Guru Besar Unhas Sebut Sektor Perikanan sebagai Pilar Ekonomi, Gizi, dan Keberlanjutan di KTI

oleh -144 kali dilihat
Prof. Nita Rukminasari dalam Diskusi yang yang digelar Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia bertajuk krisis iklim dan tantangan pengelolaan perikanan di KTI-Foto; Ist

Klikhijau.com – Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki potensi besar di sektor perikanan. Dari kegiatan penangkapan hingga pengolahan, distribusi, dan penjualan ikan, sektor ini menyediakan banyak peluang kerja yang membantu mengurangi angka pengangguran.

Prof. Nita Rukminasari, guru besar perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas), menegaskan, Sektor perikanan signifikan dalam mengurangi angka pengangguran.  dalam Diskusi yang yang digelar Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia bertajuk krisis iklim dan tantangan pengelolaan perikanan di KTI.

Namun, potensi besar ini menghadapi tantangan besar, terutama akibat dampak perubahan iklim, praktik yang tidak berkelanjutan, dan keterbatasan tata kelola.

KLIK INI:  Aksi Perubahan Iklim Mustahil Tanpa Keadilan dan Partisipasi Publik yang Bermakna

KTI dikenal memiliki salah satu ekosistem laut terkaya di dunia. Terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yang melimpah di kawasan ini mendukung biodiversitas laut yang luar biasa.

“Kita memiliki kawasan Wallacea, termasuk dalam hotspot terumbu karang dunia, dan berada di urutan ketiga tertinggi biodiversitas laut di dunia,” ungkap Prof. Nita.

Ikan tuna, cakalang, kakap, dan kerapu merupakan beberapa spesies unggulan di kawasan ini yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, ikan menjadi sumber protein utama bagi masyarakat, terutama di daerah dengan akses terbatas terhadap sumber pangan lainnya.

Namun, kekayaan laut ini bukan hanya soal ekonomi. Tradisi, ritual, dan budaya masyarakat pesisir sangat erat dengan sektor perikanan, menjadikannya bagian integral dari kehidupan mereka.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim menjadi ancaman nyata bagi sektor perikanan di KTI. Kenaikan suhu laut, pengasaman laut, dan peristiwa cuaca ekstrem telah berdampak langsung pada hasil tangkapan ikan.

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020 menunjukkan penurunan hingga 30-40 persen pada ikan demersal seperti kakap dan kerapu di beberapa daerah, termasuk Maluku dan Papua.

KLIK INI:  Beraksi Cegah Covid-19, KP2K Buat Masker Sendiri dan Bagikan Gratis

Para nelayan juga merasakan perubahan ini secara langsung. “Sepuluh tahun lalu, ikan melimpah di jarak 500-1 km dari pesisir, sekarang harus pergi lebih jauh. Bensin jadi kebutuhan besar,” ungkap seorang nelayan lokal.

Menurut penelitian Prof. Nita, tingkat kerentanan ekonomi nelayan mencapai level tertinggi di beberapa pulau, seperti Pulau Kodingareng di Spermonde, dengan 86,7% nelayan berada pada kondisi gagal pulih secara ekonomi.

Tantangan dan Solusi untuk Sektor Perikanan

Selain perubahan iklim, overfishing atau penangkapan ikan berlebih menjadi ancaman lain bagi keberlanjutan sektor perikanan.

“Salah satu tanda overfishing adalah ukuran ikan yang ditangkap semakin kecil,” jelas Prof. Nita.

Tantangan lain meliputi penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan, kurangnya data dan informasi, serta konflik penggunaan sumber daya. Kelemahan tata kelola juga memperburuk kondisi.

Untuk menghadapi tantangan ini, edukasi kepada masyarakat pesisir menjadi kunci. Prof. Nita menyebut perlunya partisipasi berbasis komunitas untuk memperkuat rasa tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya. “Kearifan lokal yang menjaga lingkungan harus dilestarikan agar ikan dan laut tetap terjaga,” ujarnya.

Selain itu, ia mendorong pemerintah dan masyarakat untuk memanfaatkan forum diskusi sebagai sarana mencari solusi bersama. Implementasi kebijakan yang mendukung keberlanjutan serta langkah mitigasi perubahan iklim harus menjadi prioritas.

Menjaga Masa Depan Laut KTI

Sektor perikanan di KTI memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung ekonomi lokal, memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, dan melestarikan budaya pesisir. Namun, keberlanjutan sektor ini membutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi.

Jika tantangan seperti perubahan iklim dan praktik tidak berkelanjutan dapat diatasi, sektor perikanan KTI akan terus menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang kuat di Indonesia. “Laut kita adalah warisan tak tergantikan. Mari kita kelola bersama untuk masa depan yang lebih baik,” pungkas Prof. Nita.

Inovasi Nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang untuk Masa Depan Laut

Di dua pulau kecil nan eksotis di Makassar, Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang, perubahan iklim yang memengaruhi ekosistem laut telah mendorong nelayan untuk mengambil langkah proaktif. Mereka memperkenalkan sistem buka tutup gurita, sebuah inisiatif berbasis masyarakat untuk melindungi ekosistem laut sekaligus meningkatkan penghidupan nelayan.

Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, menjelaskan bahwa sistem ini dirancang untuk memperkuat pengelolaan perikanan gurita skala kecil yang berkelanjutan.

“Target kita adalah melindungi terumbu karang dan spesies prioritas penting di perairan Pulau Langkai dan Lanjukang,” ungkapnya.

Mekanisme dan Tahapan Sistem Buka Tutup Gurita

Penerapan sistem ini dimulai dengan kesepakatan warga untuk menutup sementara lokasi penangkapan gurita selama tiga bulan. Selama periode penutupan, seluruh aktivitas penangkapan dilarang di area tersebut, kecuali pemancing yang menggunakan kapal bergerak.

Langkah berikutnya adalah pemberian tanda batas wilayah buka tutup dan pengawasan bersama oleh warga. Setiap pelanggaran, seperti merusak atau mengambil penanda wilayah, ditindak tegas dengan teguran dan pemberian sanksi bagi pelanggar yang mengulangi perbuatannya.

Dampak Ekonomi dan Ekologi

Setelah dua tahun diterapkan, sistem buka tutup ini menunjukkan dampak positif yang signifikan, baik secara ekonomi maupun ekologi.

  1. Peningkatan Ukuran dan Harga Gurita
    Nelayan menyadari bahwa siklus musim penangkapan berkaitan erat dengan masa bertelur dan perkembangan gurita di area penutupan. Hasilnya, gurita yang ditangkap lebih besar, sehingga harga jualnya lebih tinggi. Pendapatan nelayan meningkat hingga 56,6 persen.
  2. Pemulihan Terumbu Karang
    Kondisi terumbu karang di wilayah tersebut mengalami pemulihan signifikan, dengan tutupan karang hidup meningkat 5–10 persen. Ini juga berdampak pada pengurangan ancaman terhadap enam spesies yang terancam punah secara global, seperti whaleshark (Rhincodon typus) dan penyu hijau (Chelonia mydas).

Perempuan Pulau Langkai: Inspirasi Inovasi Hasil Laut

Selain para nelayan, perempuan di Pulau Langkai turut mengambil peran besar dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Mereka memanfaatkan hasil laut, seperti gurita dan ikan, untuk diolah menjadi produk bernilai tambah, seperti sambal gurita dan abon ikan.

KLIK INI:  Menilik Pengelolaan Laut Berbasis Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia

“Pengolahan hasil laut sangat penting, terutama untuk mengatasi fluktuasi harga saat musim puncak tangkapan. Dengan produk olahan ini, penghasilan masyarakat menjadi lebih stabil,” jelas Nirwan.

Inisiatif ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisir tidak hanya bertahan di tengah perubahan iklim, tetapi juga berinovasi untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Laut Sehat, Komunitas Berdaya

Sistem buka tutup gurita di Pulau Langkai dan Lanjukang adalah bukti nyata bahwa pendekatan berbasis komunitas dapat memberikan dampak besar dalam melindungi ekosistem laut. Dengan dukungan pemerintah, lembaga konservasi, dan masyarakat, inisiatif ini menjadi model keberlanjutan yang dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia.

“Melindungi laut bukan hanya soal lingkungan, tapi juga tentang masa depan penghidupan manusia,” pungkas Nirwan. Kata-katanya mengingatkan kita bahwa menjaga ekosistem laut adalah investasi untuk generasi mendatang.