Perbankan di ASEAN mulai Respek pada Lingkungan dan Tata Kelola Keuangan Berkelanjutan

oleh -363 kali dilihat
Perbankan di ASEAN mulai Respek pada Lingkungan dan Tata Kelola Keuangan Berkelanjutan
Ilustrasi - InaKoran

Klikhijau.com – Perbankan di negara-negara ASEAN mulai menunjukkan tren positif dalam kinerja tata kelola keuangan berkelanjutan. Hal ini dilaporkan WWF Indonesia yang meluncurkan Laporan Sustainable Banking Assessment (SUSBA) edisi ke-4 di Singapura pada Selasa, 21 September 2020.

Laporan ini berisi penilaian integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) pada 38 bank di ASEAN. Berbeda dengan sebelumnya, tahun ini ada tambahan cakupan yakni masing-masing 5 bank dari Jepang dan Korea Selatan (Korsel).

Penilaian ini juga menunjukkan bahwa rata-rata perbankan mengalami kemajuan dalam pertimbangan dimensi lingkungan dan sosial dalam skema pembiayaan mereka.

Walau begitu, ada sejumlah catatan penting yang masih perlu dibenahi dalam upaya mengatasi risiko dari timbulnya perubahan iklim dan kerugian dari degradasi lingkungan.

KLIK INI:  Pertama di ASEAN, Google Luncurkan 'Environmental Insights Explorer' di NTB
Skema penilaian

Penilaian SUSBA ini mencakup enam pilar integrasi LST (Tujuan, Kebijakan, Proses, Orang, Produk, dan Portofolio). Juga fitur baru berupa analisa sektoral dan isu terkait secara lebih mendalam mengenai kebijakan pembiayaan sektoral.

SUSBA memberi analisa menarik, tahun ini ada 75 % perbankan di ASEAN mengalami perkembangan positf. Hampir 30% bank mengalami peningkatan setidaknya 10% dari penilaian SUSBA di tahun 2019.

Bank yang memenuhi separuh dari total 70 kriteria SUSBA mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat dari 4 menjadi 8 bank.

Namun demikian, meskipun terdapat penggandaan bank di ASEAN yang memenuhi setidaknya setengah dari 70 kriteria, jumlah 8 bank masih merupakan proporsi yang kecil.

Lain dari itu, 45% bank memenuhi kurang dari seperempat kriteria, dibandingkan dengan 51% tahun lalu. Sementara bank-bank Korsel memiliki skor yang serupa dengan rata-rata ASEAN, bank-bank Jepang memiliki kinerja di atas rata-rata ini.

KLIK INI:  Menanti Hasil Komitmen Indonesia Kurangi Sampah Laut

Rizkiasari Yudawinata, penanggung jawab untuk program keuangan berkelanjutan Yayasan WWF Indonesia, menyampaikan bahwa sejak 2019 penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51 tentang Keuangan Berkelanjutan yang berlaku bagi bank kategori BUKU 3 dan 4 telah mendorong peningkatan pengungkapan integrasi LST secara lebih merata di sektor perbankan Indonesia, sehingga berhasil menempati posisi ke-2 di lingkup ASEAN.

“Bank-bank Indonesia unggul dalam hal pengungkapan integrasi LST ke dalam strategi bisnis secara keseluruhan, kebijakan sektor spesifik, serta telah memiliki program peningkatan kapasitas untuk keuangan berkelanjutan,” kata Rizkiasari.

Dua bank Indonesia unggul

Adapun 2 bank di Indonesia yang terunggul dalam pemenuhan kriteria di tahun ini adalah BRI dan BCA. BRI masuk ke dalam 10 besar bank yang memenuhi kriteria tertinggi di tingkat ASEAN.

BRI memenuhi 40 dari total 70 kriteria, sedangkan BCA sebanyak 33 kriteria. Selain itu, BRI adalah bank pertama di Indonesia yang mengungkapkan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai kegiatan bisnis yang akan berdampak negatif terhadap UNESCO World Heritage Sites.

Oleh sebab itu, dibutuhkan keselarasan dan kesetaraan norma dalam penerapan keuangan berkelanjutan di tataran Asia, mengingat ketergantungan dalam hal ekonomi di antara negara-negara di wilayah tersebut.

KLIK INI:  WALHI Sulsel Desak Pembangunan Pabrik Aspal Tanpa Izin di Samangki Dihentikan

Keselarasan ini penting untuk memberikan kontribusi yang signifikan untuk menghadapi tantangan pembangunan berkelanjutan, dan membangun daya lenting industri keuangan terhadap risiko perubahan iklim dan degradasi lingkungan.

“SUSBA diharapkan dapat membantu perbankan di wilayah dimaksud untuk meningkatkan kesetaraan penerapan keuangan berkelanjutan,” tambah Rizkia.

Sementara, bank Jepang dinilai lebih baik dari sisi kriteria terkait pengelolaan risiko dan peluang terkait perubahan iklilm.

Seluruh bank yang dinilai secara eksplisit telah sejalan dengan rekomendasi Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD)–sebuah gugus tugas keuangan berkelanjutan yang dibentuk oleh Financial Stability Board (FSB).

Jepang juga unggul dalam hal pilar Produk, di mana setiap bank mencapai setidaknya 75% dari kriteria pilar ini.

KLIK INI:  Kemarau Panjang, Ancaman Krisis Air Bersih Menyulitkan Warga

Mereka tidak hanya menawarkan produk keuangan, akan tetapi mempunyai target untuk meningkatkan pembiayaan bahkan secara aktif mendorong kinerja nasabahnya dengan jasa konsultasi maupun kegiatan sosialiasi.

Sedangkan Korsel unggul dalam pengungkapan visi dan strategi jangka panjang mereka, pada tataran yang sama dengan perbankan di ASEAN.

Namun secara umum, pengungkapannya masih lemah pada pilar Kebijakan dan Proses dalam hal pengelolaan risiko LST pada kegiatan pembiayaan.

KB Koomin Bank misalnya merupakan satu-satunya bank Korsel yang telah memiliki kebijakan untuk tidak lagi memberikan pembiayaan baru untuk proyek konstruksi pembangkit listrik berbasis batu bara.

KLIK INI:  Tingkatkan Kemampuan Berbahasa Asing, Tujuh AHP Tanah Air Belajar di Kampung Inggris
Rangkuman temuan SUSBA

Secara keseluruhan, berikut ini temuan utama SUSBA tahun 2020 untuk perbankan yang dinilai di ASEAN, Jepang, dan Korsel:

  • Sebanyak 5 bank di Jepang dan 60% bank Korsel yang dinilai mempunyai strategi untuk mengelola risiko terkait perubahan iklim dan seluruhnya terdaftar sebagai pendukung Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Ada 24% bank-bank di ASEAN yang mempunyai strategi terhadap iklim—meningkat empat kali lipat meskipun meskipun masih terbilang.
  • 34% bank-bank di ASEAN mengakui adanya risiko terkait deforestasi dan keanekaragaman hayati, terdapat peningkatan tipis sebanyak 3 bank jika dibandingkan tahun lalu. Sementara itu, meskipun 5 bank di Jepang telah mengakui adanya risiko deforestasi, namun belum ada yang berkomitmen untuk mengatasi risiko dimaksud pada portofolionya.
  • Baru sekitar 21% bank-bank di ASEAN dan 20% bank-bank di Korsel mengakui pentingnya risiko terkait air selain faktor polusi. 1 bank Jepang dan beberapa bank di ASEAN termasuk di Indonesia telah menyadari adanya polusi air sebagai faktor material untuk bisnis, dengan total nilai sebesar USD 425 miliar terpapar risiko terkait air secara global.
  • Analisa lanjutan pada sektor dan isu terkait ditemukan di bank-bank di Jepang dan Korsel telah memiliki kebijakan untuk tidak membiayai proyek pembangkit listrik non terbarukan. Bank Shinhan dan 5 bank Jepang tidak membiayai proyek pembangkit listrik batu bara, meskipun kebijakan ini mempunyai pengecualian terhadap teknologi tertentu atau carbon capture.
  • MUFG, Mizuho dan SMBC telah mengumumkan target waktu dan perencanaan mengakhiri untuk membiayai sektor ini. DBS, OCBC dan UOB merupakan bank ASEAN yang sudah tidak lagi memberikan pembiayaan baru untuk sektor yang sama dengan bank di Jepang, sementara CIMB telah juga mengumumkan bahwa mereka akan mengeluarkan kebijakan terkait batu bara pada akhir tahun 2020.
  • Sementara bank di ASEAN dinilai masih membiayai sektor non Masih berjalannya bank dalam membiayai sektor yang berkontribusi tinggi terhadap emisi GRK meningkatkan potensi risiko terhadap bank terkait transisi perubahan iklim seperti pajak karbon dan ketertinggalan teknologi.

Berdasarkan Global Risk Report 2020, kata Rizkia, kegagalan aksi iklim dan bencana alam merupakan risiko yang tingkat probabilitas terjadinya tergolong tinggi. Terlebih Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap risiko perubahan iklim.

Oleh karena itu, lanjutnya, bank perlu menyadari bahwa momen ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyiapkan strategi bisnis yang berdaya lenting tinggi terhadap tantangan dimaksud.

“Pandemi ini perlu diambil sebagai pelajaran berharga untuk mengoreksi pendekatan kita mengantisipasi terjadinya krisis iklim yang telah lebih awal diprediksi tersebut,” pungkasnya.

KLIK INI:  AMAN Bengkulu Tolak Jika Enggano Dijadikan Pulau Sawit