Klikhijau.com – Di cakrawala biru tempat laut dan langit bertemu, nelayan menjadi penari yang menggenggam nasib di tarian gelombang. Namun, panggung mereka tak lagi semegah dulu. Laut, yang dahulu setia menjadi ibu pertiwi, kini terguncang oleh perubahan iklim yang memanaskan air dan mengusik ekosistemnya.
Tangisan nelayan terdengar dari jaring-jaring kosong yang kini sering mereka bawa pulang. Penelitian menunjukkan, suhu laut yang meningkat memaksa ikan bermigrasi ke perairan yang lebih dalam dan jauh. Bersamaan dengan itu, eksploitasi laut yang berlebihan memperburuk krisis, mendekatkan stok ikan pada jurang kepunahan.
Merespons keadaan ini, Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia menyelenggarakan diskusi bertajuk “Krisis Iklim dan Tantangan Pengelolaan Perikanan di KTI” pada 21 November 2024, bertepatan dengan peringatan Hari Ikan Nasional. Acara ini digelar secara hibrid, mempertemukan suara nelayan, aktivis, dan pembuat kebijakan di ruang diskusi hangat di Makassar.
Acara ini bukan hanya sekadar forum. Ia adalah seruan bagi laut yang terluka dan nelayan yang gelisah, serta sebuah ajakan untuk menata ulang kebijakan demi masa depan yang lebih baik.
Langkah Strategis untuk Melindungi Laut
Perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan, Marhamah, menyampaikan bahwa perlindungan laut bukan hanya soal melestarikan sumber daya hayati, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekonomi dan mencegah perubahan iklim.
“Laut adalah episentrum serapan karbon dunia. Dengan menjaga ekosistemnya, kita tidak hanya melestarikan kehidupan bawah laut tetapi juga kehidupan manusia secara keseluruhan,” ungkap Marhamah.
Empat Strategi Perlindungan Laut
Marhamah memaparkan empat pilar utama yang menjadi langkah pemerintah dalam menjawab tantangan ini:
- Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Pemerintah memperluas kawasan konservasi laut untuk melindungi ekosistem penting seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Konservasi ini juga membantu masyarakat pesisir menghadapi dampak perubahan iklim. - Penyelamatan Sumber Daya Laut
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur menetapkan batasan tangkapan ikan guna menjaga keseimbangan stok. Selain itu, langkah ini juga bertujuan untuk menekan praktik penangkapan ikan ilegal. - Pengawasan dan Penegakan Hukum
DKP meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perikanan, terutama di lepas pantai. Sanksi tegas diberlakukan bagi pelanggar sebagai upaya memberikan efek jera. - Pengembangan Budidaya Laut
Budidaya laut ramah lingkungan menjadi solusi untuk mendukung ekonomi masyarakat pesisir, sekaligus memenuhi kebutuhan pasar domestik dan internasional.
Laut Sehat, Masa Depan Berkelanjutan
Selain empat pilar tersebut, Marhamah menekankan pentingnya menangani polusi laut, khususnya sampah plastik.
“Laut yang bersih adalah tanggung jawab kita bersama. Polusi plastik mengancam ekosistem dan masa depan kita,” tegasnya.
DKP juga berkomitmen menjadikan produk perikanan Indonesia unggul di pasar global. Dengan mengedepankan metode produksi ramah lingkungan, pemerintah optimis produk Indonesia mampu bersaing di tingkat internasional.
Mengembalikan Megahnya Laut untuk Generasi Mendatang
Diskusi ini bukan hanya soal membahas tantangan, tetapi juga menyalakan harapan. Dengan kolaborasi lintas sektor, pemerintah, nelayan, dan masyarakat memiliki peluang untuk menciptakan laut yang sehat dan masa depan yang berkelanjutan.
“Laut adalah masa depan kita,” pungkas Marhamah. Kata-kata ini menjadi pengingat bahwa setiap upaya menjaga ekosistem laut adalah investasi untuk kehidupan manusia yang lebih baik.
Krisis Nelayan yang Mengancam Generasi Muda
Sita, seorang perempuan dari Pulau Kodingareng, dengan wajah yang penuh keprihatinan, menceritakan bagaimana perubahan iklim telah mengubah kehidupan di pulau kecilnya. Dampak yang dirasakan tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga merambah ke aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan masyarakat setempat.
“Iklim sekarang sangat berdampak di pulau kami,” ucapnya. “Air laut sudah naik di jalan raya. Biasanya hanya terjadi di bulan Desember, tapi sekarang air sudah masuk ke rumah-rumah warga lebih cepat.”
Nelayan Berjuang Melawan Jarak dan Biaya
Kondisi perairan sekitar Pulau Kodingareng tidak lagi seperti dulu. Nelayan yang sebelumnya menangkap ikan di radius 2–3 mil dari pantai kini harus melaut jauh hingga keluar wilayah, bahkan ke Lombok, Selayar, Gorontalo, dan Ternate.
“Nelayan sekarang sudah jauh melaut,” jelas Sita. “Itu karena ikan sudah sulit ditemukan di sekitar pulau. Belum lagi harganya yang murah di pasaran, dampaknya besar bagi nelayan kecil.”
Jarak tempuh yang semakin jauh tak hanya memakan waktu dan tenaga, tetapi juga meningkatkan biaya operasional, terutama bahan bakar. Nelayan kecil yang bergantung pada hasil tangkapan harian kini semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Generasi Muda dalam Bayang-Bayang Kemiskinan
Perubahan iklim dan tekanan ekonomi juga membawa dampak serius pada generasi muda di Pulau Kodingareng. Sita mengungkapkan bahwa semakin banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena harus membantu orang tua mencari penghidupan.
“Anak-anak yang putus sekolah biasanya ikut orang tuanya merantau, ada yang menyambung hidupnya dengan pernikahan dini, mereka akan memikul beban yang sama dengan orang tua mereka,” ujarnya.
Kondisi ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Dengan minimnya akses pendidikan, anak-anak di pulau tersebut kehilangan kesempatan untuk memperbaiki masa depan mereka.
Krisis Ekologis Akibat Aktivitas Penambangan
Selain perubahan iklim, Sita juga menyebutkan bahwa aktivitas penambangan pasir laut oleh perusahaan seperti Boskalis telah memperburuk kondisi lingkungan di Pulau Kodingareng. Penambangan tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem laut yang berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan.
“Yang dirasakan sekarang, setelah ada Boskalis, keadaan Kodingareng semakin kritis,” ungkapnya.
Harapan yang Mulai Pudar
Ketika ditanya tentang harapan bagi generasi muda di pulau tersebut, Sita hanya bisa menghela napas. “Kalau ada anak-anak yang bisa melanjutkan sekolah atau kuliah, itu karena orang tuanya bukan nelayan,” pungkasnya.
Kisah Sita adalah cerminan dari kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya di Pulau Kodingareng. Perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan lemahnya perlindungan terhadap masyarakat pesisir telah menciptakan krisis yang mengancam masa depan komunitas lokal.
Namun, masih ada secercah harapan jika upaya mitigasi perubahan iklim, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, dan kebijakan sosial-ekonomi yang mendukung masyarakat pesisir dapat segera diterapkan. Untuk itu, suara-suara seperti Sita perlu didengar dan menjadi pengingat bahwa keberlanjutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua elemen masyarakat.