Klikhijau.com – Siang itu, saya membawakan sebuah materi hasil karya bersama kami. Sebuah buku. Buku yang menyajikan keindahan bulu-bulu burung yang warna-warni. Menghias halaman demi halaman. Bukunya berjudul, “Buku Burung Endemik Sulawesi: Kisah Temu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung“.
Saya sedikit telat menuju lokasi kegiatan. Boleh jadi karena keasyikan menikmati pagi hari itu. Menikmati pagi bersama keluarga. Maklum, libur. Pimpinan arahkan untuk kerja dari rumah. Maklum dua hari terakhir banjir melanda Makassar dan sekitarnya. Sebagian dari pegawai terdampak. Ia memberi ruang untuk membersihkan kediaman masing-masing. “Hari ini cukup kerja dari mana saja. ‘work from anywhere’, saya hanya meminta kalian untuk tetap bisa menghasilkan sesuatu. Produktif,” tulis Heri Wibowo, Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, di grup WhatsApp kerja kami.
Hari itu, Kamis, 13 Februari 2025. Saya tiba di sebuah ruang kelas di Balai Penyuluhan dan Pelatihan Kehutanan Makassar. Kelas yang menggabungkan dua ruang menjadi satu itu cukup sesak. Peserta telah membanjirinya. Daftar absen menunjukkan sebanyak 70 peserta hadir secara luring. Mereka berasal dari instansi kehutanan baik di bawah kementerian maupun dinas kehutanan setempat.
Tak hanya itu, ruang Zoom Meeting secara daring pun cukup riuh. Mengikuti kegiatan diseminasi dari jauh. Beberapa dari mereka sempat mengeluhkan suara pemapar kurang keras. Karena itu panitia kemudian mengutak-katik perangkat pendukung.
Sesuai jadwal, materi saya di sesi kedua. Sesinya setelah istirahat. Saya coba menyimak satu dua materi dari baris paling belakang. Termasuk mengamati peserta yang taksim menyimak paparan narasumber kece. Meski dua tiga di antara mereka juga nampak asyik membuka gawainya. Mencoba mengusir rasa bosannya.
Moderator kemudian menutup sesi pertama. Menyilakan peserta menikmati kudapan di depan kelas. Memberi tenggat waktu untuk kembali lagi setelahnya ke kelas. Saya juga menikmati secangkir teh sembari menyapa beberapa kawan lama.
“Kamu sempat dicari Kepala Balai Penyuluhan dan Pelatihan Kehutanan. Mencari penulis buku, karena ia sempat menghadiahi beberapa tamu undangan dengan bukumu,” tegur Aswadi Hamid, panitia pelaksana.
Tepat pukul 11:30 wita, Moderator kemudian mengambil alih mic. Memanggil peserta untuk segera masuk. Tak perlu diperintah, ia segera memulai acara. Menyilakan dua narasumber terakhir menuju meja panjang di depan kelas. Membacakan sedikit biodata ringkas yang didapatnya perihal kedua narasumbernya.
Lupa menyetorkan Curiculum Vitae
Saya jadi teringat, saya lupa menyetorkan Curiculum Vitae, maklum panitia tidak menyasyarakatkan. Jadilah moderator hanya mengenalkan pematerinya sekenanya.
“Narasumber kita yang kedua, Taufiq Ismail, seorang Pengendali Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Ia juga menjadi admin media sosial kita di Forum Fungsional LHK Sulawesi Selatan,” pungkas Andi Nelly Umama Yuniarti, Moderator sesi kedua.
Membacakan biodata ringkas untuk kedua pemateri di sesi terakhir itu.
Muhammad Yusuf, Penyuluh Kehutanan KPH Cenrana menyambar mic setalah dipersilahkan. Saya menikmati sesi ini. Duduk manis di meja depan, mendengarkan kisah perjalanan Yusuf menjadi seorang pengayom. Pengayom warga yang bermukim di sekitar kawasan hutan di wilayah kerjanya.
Yusuf bercerita panjang tentang awal proses berkarirnya, mulai dari Sulawesi Tenggara hingga ke Sulawesi Selatan. Penyuluh senior ini nampak semangat berbagi pengalaman kepada pejabat fungsional yang hadir. Ia seolah hendak menularkan semangatnya pada generasi yang saat ini juga sedang berjuang. Berjuang melestarikan hutan dan lingkungan dengan cara masing-masing. Karena setiap orang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda.
“Menjadi penyuluh itu seperti mendorong mobil mogok. Kita harus sabar, telaten, menumpahkan segala kekuatan agar warga binaan dalam bentuk kelompok tani hutan mau bergerak. Termotivasi untuk berinovasi,” terang Yusuf menyimpulkan pengalamannya selama ini.
Yusuf menurut saya adalah satu dari orang lapangan yang memiliki dedikasi tinggi pada tugasnya. Orang-orang memiliki tekad untuk melihat orang lain berhasil. Baginya keberhasilan kelompoknya berkarya adalah satu kebanggaan tersendiri baginya.
“Namun jangan sampai juga, kelompok binaan kita bersifat ‘kacang lupa pada kulitnya’, karena itu sebagai penyuluh kita juga harus pintar-pintar tampil sebagai bagian dari mereka,” tambahnya.
Karena menurutnya, antara anggota kelompok dan pendampingannya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pada bagian akhir sesinya ia menampilkan beragam piagam penghargaannya selama mengabdi hingga 40 tahun.
Saya kira, ia melewati batas waktu menyampaikan materi. Moderator nampaknya mengampuninya, turut menikmati sajian Yusuf yang menginspirasi.
Terdiri dari lima orang
Kini giliran saya menyampaikan materi. Moderator sempat mengingatkan bahwa waktu saya maksimal 15 menit, sebelum saya berdiri. Berdiri meraih mic di meja terpisah. Saya mengiyakan, mengingat setengah jam kemudian waktu salat Dzuhur tiba.
Karena itu saya menyampaikan poin-poin penting saja. Menyampaikan sekilas proses pembuatan buku, termasuk tata waktu penyusunan. Setidaknya prosesnya sekitar setahun, mulai dari munculnya ide hingga proses cetak. Hampir semua tahapan dikerjakan tim penulis buku yang terdiri dari lima orang.
Mengumpulkan bahan foto burung, menulis narasi, melayout, mengusulkan ISBN, hingga mengurus proses cetak. Penulis buku burung endemik Sulawesi adalah Kamajaya Shagir, Ramli, Muasril, dan saya yang berprofesi sebagai Pengendali Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Hanya Hendra yang menjabat sebagai pegawai pemerintah non pegawai negeri.
Saya hanya menekankan perlunya kolaborasi untuk membuat suatu karya. Mengingat tak banyak orang memiliki keahlian segala aspek. Kita terkadang membutuhkan orang lain di suatu bidang yang rasanya kita kurang bisa. Saling melengkapi.
Selain itu, perlu menurunkan ego saat bekerjasama. Selalu mengutamakan mufakat untuk memutuskan sesuatu tentang karya bersama untuk setiap pilihan keputusan terbaik.
Dari depan kelas, saya memerhatikan tak banyak peserta yang tertarik perihal buku ini. Nampak dari mimiknya.
Namun saya berharap ada dua tiga di antara mereka bisa berjejak di bawah sadarnya. Dengan harapan ke depan di antara mereka akan terbesit asa untuk berkarya.
Karena itu, saya kemudian menyudahi presentasinya dengan menampilkan sekilas tampakkan buku melalui gulungan video pendek.
Pada akhir sesi, panitia kemudian membagikan lima buku burung kami kepada peserta. Membagikan kepada mereka yang berminat dan juga menjadi hadiah bagi mereka yang aktif selama proses diseminasi. Ya.. kegiatan hari itu bertajuk: “Diseminasi dan Ekspose Kegiatan Pejabat Fungsional LHK Sulawesi Selatan”.
Menghadirkan lima narasumber dari beberapa beberapa pejabat fungsional lingkup Kementerian Kehutanan di Sulawesi Selatan. Menghadirkan wakil dari guru Sekolah Menengah Kehutanan Negeri Makassar, Widyaiswara, polisi kehutanan, penyuluh kehutanan dan pengendali ekosistem hutan.
“Saya ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan fungsional yang hari ini meyempakan hadir pada acara bersama kita. Semoga ke depan kita bisa menyelenggarakan lagi kegiatan serupa ataupun kegiatan lain untuk menghidupkan organisasi profesi ini,” pungkas Sudirman Sultan, Ketua Forum Fungsional LHK Sulawesi Selatan, sembari menutup kegiatan hari itu.