Perempuan Adat, Konflik Sumber Daya Alam, dan Penurunan Kualitas Lingkungan

oleh -472 kali dilihat
Perempuan Adat, Konflik Sumber Daya Alam, dan Penurunan Kualitas Lingkungan
Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN - Foto/Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dipastikan harus memenuhi perlindungan dan pemenuhan hak-hak kolektif Perempuan Adat (PA). Hal ini penting mengingat PA memiliki peran dan fungsi sebagai penjaga ketahanan hidup komunitasnya dengan mengelola sumber-sumber hidup di dalam wilayah adatnya.

Namun, pandangan dan kepentingan PA dalam pengelolaan sumberdaya alam belum hadir bahkan cenderung diabaikan dalam beragam proses pembangunan baik di komunitas adatnya maupun dalam kehidupan publik yang lebih luas.

Seringkali suara Perempuan Adat yang mengemukakan kepentingan atas pengelolaan sumberdaya alam dianggap sebagai pembicaraan harian yang tidak penting dalam proses pengambilan keputusan.

Demikian disampaikan oleh Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN dalam Diskusi Webinar bertemakan “Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam” yang dilaksanakan pada 2 Juli 2020.

KLIK INI:  Studi Terbaru yang Mencemaskan, Mikroplastik Ditemukan di Plasenta Manusia
Eksistensi perempuan adat

PEREMPUAN AMAN mencatat bahwa konflik Sumber Daya Alam yang sedang berlangsung di berbagai wilayah Masyarakat Adat, tidak hanya menurunkan kualitas lingkungan tetapi berdampak nyata pada penyingkiran identitas diri sebagai PA.

Juga, tidak diakuinya pengetahuan dan ketrampilan PA berbasis sumber daya alam serta tingginya tingkat diskriminasi sampai menjadi korban kekerasan ekonomi. Wilayah adat dirampas, tanah pertanian hilang, hingga hilangnya mata pencaharian perempuan adat. Pengangguran dan kekerasan domestik menjadi hal yang kerap ditemui.

“Seperti yang terjadi pada PA Negeri Tananahu di Pulau Seram, Maluku Tengah yang terpaksa harus masuk ke dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Bahkan terkadang mereka terpaksa harus mengambil kelapa dan kakao milik PTPN, karena tanah mereka menjadi konsesi PT Perkebunan Nasional (PTPN) untuk kakao dan kelapa. Aparat keamanan perusahaan kerap mengejar dan menjebloskan mereka ke penjara dan PA yang tertangkap menjadi korban pelecehan seksual bahkan perkosaan,” tutur Devi.

Kisah kelam PA Negeri Tananahu merupakan salah satu potret penyingkiran perempuan dan hilangnya wilayah kelola PA untuk mempraktekkan dan mengembangkan pengetahuannya berbasis Sumber Daya Alam di Indonesia.

KLIK INI:  Hujan Abu Batubara Mengguyur Suralaya, PLTU Dituding Sumber Pencemarnya

Walaupun konsesi PTPN telah berakhir di Negeri Tananahu, namun PA masih harus berjuang untuk mendapatkan kembali tanahnya.

Hak Masyarakat Adat atas wilayahnya masih mendapat rintangan dengan rumitnya persyaratan, salah satunya pengakuan keberadaan Masyarakat Adat harus tertuang dalam produk hukum daerah.

Artinya secara hukum, masyarakat adat dianggap illegal di dalam wilayahnya sendiri, sementara peluang pihak luar untuk menguasai wilayah adat menjadi semakin terbuka.

Kriminalisasi dan stigma negatif pun kerap diterima oleh PA ketika mereka mempraktekkan pengetahuannya membuka ladang dengan pembakaran lahan. Kearifan lokal ini sering dianggap sebagai sumber dari kebakaran hutan.

Urgensi RUU masyarakat adat

“Data kajian PEREMPUAN AMAN pada 2019 menyebutkan bahwa lebih dari 64,5 % responden menyatakan bahwa praktik perladangan dengan membakar dilarang oleh pemerintah. Padahal, praktik peladang tradisional telah dilindungi oleh UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun berbeda dalam kenyataannya,” tambah Devi.

KLIK INI:  Jalan Terjal Perjuangan Pengesahan Undang-undang Masyarakat Adat

Dengan begitu, lanjut Devi, RUU Masyarakat Adat yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi penting untuk memastikan hak PA dilindungi dan dipenuhi, terutama menghapuskan kekerasan struktural, kekerasan fisik dan non fisik.

Niliani, perempuan adat Dayak Ma’anyan sekaligus Pengurus Harian Daerah PEREMPUAN AMAN Barito Timur, menyayangkan pelarangan pembakaran lahan untuk membuka ladang.

Pasalnya, tradisi tersebut telah ada secara turun-temurun dan dilakukan dengan perhitungan yang baik, sehingga rambatan api dapat dihindari.

Niliani beserta kawan-kawan PHD Barito Timur tetap berusaha mengabadikan pengetahuan-pengetahuan adat tentang ketahanan pangan melalui permainan tradisional dan dongeng, untuk kemudian diteruskan kepada generasi penerus. Pelestarian pengetahuan adat merupakan salah satu upaya untuk menjaga sumber daya alam yang ada.

KLIK INI:  Pentingnya Penjaminan Perlindungan Hak Perempuan Adat dalam Pembangunan

Mardha Tillah, Direktur Rimbawan Muda Indonesia (RMI)  menyampaikan bahwa pengakuan hak PA atas penghidupan yang layak, pengetahuan dan budaya berbasis sumber daya alam merupakan langkah penting untuk memperkuat masyarakat adat.

Pengakuan terhadap masyarakat adat dan segala kearifan lokalnya tanpa memberi ruang partisipasi bagi PA untuk ikut menentukan kehidupan mereka dan komunitasnya hanya akan menghasilkan kesetaraan yang semu dan tidak berkelanjutan.

“Merupakan praktik yang wajar bahwa setiap pihak yang berkontribusi dalam perkembangan masyarakatnya mendapat ruang untuk ikut mengambil keputusan akan dirinya dan masyarakatnya,” tambah Mardha Tillah.

Peran perempuan adat

Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan bahwa ketiadaan sumber daya menyebabkan penghancuran kebudayaan dan pemiskinan perempuan. Komodifikasi sumber daya alam yang lazim terjadi menyebabkan kematian sistem lokal dan keanekaan sistem kehidupan lokal.

KLIK INI:  Dari Danau Toba, Aktivis Perempuan Desak W20 Lindungi Hak Perempuan Adat

Hal ini berakibat masyarakat menjadi tergantung kepada perusahaan besar dan selanjutnya akan bergantung kepada bisnis global.

“Pencerabutan sumber-sumber kehidupan merupakan tindakan kejahatan, yang dampaknya paling terasa pada kelompok-kelompok yang dimarjinalkan, salah satunya adalah perempuan adat,” timpal Dewi.

Peran PA yang esensial membutuhkan sokongan kuat agar tetap mampu merebut kembali ruang-ruang penghidupan mereka.

Mia Siscawati, Dewan Pakar PEREMPUAN AMAN, menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis perempuan atas hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, perempuan desa, perempuan adat, dan sebagai warga negara.

Pun tak kalah pentingnya ialah selalu memastikan keterlibatan PA sebagai subyek dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan secara sungguh-sungguh.

PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN) adalah organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dideklarasikan pada tanggal 16 April 2012 di Tobelo, Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.

PEREMPUAN AMAN didirikan berdasar pengalaman bahwa Perempuan Adat membutuhkan wadah selain AMAN sebagai tempat belajar dan mengkonsolidasikan diri untuk mampu menyuarakan kepentingannya sendiri. PEREMPUAN AMAN didirikan untuk memfasilitasi Perempuan-Perempuan Adat mengorganisir diri, pengetahuan dan hak-haknya.

Organisasi ini beranggotakan individu Perempuan Adat yang berasal dari komunitas anggota AMAN.

KLIK INI:  Hari Hutan Sedunia, Saat Tepat Merawat Kesadaran akan Pentingnya Peran Hutan