- Dari Pohon Enau Itu - 01/04/2023
- Kaktus Centong, Tanaman Hias yang Bisa Menjernihkan Air Sungai - 28/03/2023
- Pohon Air Mata - 26/03/2023
Klikhijau.com – Dalam rute perjalanan pulang dari Sinjai, mampirlah kami di Bantaeng. Kota ini memang terkesan lebih sejuk nan rindang. Tetapi, kami sudah terbiasa dengan suasana kotanya yang bersih. Cerita dari seorang kawan tentang kawanan pohon tua yang terjaga, lebih memikat. Kami memilih ke sana ketimbang menikmati senja di pantai Marina.
Jaraknya sekitar 10 kilometer dari pusat kota Bantaeng atau sekitar lima belas menit waktu tempuh. Sebelum akhirnya tiba di Passangarrang, Kecamatan Gantarang Keke, kami melewati sedikit jalan berkelok yang sempit. Area hutan adat, persawahan dan kebun-kebun membentang hijau laksana sebuah lukisan. Suasana yang membuat kami betah dalam perjalanan.
“Kalumpang Lompoa”, begitu warga sekitar menyebutnya. Suasananya memang lumayan mistis, terlebih karena kami datang di penghujung sore jelang magrib.
Di sana, kami takjub dengan beberapa pohon besar. Batangnya berdiameter besar, kira-kira hingga enam orang dewasa dapat berangkulan mengitari pohonnya. Sementara tangkai dan daunnya meranggas bebas berpuluh-puluh meter. Itu tak seberapa, bila dibandingkan akar-akarnya yang berpendar di tanah. Menjalar ke mana-mana laksana ular berseliweran.
“Apakah tempat ini keramat bagi warga?” Tanya seorang kawan pada seorang tetua di sana.
“Yah, begitulah bagi sebagian orang,” katanya.
Mungkin itulah sebabnya, pohon ini tumbuh lestari dan terawat hingga sekarang. Mistis dan kepercayaan terhadap pepohonan memang pernah berkembang di banyak tempat di Indonesia.
“Entah kenapa, pohon-pohon berjatuhan dan kehilangan aura mistiknya, atas nama modernisasi,” kata saya berdiskusi dengan kawan-kawan.
Kami berkeliling di sana hingga petang menjemput. Berdiskusi dengan warga sekitar. Berikut 4 fakta unik di balik kelestarian pohon raksasa “kalumpang lompoa” di Bantaeng yang kami temukan.
-
Mulai langka di Bantaeng
Warga sekitar menyebutnya “pohon kalumpang”, atau pohon kepuh. Dalam bahasa latin dinamakan sterculia foetida linnini. Pohon kepuh memang satu jenis yang dapat tumbuh tinggi hingga 40 meter. Kepuh dalam bahasa Inggris berarti “wild almond” konon karena bentuk bijinya menyerupai biji almond. Kini, pohon ini termasuk langka seiring perkembangan lahan pertanian dan perkebunan.
-
Sudah berusia 600 tahun
Menurut pengakuan tetua di Passangarrang, pohon raksasa ini sudah berusia sekitar 600 tahun. Konon pohon ini merupakan peninggalan kerajaan Butta Toa yang terus dilestarikan untuk mengenang kejayaan sejarah.
-
Dikeramatkan sebagian warga
Hingga saat ini, masih banyak warga yang berdatangan di “kalumpang lompoa” sembari membawa makanan tertentu. Ritual paling terkenal di sana adalah upacara bakar ayam kampung lalu makan bersama.
Sebenarnya, ritual ini adalah bagian dari rasa syukur kepada yang maha kuasa. Dahulu, lokasi ini menjadi tempat berkumpul dan penyerahan hasil bumi yang dilakukan dengan pesta adat tradisional. Namun, budaya sesajen perlahan berkurang sejak masuknya Islam di Bantaeng.
Banyak orang percaya bahwa pohon raksasa ini dihuni mahluk halus yang merupakan leluhur tanah keke. Konon, ketika pohon itu akan ditebang, tiba-tiba daerah tersebut dilanda banjir. Di banyak daerah, pohon kepuh memang sering dinamai “pohon genderuwo”, mungkin karena pohonnya yang besar dan terkesan angker.
-
Bergeser sebagai tempat wisata
Daya tarik tempat ini memang bisa dikembangkan lagi agar jadi satu spot alternatif bagi wisatawan. Pemerintah Daerah Bantaeng menggelar festival Gantarang Keke, setiap tahunnya di lokasi ini. Sebab baruga berbentuk rumah panggung telah dibangun di sekitarnya. Sebelumnya memang ada ritual turun temurun setiap 10 bulan sya’ban sejak dahulu –kini momen ini jadi festival meriah setiap tahunnya.
***
Sepanjang jalan pulang ke kota Makassar, kami berdiskusi tentang pohon dan bagaimana nenek moyang terdahulu melestarikannya dengan klaim mistis. Tetapi, teror “animisme” pada orang-orang terdahulu yang menjaga pepohonan tua seperti virus mematikan. Setelahnya, pohon-pohon bertumbangan. Ditebang massif, persis saat kita tak ulet menanam kembali.
Kami akhirnya paham, betapa pepohonan menaruh harap pada cinta kita. Tentu agar kita tak selalu melihatnya sebagai objek yang tak berdaya—yang selalu terbayang bisa menjelma jadi duit.
Panjang umur “pohon kalumpang”!