Setengah Abad Hari Bumi Tanpa Kesadaran Kolektif

oleh -214 kali dilihat
Setengah Abad Hari Bumi Tanpa Kesadaran Kolektif
Ute Nurul Akbar-Foto/Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Hari ini, 22 April 2020 diperingati sebagai hari bumi sedunia. Kita telah sampai pada masa setengah abad hari bumi tanpa kesadaran kolektif. Bumi dengan seribu satu bebannya karena manusia.

Seperti kata Mahatma Gandhi: Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.

Corona telah membungkam kecongkakan manusia. Seisi bumi menjadi panik dan takut. Andai ada satir yang mewakilkan satu “kesyukuran” di saat terjadinya wabah ini. Maka itu datang dari bumi.

Bumi yang mewakili alam semesta selama ini menjadi obyek penderita atas kerakusan dan gaya hidup destruktif manusia.

Corona hadir memberikan jeda pada bumi dan semesta untuk sekadar beristirahat sambil menormalkan kembali dirinya. Secara kebetulan Corona hadir di tengah peringatan setengah abad hari bumi internasional.

KLIK INI:  Embun Es di Dieng Banjarnegara Diserang Wisatawan, Ada Apa di Balik Fenomena Alam ini?
Hari bumi tanpa Kesadaran Kolektif

Tak bisa dipungkiri Gaylord Nelson, seorang senator Amerika Serikat menjadi tokoh utama lahirnya Hari Bumi. Dia memulai perjuangannya 7 tahun sebelum Hari Bumi pertama.

Awalnya Gaylord berharap bisa membawa masuk isu lingkungan kedalam agenda nasional, namun gagal. Gaylord kemudian melakukan kampanyenya sendiri dengan melakukan perjalanan ke beberapa negara bagian.

Dia lalu menemukan sebuah fakta bahwa semua orang menyadari penurunan kualitas lingkungan, kecuali kalangan politik. Usahanya terus berlanjut hingga pada musim panas 1969.

Sang Senator terinspirasi oleh keberhasilan aksi demonstrasi anti-perang Vietnam yang menyebar secara luas melalui perguruan tinggi di seluruh negeri. Dia pun melakukan hal yang sama dalam kempanye lingkungannya.

Pada sebuah konferensi di Seattle September 1969, Gaylord mengumumkan akan mengadakan demonstrasi peyelamatan lingkungan secara nasional pada musim semi 1970 dan mengundang setiap orang untuk berpartisipasi.

KLIK INI:  Cerita dari India dan Kejutan di Pasar Rakyat yang Tanpa Kantong Plastik

Warga Amerika akhirnya menemukan sebuah forum untuk mengungkapkan kepeduliannya atas penurunan kualitas lingkungan mereka. Maka 22 April 1970 lahirlah Hari Bumi.

Apa yang menjadi dasar perjuangan gerakan Hari Bumi sejak tahun 1970 hingga saat ini belum mampu melahirkan kesadaran kolektif pada penduduk bumi. Terlebih jika kita melihat kondisi Negara- Negara berkembang atau yang sementara mengalami proses transisi menjadi negara maju.

Tak ada yang berubah sejak apa yang diperjuangkan oleh masyarakat Amerika ditahun 1970. Khusus di Indonesia, kerusakan dan penggundulan hutan yang berakibat rusaknya vegetasi dan memaksa binatang yang terbiasa hidup dihutan kehilangan rumah mereka.

Kualitas udara yang sangat tidak sehat dan air bersih semakin berkurang debitnya, pembuangan limbah industri melewati pemukiman dan mengalir langsung kearah pantai yang lalu mencemari lautan dan isinya, semakin massifnya sampah plastik dan bahan yang tak terurai oleh tanah, suhu bumi semakin panas, terjadinya anomali cuaca, dan tingkat kebisingan juga semakin menambah deretan permasalahan lingkungan dan kesehatan.

Semua tidak mengalami perbaikan, bahkan justru semakin parah. Padahal isu lingkungan hidup merupakan permasalahan yang serius menyangkut manusia.

KLIK INI:  'Capat' Sampah, Cara Ekopastoral Fransiskan Manggarai Tangani Sampah di Hari Bumi

Dilema Kapitalisme

Kegagalan kapitalisme dibidang lingkungan sebenarnya diakui secara tidak langsung oleh Negara- Negara dedengkot paham tersebut.

Ini dapat dilihat dari efek eksploitasi besar- besaran tanpa adanya upaya pelestarian yang telah mereka lakukan sejak era industrialisasi di negara masing-masing telah berimbas pada bermunculannya berbagai macam masalah lingkungan seperti mengguritanya persoalan plastik, pencemaran air dan tanah, efek rumah kaca, polusi udara, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan berbagai macam masalah serupa.

Sementara penjarahan alam yang over lapping dalam konsep ekonomi kapitalistik dianggap sebuah hal yang biasa. Sebab semakin besar produksi yang dilakukan maka semakin besar kebutuhan akan bahan-bahan mentah.

Meski pada akhirnya mereka juga berusaha untuk melakukan rehabilitasi dan perbaikan atas kerusakan alam dengan cara-cara yang jelas kapitalistik (tetap mengharapkan keuntungan) namun itu juga tidak menghasilkan apa- apa.

Mengingat sumber daya alam yang mereka kelola sebagian adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui. Namun bagi mereka sekali lagi itu adalah hal yang biasa.

KLIK INI:  Selamat Hari Bumi, Semoga Bumi Baik-Baik Saja!

Ketakutan akan kehancuran alam yang mereka diami rupanya menggelitik mereka untuk melemparkan semua masalah ini pada negara-negara yang baru berkembang.

Invasi industri Barat sejak berakhirnya perang dunia kedua sebagai proyek pelanggengan dominasi untuk melakukan eksploitasi habis-habisan dinegara- negara berkembang maka dibuatlah “pintu” penjajahan gaya baru berupa IMF (1947).

World Bank (1946), dan General Agreement tariff and trade /GATT (1947) sebagai lembaga yang mengendalikan ekonomi Negara- neraga dunia ketiga yang hingga saat ini masih meraba- raba konsep pengembangan ekonomi mereka.

Kerusakan Alam Dan Pesan Islam

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S Ar-Rûm :41)

Permasalahan lingkungan hidup bukan hanya cerminan keterlibatan pemerintah dalam pembuatan kebijakan, kalangan industri atau perusahaan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam tapi juga ada porsi masyarakat yang belum sadar dan belum ramah lingkungan.

KLIK INI:  5 Februari, Sejarah Penemuan Plastik Sintesis dan Kisah-kisahnya

Maka, masalah lingkungan hidup memiliki keterkaitan antara ketiga pihak di atas atau salah satu atau kedua pihak yang terlibat dalam terjadinya kerusakan lingkungan hidup.

Ironisnya posisi masyarakatlah yang paling rawan terdampak akibat kerusakan lingkungan hidup yang berpotensi melahirkan bencana.

Mudahnya kita menemukan tumpukan maupun serpihan sampah di sudut jalan raya, sungai, pantai atau tempat lainnya adalah penanda belum adanya kesadaran secara kolektif diantara kita, hal tersebut menunjukkan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan bersama.

Egoisme tersebut dapat ditekan dengan keteladanan dari tokoh masyarakat ataupun pemerintah. Disisi lain masyarakat perlu lebih kritis terhadap berbagai kebijakan dan implementasi yang belum ramah lingkungan. Namun, jauh sebelum itu, masyarakat perlu mengubah paradigmanya.

Kita seharusnya menjadi yang terdepan dalam menjaga dan melestarikan alam sekitar. Setiap Muslim wajib memahami landasan-landasan pelestarian lingkungan hidup. Karena pelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua umat manusia sebagai pemikul amanah dibumi.

Sungguh sangat kontradiktif jika Negara yang dihuni mayoritas muslim ini, tidak bisa menunjukkan keteladan sikap peduli pada alam sekitarnya.

KLIK INI:  Caleg Boleh Gagal, Tapi Tancapan Paku APK di Pepohonan, Jangan