidak meratanya pertumbuhan ekonomi di kota ini, bukan mitos semata. Itu adalah fakta, sekeras apapun nelayan seperti Seni berjuang, ia hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Keinginannya sudah hilang dari daftar hidup ini.

Jam menunjukkan pukul dua belas siang, Rabu, 13 November 2024. Di bawah sini, sesekali arus kecil terbawa angin menggulung riak. Arus tak lagi leluasa karena terhalang tembok beton. Cericit bunyi burung kecamata yang hinggap di ranting pohon gerseng adalah orkestra gratis yang menemaninya saat ia memperbaiki alat mancing atau sekadar beristirahat dari terik matahari.

KLIK INI:  Sungai di Indonesia Banjir Mikroplastik, Dampak Tata Kelola Sampah Buruk?

Kota Makassar merupakan Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, dikenal dengan Ikon barunya: Center Point of Indonesia (CPI). Mulai direncanakan dan dibangun pada tahun 2014, saat ini terbilang hampir sepenuhnya rampung dikerjakan.

“Sebelum dibangunnya Center Point of Indonesia, dulunya adalah wilayah tangkap nelayan. Tak terkecuali saya sendiri. Dulu saya tinggal di Gusung, memiliki kehidupan layak, namun pembangunan ini telah membuat saya tergusur,” tegas Seni.

Sebagai nelayan, Seni adalah simbol bagaimana kota ini bekerja, keras dan licik. Kini saya bertanya bagaimana nasib nelayan tradisional sepertinya?

“Ya beginilah dek keadaannya sekarang. Setelah tergusur, saya tinggal di bawah kolong jembatan. Keluarga saya jauh, saya juga malu jika keluarga harus menampung saya dengan istri,” lanjut Seni.

Saya mengangguk, memasang senyum paling alami dan penuh simpati.

Melihat Masa Depan Nelayan tradisional

Berkurangnya potensi laut, mengancam masa depan nelayan di kota Makassar. Dilansir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jumlah nelayan pada tahun 2022 mencapai 2.401.540 jiwa. Populasi nelayan itu meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 2.359.264 jiwa. Menurut statistik KKP pada tahun 2023, sebagian besar dari mereka (85 persen) merupakan nelayan skala kecil.

Namun reportase yang saya lakukan membeberkan fakta lain. Nelayan pesisir Makassar semakin menurun, utamanya skala kecil ke bawah. Hal ini didasarkan dari masifnya pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir yang berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan tradisional.

Selain itu, perubahan iklim turut memberikan dampak signifikan terhadap jumlah tangkapan nelayan tradisional. Kurangnya kemampuan adaptasi membuat mereka menjadi komunitas rentan. Harapan memang selalu terbenam memberi semangat untuk pulih dari keputusasaan, “harapan” kata nelayan di pasar pelelangan ikan “jalannya ada di masa kini,” masa di mana kita hidup dan selalu terlambat menyadari sesuatu.

Kemiskinan adalah nyanyian panjang di balik punggung seorang nelayan, di antara bangunan Center Point of Indonesia (CPI), Seni sempat tertegun, seolah mengenang masa kecilnya duduk menangis tersesat. Dan saya kembali bertanya bagaimana nasib nelayan tradisional di kota ini? Kehidupan nelayan adalah cermin terbalik dari wajah kota penuh kamuflase yang melingkupinya.

Pesisir Makassar yang ada di pikiran dan perasaanmu saat membaca kalimat ini di masa depan adalah pesisir Makassar yang berbeda. Mungkin saja nelayan tradisional seperti Seni akan hilang atau tidak akan pernah lagi datang. Tidak ada lagi yang tersisa, hanya ada layar milik bioskop mall yang kau tonton membuatmu terisak-isak menangis menyadari pelaut ulung kita kehilangan lautnya.

Saya beranjak dari sana menjelang sore. Tak ada senja, hanya senyum tulus yang kuterima dari Seni. Saya akan kembali lain waktu, barangkali juga menjumpainya dengan kisah yang baru. Atau mungkin menjumpainya sedang bercakap dengan beberapa orang lantaran penasaran usai membaca tulisan ini.

KLIK INI:  Makna Julukan Hewan Pada Klub Sepakbola Semifinalis Piala Menpora