Menelusuri Jejak Kelelawar Endemik Sulawesi yang Kharismatik di TN Babul

oleh -605 kali dilihat
Menelusuri Jejak Kelelawar Endemik Sulawesi yang Kharismatik di TN Babul
Kelelawar Endemik khas Sulawesi - Foto/ (1) Taufiq Ismail; (2) Rahmia Nugraha
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Awal November 2021, saya menjelajah hutan perawan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul). Mengunjugi wilayah kerja Resor Balocci. Resor adalah unit tata kelola terkecil taman nasional. Mengarungi hutan yang berada di Kampung Kaliberang, Kelurahan Balocci Baru, Balocci, Pangkep.

Mencari sosok misterius mamalia pemangsa: musang sulawesi, menjadi tujuan utama. Menurut warga Kaliberang, sang musang kadang mengunjungi sadapan nira mereka. Bertandang kala kemarau tiba. Meminum nira dan memakan buah aren.

Pencarian jejaknya pun, mengantarkan saya bersama tim, menjelajah hutan yang begitu lebat di sana. Hutan primer yang berada di ketinggian sekitar 600 m dpl.

Saat menjejakkan kaki di lantai hutan, ada beberapa satwa yang kami temui. Mulai dari kupu-kupu aneka warna, burung-burung dengan senandung merdunya hingga seekor kelelawar.

Pertemuan dengan  burung raja udang sulawesi (Ceyx fallax) dan kelelawar-lah begitu berkesan. Apalagi dengan panniki’, nama lokal untuk kelelawar, begitu membekas. Mengapa? Karena biasanya saya menjumpai kelelawar di dalam gua atau di pohon besar dengan jumlah tak sedikit.

KLIK INI:  Mahasiswa Magang Mandiri Unhas di TN Babul Antusias Belajar Terbangkan Drone

Tapi pertemuan dengan kelelawar yang belakangan saya tahu nama latinnya adalah Styloctenium wallacei ini, sedikit berbeda. Bertemunya hanya seekor saja. Itu pun bukan di gua dan pohon besar. Hanya di pohon tingkat tiang. Tempat bertenggernya hanya berkisar empat meter dari permukaan tanah.

Kala itu, saat melintas di bawah rimbun pepohonan, sang kelelawar menampakkan diri. Boleh jadi merasa terganggu. Kemudian ia terbang berpindah tempat. Dari sanalah, seorang kolega melihatnya. “Ada burung sakit,” teriak Rely Krisbiantoro, Polisi Kehutanan taman nasional. Menganggapnya burung sakit karena gaya terbangnya yang kurang lincah.

Ia kemudian memanggil saya. Menunjukkan posisi kelelawar untuk dipotret. Maklum hari itu, saya menenteng kamera.

“Itu Mas, di pohon mahoni,” sembari Rely menunjukkan arahnya. Saya pun dengan sigap membidiknya. Memotretnya dari beberapa sisi. Ia tak bergeming. Tidak terganggu. Wah, saya begitu senang mengabadikannya. Saya pun mengamatinya dengan seksama.

Ukurannya cukup besar. Berwarna coklat dengan variasi garis putih di wajahnya. Tak seperti warna kelelawar pada umumnya: coklat dan hitam, tanpa variasi warna.

Betapa senang perjalanan kala itu. Menyapa penghuni hutan dan menikmati sejuknya hutan yang tak terkira.

KLIK INI:  Warga Sekitar Hutan Ikuti Bimbingan Teknis Sekaligus Terima Bantuan dari Balai TN Babul
Menelusuri spesies kelelawar

Saat kembali dari hutan, saya penasaran dengan nama jenis kelelawar yang kami temui. Saya kemudian mengontak salah seorang dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Saya menghubungi Dr. Risma Maulany, dosen yang konsen membidangi satwa liar, termasuk kelelawar. Membaca beberapa jurnalnya meyakinkan saya berkonsultasi.

“Ini jenis Styloctenium wallacei, salah satu kelelawar endemik Sulawesi,” balas Risma melalui pesan WhatsApp.

Menurut Risma, kelelawar karismatik ini sudah jarang ditemui. “Khusus di Sulawesi Selatan, kelelawar endemik ini terdesak oleh kerusakan habitat. Habitatnya adalah hutan yang lebat,” tambahnya.

kelelawar
Kelelawar endemik khas Sulawesi – Foto/Rahmia Nugraha

Mengapa penting menjaga kelelawar? Apa perannya? Ini ada pertanyaan sederhana dan mendasar. Termasuk saya juga penasaran dengannya. Apalagi di masa pegebluk sekarang ini. Kelelawar telah dikenal luas oleh masyarakat dunia sebagai sumber penyakit mematikan yang sedang marak saat ini.

Menukil dari Suyanto (2001), bahwa kelelawar memiliki banyak peran di alam. Mereka berjasa menyebarkan biji dari pohon yang berbuah. Menyebarkannya lebih jauh ketimbang satwa lainnya. Kelelawar pemakan nektar berperan membantu proses penyebukan pohon-pohon di hutan. Termasuk pohon bernilai komersil seperti durian, kelelawarlah salah satunya yang membantu mempertemukan putik dan benang sarinya.

KLIK INI:  Mamalia Besar Ini Kabur Setelah Kebakaran Melanda Taman Nasional Tesso Nilo

Sebagian besar kelelawar merupakan pemangsa serangga. Termasuk memangsa serangga yang menjadi hama bagi tanaman petani. Nyamuk juga termasuk terget utama kelelawar sebagai mangsanya. Seekor kelelawar mampu memangsa lebih dari 500 ekor serangga dalam semalam saja. Satu kelompok kelelawar yang terdiri dari 10.000 ekor kelawar mampu memakan lima juta serangga dalam satu malam saja. Sementara itu ratusan hingga ribuan kelelawar hidup dalam gua. Jadi tak heran dalam semalam saja mampu memangsa serangga hingga jutaan ekor. Jadi tak heran jika kelelawar mendapat julukan sebagai pengendali biologis bagi serangga.

Saya jadi teringat pada suatu sore di kawasan wisata Rammang-rammnang, Desa Salenrang, Bontoa, Maros, menyaksikan ribuan kelelawar keluar dari gua di tebing karst. Keluar mencari mangsa. Koloninya, saking riuhnya bergerombol, tampak seperti awam hitam.

Makanya saya jadi tak heran, belakang saya mendengar kabar warga Rammang-rammang memanfaatkan guano untuk pertanian mereka. Guano adalah kotoran kelelawar yang diperoleh di lantai-lantai gua. Guano sangat bermanfaat sebagai pupuk organik. Beberapa wilayah di nusantara juga telah memanfaatan kotoran sang kelelawar. Suyanto (2021), hanya menyangkan waktu pengambilan kotorannya dilakukan tanpa mempertimbangkan kenyamanan kelelawar. Ada baiknya pengambilan guano hanya dilakukan pada malam hari. Mengapa? Karena saat malam, kelelawar keluar mencai makan sehingga tidak mengganggu kehidupannya. Berbeda jika siang hari, mereka sedang beristirahat, tidur.

Tak hanya itu, kelelawar juga berperan sebagai salah satu objek wisata. Di Sulawesi Selatan, wisata pengamatan kalong ini cukup terkenal di Soppeng. Kampung Parangtinggia, Desa Jenetaesa, Simbang, Maros, juga cukup populer dengan wisata kelelawarnya. Ratusan kelelawar menggantung di pepohonan di tengah perkampungan.

Bahkan lebih jauh, kelelawar juga dapat berperan sebagai indikator adanya zat pencemaran udara. Kelelawar sangat peka dengan zat yang mengotori udara. Lebih sensitif dibanding satwa lainnya. Hanya saja kelelawar juga patut diwaspadai, karena dapat menjadi penyebab penularan penyakit. Menularkan penyakit seperti salmonellosi, leptospirosis, histoplasmosis, hingga rabies (Suryanto, 2001).

KLIK INI:  Murah dan Efektif, Ini Khasiat Ajaib Daun Jambu Biji

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari binatang vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Penularan melalui makanan (foodborne), udara (airbone), dan kontak langsung dengan binatang yang sakit. Karenanya harus berhati saat berinteraksi dengan satwa liar.

Suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap kehadiran kelelawar suatu habitat (Widayati dan Nurjana, 2018). Karenanya kelelawar akan memilih habitat yang cocok untuk ia tinggali. Menurut Suyanto (2001), umumnya kelelawar tinggal di dalam gua, juga terdapat kelelawar yang menetap di pohon-pohon besar, rerimbunan dedaunan, kolong-kolong atap rumah, terowongan, celah bambu, hingga di lubang-lubang batang pohon baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati.

Ciri-ciri S. wallacei

Pemilik nama: Codot muka-garis ini memiliki ciri yang berbeda terutama dari segi warna tubuh. Warna umumnya adalah abu-abu keputihan. Warna coklat kekuningan pada bagian lengan bawah sayap. Pada betis, berwarna coklat kayu manis. Bulunya lebat dan halus seperti sutera. Pada wajah, terdapat putih di atas mata dan garis putih mulai dari sudu mulut hingga bagian atas bibir atas. Juga terdapat garis putih di dahi, antara kedua mata.

Rentang lengan sayap bawah mencapai 9 sampai dengan 10 cm. Betisnya berkisar antara 3,8 sapai dengan 4,5 cm.

Organisasi kehidupan kelelawar bervariasi, mulai dari hidup berpasangan sampai membentuk koloni dalam jumlah besar. Saya menduga Styloctenium wallacei hidup secara soliter. Namun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Dugaan saya bukannya tanpa alasan. Seorang kolega juga pernah menjumpai S. wallacei di hutan sekunder yang cukup lebat di wilayah Camba, Maros. Ia juga hanya menjumpai seekor saja. Tanpa koloni. Widayati dan Nurjana (2018), juga menjumpai W. wallacei masing-masing satu ekor di dua habitat yang berbeda.

KLIK INI:  Melirik Potensi Wortel sebagai Tanaman Pangan Sekaligus Tanaman Hias
Status konservasi dan ancaman

Status konservasi kelelawar pemakan buah ini menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red-List 2019 adalah Near Threatened (NT), yang berarti hampir terancam.

Perburuan liar, penggunaan pestisida, pengembangan wisata gua yang tidak ramah, hingga kehilangan habitat menjadi sebab kelelawar terancam. Kehilangan habitat adalah faktor utama terus merosotnya jumlah kelawar di tanah air. Penebangan pohon menyebabkan kulitas habitatnya berkurang.

Penambangan batu kapur untuk berbagai kepentingan juga akan menyebabkan huniannya berupa gua, akan hancur. Terkadang mereka tidak dapat menyusaikan diri sehingga tidak dapat bertahan. Apalagi perkembangbiakannya juga terbilang lambat. Kelelawar hanya mampu melahirkan satu sampai dua anak dalam setahun

Kelelawar juga menjadi incaran bagi ular sanca, elang, kucing, ular hijau, hingga burung hantu di alam (Suyanto, 2001).

Jadi alam telah mengatur dirinya dengan baik. Menjaganya tetap seimbang. Semoga manusia berakal mampu memetik hikmahnya. Menjaga setiap jenis ciptaan-Nya tetap eksis. Agar mereka mampu melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya.

*Sumber rujukan

  1. Widayati, Anis Nur dan Nurjana, Made Agus. 2018. Pengaruh Perbedaan    Ekosistem     dan     Faktor Lingkungan  terhadap Keragaman Jenis  Kelelawar di Kabupaten Tojo Una Una dan Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penyakit.
  2. Suyanto, Agustinus. 2001. Seri Panduan Lapangan: Kelelawar di Indonesia. Pusitbang Biologi – LIPI.
KLIK INI:  Tire, Idola Baru Masyarakat Kindang