Tanda Tanya Besar di Balik Lenyapnya Izin Lingkungan di Omnibus Law Cipta Kerja

oleh -374 kali dilihat
Protes keras pada Omnibus Law yang dinilai sebagai karpet merah bagi investor-Foto/Tempo.co
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Wacana perihal dihilangkannya aturan mengenai izin lingkungan dalam draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah jadi polemik. Dalam draf aturan yang telah diserahkan ke DPR, ketentuan izin lingkungan diganti dalam rangka memudahkan pelaku usaha memperoleh persetujuan lingkungan.

Seperti diketahui, izin lingkungan telah diatur dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bunyi pasal tersebut adalah:

1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.

(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

Semua ketentuan dalam pasal 40 itu dihapus dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

“Ketentuan Pasal 40 dihapus,” demikian tertulis dalam Pasal 23 angka 19 draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

KLIK INI:  Perihal Omnibus Law Bidang LHK, DPR Minta Pemerintah Berhati-Hati
Karpet merah bagi investor

Penghapusan ini dianggap sebagai karpet merah bagi investor. Akan semakin memperparah kecenderungan kerusakan lingkungan, sebab aspek lingkungan tidak menjadi prasyarat mendasar dalam sebuah investasi.

Dilansir dari CNNIndonesia (17/2/2020), Aktivis lingkungan hidup Greenpeace, Arie Rompas, menuturkan penghapusan izin lingkungan bisa meniadakan kontrol terhadap perusahaan dalam menjalankan usaha.

Tanpa ada kontrol terhadap perusahaan, kondisi lingkungan hidup berpotensi semakin mengkhawatirkan.

“Soal izin lingkungan itu seharusnya sebagai bentuk kontrol yang dilakukan pemerintah. Di dalamnya termasuk dokumen Amdal,” tutur Arie kepada CNNIndonesia.com, Senin (17/2).

Arie pun mengkritik sikap pemerintah yang mengesampingkan persoalan lingkungan hanya demi memperlancar investasi. Penghapusan izin lingkungan, kata dia, adalah bukti nyata pemerintah telah abai terhadap lingkungan.

KLIK INI:  Menilik Risiko Ekonomi dari Kebijakan Biodiesel yang Progresif

“Artinya kemudian masalah lingkungan dianggap menghambat proses-proses administrasi. Padahal diketahui saat ini secara global, Indonesia juga sedang mengalami krisis iklim karena aktivitas industri dan model pembangunan yang tidak ramah lingkungan,” ujar dia.

Pendapat serupa dikatakan Rizki Anggriani Arimbi, Koordinator Wilayah, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, penghapusan izin lingkungan akan memperlebar ketimpangan penguasaan sumber-sumber agrarian. Serta perampasan tanah-tanah rakyat akan semakin massif dan luar biasa.

“Cilaka cika (Sial kawan). Keselamatan rakyat, lingkungan dan masa depan dikorbankan demi investasi,” tegas Rizki pada Klikhijau, Senin 17 Februari 2020.

Menurut Rizki, penghapusan izin lingkungan juga memungkinkan actor atau pelaku korporasi bernafas legah. Bila ada tindakan pengrusakan, mereka tidak akan dipidana lagi dan hanya diberi sanksi.

“Ada izin dan AMDAL saja kerusakan sangat massif apalagi kalau tidak ada,” katanya.

KLIK INI:  El Nino, Sejarah dan Dampaknya terhadap Cuaca Global juga Lingkungan
Pemerintah harus tetap berpihak pada lingkungan

Guru besar Ilmu Pertanian, Universitas Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. Syafiuddin, mengatakan, langkah pemerintah ini perlu dikoreksi.

“Mungkin Pemerintah menganggap pasal 40 UU 32 itu menjadikan pengurusan perizinan usaha demikian birokratis sehingga perlu dipangkas. Padahal, banyak negara maju di dunia yang pertumbuan ekonominya bagus, tetapi tetap menjaga kelestarian lingkungannya,” jelasnya.

Prof Syafiuddin, menyayangkan penghapusan ini, mengingat dimensi lingkungan adalah hal fundamental dalam pembangunan. Bila lingkungan hancur, kehancurannya tidak saja merugikan dunia usaha tetapi menaikkan biaya sosial dalam jangka Panjang yang akan ditanggung oleh masyarakat khususnya kaum marjinal.

“Ironisnya, pemerintah menggelindingkan ide-ide pada UU omnibus law di tengah kesadaran masyarakat tentang lingkungan yang mulai meningkat,” pungkasnya.

Prof Syafiuddin menduga, kemungkinan ada ide lain di balik penghapusan itu. Tetapi, kalua sekadar melindungi investasi agar tidak terhambat, sejatinya tidak harus menghapus aturan dan UU lingkungan.

“Saya pikir perlu ada pasal pengganti yang tetap memberi pembatasan bagi pemberian izin yang tidak mengindahkan timbulnya dampak bagi lingkungan,”terangnya.

Omnibus Law Cipta Kerja menjadi salah satu andalan pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo. Pemerintah berniat merampingkan peraturan demi memperlancar investasi. Pemerintah menyatakan akan menyelaraskan 1.244 pasal dari 79 undang-undang ke dalam RUU Cipta Kerja.

KLIK INI:  Omnibus Law, Hukum Agraria Kolonial dan Ancaman Kedaulatan Pangan